Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Hentikan Pembahasan RUU Pemberantasan Perusakan Hutan
Oleh : rilis
Selasa | 16-04-2013 | 11:30 WIB
Iwan-Nurdin-KPA.jpg Honda-Batam
Iwan Nurdin, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria.

JAKARTA, batamtoday -- Rancangan Undang-undang Pemberantasan Perusakan Hutan yang sedianya diplenokan pada hari Jum’at 12 April 2013, ditunda DPR RI dengan berbagai alasan dan bahkan dengan kecurigaan satu dengan lainnya.

Sedari awal, Koalisi Masyarakat Sipil sudah mengingatkan DPR RI dan Pemerintah untuk tidak mengundang-undangkan RUU tersebut, disebabkan banyaknya kerancuan dan ketidaksinkronan RUU tersebut dengan Undang-undang yang lain. Bahkan RUU tersebut memiliki potensi besar merugikan masyarakat dan negara.

Koalisi Masyarakat Sipil, yang peduli terhadap kelestarian hutan dan hak rakyat dalam mengelola hutan, menilai bahwa DPR RI yang cenderung ngotot memaksakan pengesahan RUU tersebut tidak memiliki pemahaman tentang persoalan kehutanan di Indonesia. Sebab, sedari awal RUU tersebut telah cacat hukum dan cacat substansi di samping juga DPR RI tidak peka dalam melihat persoalan masyarakat, terutama masyarakat adat dan masyarakat lokal yang menempati wilayah di sekitar dan dalam hutan.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil juga menyatakan, jika Undang-undang Pemberantasan Perusakan Hutan terus dilanjutkan dan dipaksakan, maka ke depan UU ini dapat meningkatkan jumlah angka kriminalisasi masyarakat desa hutan, masyarakat adat dan petani yang menggantungkan hidupnya dari hutan.

"Konflik Agraria akan terus merebak dimana-mana seiring arogansi pemerintah yang akan mensahkan peraturan yang bertentangan dengan hak-hak masyarakat terhadap sumber kekayaan alamnya. Pemerintah seharusnya menjamin kepastian hukum dan hak-hak masyarakat di 32.000 desa yang ada di dalam dan sekitar hutan, bukan justru mengkerdilkannya dalam produk perundang-undangan," ujar Iwan Nurdin, Sekjen KPA, dalam rilis yang diterima batamtoday, Selasa (16/4/2013).

"Permasalahan penegakan hukum Undang-undang tentang Kehutanan nomor 41 tahun 1999 harusnya dijawab dengan memperbaik undang-undang tersebut, bukan malah membuat undang-undang baru," tambahnya.

Demikian juga masalah sulitnya koordinasi antar instansi/kementrian/lembaga, kata Iwan, harusnya tidak dipersoalkan dalam satu tata pemerintahan karena telah ada menteri koordinator dan juga semua menteri, kelembagaan dan institusi hukum berada di bawah Presiden.

Koalisi Masyarakat Sipil juga menilai DPR RI telah abai dalam menangkap persoalan-persoalan rakyat, seperti konflik tenurial, hak atas tanah serta hak untuk mendapatkan jaminan kehidupan yang baik.

"Persoalan klasik dari sektor kehutanan di Indonesia terletak pada tidak adanya kepastian batas kawasan hutan, korupsi, penyelewengan kewenangan, serta tidak direkognisinya wilayah kelola adat, di samping adanya gap yang besar antara supply dan demand bahan baku industry kehutanan. Permasalahan lainnya adalah tidak mampunya apparatus Negara menegakkan hukum," ungkapnya.

Melihat persoalan mendasar tersebut, harusnya yang dilakukan adalah audit pengelolaan hutan termasuk pinjam pakai dan pelepasan kawasan hutan. Akui hak-hak masyarakat di 32.000 desa yang ada di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Sejalan dengan upaya untuk mendorong terbangunnya tatakelola hutan, penegakan hukum serta pelestarian hutan, katanya, harusnya DPR RI terlibat dalam mendorong moratorium, memantau proses yang berlangsung serta mendesak pemerintah untuk menindak pelanggaran-pelanggaran Undang-undang Kehutanan.

"Dalam upaya memberikan kepastian hukum di sektor kehutanan dan tenurial, hendaknya DPR RI memahami landasan berpikir pendiri bangsa ini yang termaktub dalam UUD 1945, bukan malah memberikan dukungan terhadap pelanggaran hukum dengan membiarkan lahirnya PP nomor 60 dan nomor 61 tahun 2012, yang memberikan kekebalan hukum bagi para pelaku kejahatan di sektor kehutanan, perkebunan, pelanggaran terhadap Undang-undang Tata ruang yang berakibat pada semakin tidak bergunanya hukum dan apparatus Negara yang seharusnya menegakan hukum tersebut," turunya.

Koalisi Masyarakat Sipil juga menghimbau seluruh lapisan masyarakat di Indonesia yang peduli terhadap kelestarian hutan, peduli terhadap hak masyarakat adat dan masyarakat lokal serta peduli terhadap penegakan hukum yang adil untuk menolak RUU Pemberantasan Perusakan Hutan tersebut.

"Koalisi Masyarakat Sipil meminta DPR menghentikan pembahasan RUU P2H dan menggantinya dengan pembahasan revisi UU 41 tahun 1999. Kepentingan bangsa ini adalah bagaimana menjamin keadilan distribusi bagi seluruh rakyat dan memberikan jaminan atas ruang-ruang produktif rakyat, bukan malah mengkebiri hak rakyat," pungkasnya.

Koalisi Masyarakat Sipil: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI),  Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Epistema Institute, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Sylvagama, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Sawit Watch, Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM), PUSAKA, Indonesia Corruption Watch (ICW).

Editor: Dodo