Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Dunia Membangun Kota Hijau
Oleh : Dodo
Kamis | 18-04-2013 | 07:48 WIB
masdar_city.jpg Honda-Batam
Masdar City di Uni Emirat Arab.

NEW YORK - Menciptakan kota yang ramah lingkungan atau yang biasa disebut dengan kota hijau bisa memacu pertumbuhan ekonomi sekaligus mengatasi masalah sosial dan lingkungan. Strategi ini juga bisa mengurangi kemiskinan, memangkas emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Pelajaran ini terungkap dari hasil penelitian Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang dirilis Rabu (17/4/2013). Menurut PBB, pada 2050, sebanyak 70% penduduk dunia akan tinggal di perkotaan. Kota-kota dunia juga telah mengonsumsi 75% sumber daya alam.

Saat sumber daya alam semakin mahal, kota-kota dunia memiliki pilihan cerdas dengan membangun infrastruktur yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Infrastruktur ini akan melindungi kota dari ketidakstabilan ekonomi dan sosial pada abad 21 yang dipicu oleh kelangkaan sumber daya alam.

Kota Melbourne, Australia, misalnya, mampu memangkas emisi hingga 40% melalui program efisiensi energi di bangunan-bangunan publik.

Kota Cape Town, di Afrika Selatan, merenovasi rumah keluarga miskin dan melengkapinya dengan lampu dan pemanas air bertenaga surya. Aksi ini berhasil memangkas emisi karbon hingga 6.500 ton per tahun, mengurangi kasus gangguan pernafasan hingga 75%, menciptakan lapangan kerja serta menghemat biaya pemanas bagi keluarga yang tidak mampu.

Masih banyak upaya lain yang bisa dilakukan menuju terciptanya kota hijau. Diantaranya adalah dengan mengurangi konsumsi bahan bakar fosil, membangun dan mengajak masyarakat beralih ke sistem transportasi publik, mengembangkan mobil listrik dan membangun lahan pertanian di pinggiran kota guna memasok kebutuhan pangan lokal.

Semua hasil penelitian ini dirangkum dalam laporan PBB berjudul “City-Level Decoupling: Urban Resource Flows and the Governance of Infrastructure Transitions” yang menampilkan 30 kasus pembelajaran yang bisa dijadikan inspirasi mewujudkan kota yang berkelanjutan.

Menurut International Resource Panel (IRP) dan Program Lingkungan PBB (UNEP), yang menyusun laporan ini, tantangan terbesar untuk mewujudkan kota hijau adalah menyediakan infrastruktur yang memadai. Dan dunia harus mengejar kekurangan pembangunan infrastruktur – yang mencapai 60% – guna menopang populasi perkotaan pada tahun 2050.

Biaya yang diperlukan untuk mewujudkan infrastruktur perkotaan ini mencapai $40 triliun dari tahun 2000 hingga 2030 baik dengan cara membangun infrastruktur baru (terutama di negara berkembang) atau merenovasi infrastruktur lama (di negara maju) agar lebih ramah lingkungan.

Menurut IRP, jika upaya ini berhasil, kota-kota dunia akan mampu mengurangi emisi karbon, meningkatkan produktivitas sumber daya alam dan menghindari praktik pembangunan yang mengeksploitasi lingkungan.

Program yang banyak diterapkan di kota-kota besar dunia adalah pembangunan jaringan bus dalam kota yang terintegrasi. Kota Lagos di Nigeria, misalnya memerkenalkan sistem Bus Rapid Transit (BRT) guna mengatasi kemacetan dan masalah polusi udara yang semakin parah di kota tersebut. Upaya ini berhasil mengurangi emisi sektor transportasi perkotaan sebesar 13% dan memangkas waktu perjalanan hingga separuhnya.

Jakarta dan beberapa kota lain di Indonesia juga telah menerapkan sistem ini. Namun sistem BRT masih menemui berbagai kendala baik dari sisi perawatan armada dan fasilitas insfrastruktur pendukungnya. Di Jakarta, armada busway banyak yang mengalami kerusakan.

Sistem ini juga tidak didukung oleh kontrol lalu lintas yang ketat, sehingga jalur busway banyak dicuri oleh kendaraan pribadi. Busway juga rentan kekurangan pasokan bahan bakar gas karena minimnya stasiun BBG yang mendukung. Sementara shelter busway banyak yang kurang terawat, panas serta kotor.

Selain masalah infrastruktur transportasi, masalah lain yang harus diatasi adalah masalah sampah dan limbah di perkotaan. Kota Durban, Afrika Selatan mengumpulkan dan mengolah limbah cair beracun sebelum menggunakannya kembali untuk irigasi. Mereka juga berhasil mengubah emisi metana dari lokasi penampungan sampah menjadi listrik senilai $20.000 per bulan. Di lokasi yang sama juga dikembangkan pembibitan pohon untuk penghijauan dan pencegahan longsor.

Singapura menjadi contoh negara kota yang berhasil mengelola sumber daya air secara bijaksana. Mereka memiliki rencana nasional untuk mengurangi konsumsi air sekitar 10% pada 2030 dengan menggunakan teknologi canggih guna mengolah air limbah menjadi air yang layak minum dan bisa dipakai lagi untuk keperluan industri.

Sumber: hijauku.com