Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Selesaikan Konflik Pertanahan

DPR Usulkan Pembentukan Kementerian atau Komisi Agraria
Oleh : si
Selasa | 30-04-2013 | 17:34 WIB

JAKARTA, batamtoday - DPR RI mengusulkan pembentukan kementerian atau komisi yang menangani secara khusus penyelesaian konflik pertanahan atau agraria.

Sebab, banyaknya konflik pertanahan yang menumpuk di Badan Pertanahan Nasional (BPN) bisa menjadi bom waktu karena pengadilan umum ternyata tidak bisa menuntaskan dan hanya menjadi alat mafia tanah.

"Saya pesimis RUU Pertanahan ini akan selesai dan mampu menyelesaikan seluruh konflik pertanahan, karena terkait UU sektoral lainnya. Seperti kehutanan, perkebunan, tambang, sumber daya alam. Untuk itu diperlukan kementerian agraria dan atau komisi khusus yang memiliki otoritas kewenangan tanah, tanpa harus ke pengadilan," tandas Anggota Panja RUU Pertanahan Komisi II DPR, Anggota DPD RI  Anang Prihantono,  dan  Asep Yunan Firdaus dari Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria dalam diskusi 'RUU Pertanahan' di Jakarta, Selasa (30/4/2013).

Zainun mencontohkan, konflik tanah yang menumpuk di BPN, meski Kepala BPN Herdarman Supandji telah mendapat instruksi resmi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk pendistribusian tanah dan menyelsaikan konflik tanah dengan membentuk tim sebelas, namun konflik terus bertambah dan tak terselesaikan.

"Jadi, diperlukan kementerian dan atau komisi khusus seperti KPK untuk penyelesaian konflik agraria. Apalagi menjelang pemilu, maka sulit RUU Pertanahan ini akan selesai dan pro rakyat, karena banyak kepentingan yang melingkupinya," ujarnya pesimis.

DPD juga sepakat dengan kementerian dan komisi khusus tersebut dan tetap melibatkan daerah. Hanya saja kata Anang, itu harus diberi batas waktu antara 10 sampai 15 tahun dan itu bersifat final, tak ada banding.

"Jangan seperti pengadilan hukum formal, karena justru inilah yang ditunggu-tunggu oleh investor dan mafia tanah di mana mereka dipastikan akan menang dan semuanya bisa selesai dengan uang,"  ungkapnya.

Asep juga pesimis RUU pertanahan ini mampu menyelesaikan berbagai konflik tanah yang ada di BPN selama ini. Karena itu diperlukan kementerian dan atau komisi khusus agraria. Hanya saja komisi khusus tersebut harus memiliki kewenangan ajukasi seperti KPK.

"Kalau sama dengan Komnas HAM, ya sia-sia saja. Tapi, itu tergantung komitmen politik pemerintah dan DPR, apakah konflik tanah ini sudah sangat mengkhawatirkan-extra ordinary sama seperti korupsi? Kalau sangat mengkhawatirkan, maka komisi agraria itu harus memiliki kewenangan sama dengan KPK dan MK,"  katanya.

Mengapa? Menurut Asep, kalau konflik agraria ini dikembalikan ke pengadilan umum, maka ‘wassalam’ lah bagi rakyat, mengingat rakyat tidak memiliki uang dan bukti-bukti yang diperlukan oleh pengadilan.

"Kalau sama seperti MK dan KPK, maka penyelesaiannya tidak harus melalui pendekatan formal. Apalagi konflik tanah yang ada di BPN hanya 30 % dari 74 juta hektar tanah. Sedangkan BPN berada di bawah Menko Perekonomian, maka langkah BPN mesti mendukung kegiatan ekonomi. Karena itu harus ditangani kementerian sendiri,"  tambah Asep.

Dengan demikian lanjut Asep, mustahil BPN mampu menyelsaikan konflik agraria. Karena itulah dibutuhkan komitmen politik pemerintah dan DPR RI untuk membuat UU pertanahan ini sesuai aturan yang ada.

"Saat ini ada 33 ribu desa dan seluruh atau sebagian ada di kawasan hutan terkait tanah ulayat. Kalau mereka itu tak punya bukti formal, dan akan diselesaikan dengan hukum formal, lalu berapa rakyat yang harus masuk penjara?"  tanya Asep khawatir.

Untuk itu dia meminta DPR dan pemerintah mengkaji ulang penyelesaikan konflik tanah tersebut karena tak ada progress yang positif untuk rakyat.

"Selama ini seperti tak ada kerjasama antara pemerintah dan DPR dalam penyelesaian tanah itu. Padahal, sudah ada mandat Tap MPR RI tahun 2001 untuk membenahi tanah seluas 178 juta hektar ini. Dan, sulit menyelesaikan konflik tanah secara struktural maupun perdata melalui pengadilan umum,"  pungkas Asep.

 Editor : Surya