Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Buruh Indonesia Menggugat! (Bagian 1)
Oleh : opini
Kamis | 02-05-2013 | 13:36 WIB

Oleh: Ahmad Rahayu

SEPERTI BIASA, menjelang tanggal Satu Mei, para buruh, mahasiswa, pemuda dan masyarakat lainnya sibuk untuk melakukan aksi peringatan Hari Buruh Sedunia atau yang populer disebut May Day.

Ya, Satu Mei merupakan hari buruh internasional yang biasanya diperingati oleh kaum buruh sedunia tanpa terkecuali di Indonesia. Dalam setiap peringatannya, buruh seringkali melakukan aksi unjuk rasa dengan cara turun ke jalan demi menyampaikan tuntutannya kepada pemerintah. Dan tradisi gerakan ini sudah berlangsung sejak lama, yaitu pada abad ke sembilan belas.

Semenjak Satu Mei ditetapkan sebagai hari perjuangan kelas dunia pada Kongres 1886 oleh Federation of Organized Trades and Labor Unions. Perjuangan kelas buruh ini memberikan momentum tuntutan pengurangan lama jam kerja yang pada saat itu mencapai 19 sampai 20 jam sehari.

Demikian juga di Indonesia, para buruh senantiasa memperjuangkan hak-hak mereka, seperti pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik. Faktor-faktor inilah yang melahirkan perlawanan dari kalangan kelas buruh/pekerja.

Buruh Produk Kapitalisme

Dalam konteks Indonesiaan kekinian, gerakan-gerakan buruh selalu identik dengan perjuangan peningkatan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), menolak adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak oleh pihak perusahaan/pabrik, dan lain sebagainya. Semua itu bermuara pada meningkatnya taraf hidup serta kesejahteraan buruh atau pekerja.

Pertanyaannya adalah, apakah hanya sebatas itu saja yang akan diperjuangkan oleh buruh-buruh di dunia khususnya Indonesia. Apakah cara-cara dengan turun ke jalan akan mampu memenuhi tuntutannya para buruh dan pekerja. Bukankah ada suatu permasalahan yang paling mendasar dan langsung bersentuhan dengan mereka, yaitu sistem kapitalisme itu sendiri.

Kapitalisme merupakan sebuah sistem yang melahirkan langsung kaum buruh sebagai kelas pekerja. Kelas buruh atau yang sering disebut 'proletar' merupakan sekelompok pekerja yang langsung bersentuhan dengan sistem kapitalisme. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Soekarno, bahwa kaum proletar 'buruh' sebagai kelas adalah hasil langsung daripada kapitalisme dan imperialisme. Mereka adalah kenal dengan pabrik, kenal akan mesin, kenal akan listrik, kenal akan cara produksi kapitalsime, (Soekarno, 2005:255).

Sedangkan pengertian kapitalisme itu sendiri menurut Soekarno adalah, "Sistem pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi. Kapitalisme timbul dari cara produksi yang oleh karenanya menjadi penyebab nilai lebih tidak jatuh ke tangan kaum buruh melainkan hanya dinikmati oleh sang majikan. Dengan demikian kapitalisme menyebabkan akumulasi kapital, konsentrasi kapital, sentralisasi kapital, dan kapitalisme bertujuan memelaratkan kaum buruh." (Soekarno, 2005).

Ada penumpukan atau akumulasi modal (kapital) didalam sistem kapitalisme. Dengan paham yang mengedepankan pendapatan keuntungan sebesar-besarnya inilah yang membuat para pelaku kapitalisme, pemilik pabrik, pemilik modal kerapkali melanggar dan menjajah hak-hak para pekerja atau buruh. Buruh digaji dengan begitu rendahnya. Diberikan jam kerja yang panjang. Kontrak kerja yang tidak jelas sehingga sewaktu-waktu pemilik pabrik atau perusahaan dapat memecat mereka dengan sekehendak hatinya.

Di sinilah seharusnya peranan negara melalui pemerintah bisa menempatkan diri. Didalam negara Pancasila yang meletakkan salah satu dasarnya adalah keadilan sosial, maka pemerintah berkewajiban untuk menjamin keadilan bagi tiap-tiap warganya tidak terkecuali para buruh dan pekerja. Negara harus terlibat dalam mengawasi sistem perekonomian dan pasar. Sehingga berkaitan dengan kesejahteraan buruh, pemerintah
berhak untuk menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) serta peraturan-peraturan yang berpihak kepada kaum buruh.

Secara teoritis sangat luar biasa. Artinya, pasar tidak dilepaskan begitu saja tanpa ada kontrol dari pemerintah. Berbeda halnya dengan negara-negara yang menganut sistem ekonomi liberal yang membiarkan pasar sebebas-bebasnya. Namun demikian, praktiknya belumlah sesuai dengan harapan. Pemerintah masih terkesan selalu berpihak kepada para investor, para pemilik modal, para pelaku pasar. Lalu kesejahteraan buruh terabaikan dan terlupakan.

Penulis adalah mantan Ketua GMNI Rokan Hulu, Peneliti di Indonesian Public Institute dan Mahasiswa FE Universitas Riau.