Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Belajar dari Krisis Iklim di Australia
Oleh : Dodo
Senin | 15-04-2013 | 11:09 WIB

VICTORIA - Cuaca ekstrem seakan telah menjadi pemandangan sehari-hari di Australia. Dari waktu ke waktu, rekor cuaca ekstrem di Negeri Kangguru tersebut terus terpecahkan. Laporan terbaru dari Climate Commission berjudul “The Critical Decade: Extreme Weather” yang dirilis pada awal bulan ini mengungkapkan fenomena ini.

Menurut Climate Commission, walau rekor suhu terdingin di Australia masih akan tercipta, rekor suhu terpanas akan lebih sering terjadi – tiga kali lebih banyak dibanding rekor suhu terdingin.

Kebakaran ekstrem juga terus meningkat di sejumlah wilayah di Australia dalam 30 tahun terakhir, termasuk di New South Wales bagian selatan, Victoria, Tasmania dan beberapa wilayah Australia Selatan.

Di pantai timur Australia, kondisi hujan ekstrem terus terjadi melampaui tren yang terjadi di seluruh dunia. Kondisi ini menurut tim peneliti dipicu oleh kenaikan suhu permukaan air laut di sekitarnya.

Tren kekeringan dalam jangka panjang juga berdampak di bagian barat daya Australia Barat dimana curah hujan telah berkurang 15% dibanding periode pertengahan tahun 1970-an.

Dan air laut telah naik 20 cm dalam seabad terakhir. Hal tersebut berarti, risiko banjir di wilayah pesisir Australia semakin besar, yang menimbulkan tidak hanya kerugian ekonomi, namun juga mencabut nyawa dan merusak lingkungan. Sehingga upaya mengurangi dampak perubahan iklim secara efektif menurut Climate Commission harus terus menjadi prioritas.

Australia bagian tenggara, termasuk wilayah-wilayah berpenduduk terbanyak, menjadi wilayah yang paling berisiko terkena dampak cuaca ekstrem seperti gelombang panas, kebakaran semak, hujan deras dan kenaikan air laut.

Wilayah penghasil pangan di tenggara dan barat daya Australia juga semakin sering mengalami kekeringan. Sejumlah ekosistem terkenal di Australia juga merasakan dampak negatif perubahan iklim. Selama tiga dekade terakhir, Terumbu Karang Besar Australia (Great Barrier Reef) telah berulang kali mengalami pemutihan (bleaching) akibat gelombang panas bawah laut.

Lahan basah yang menjadi sumber air tawar di Taman Nasional Kakadu juga terancam intrusi air asin akibat kenaikan air laut. Sistem iklim terus berubah, mengubah kondisi cuaca, memicu cuaca ekstrem.

Penyebabnya tak lain adalah kenaikan emisi gas rumah kaca yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil. Emisi GRK Australia, menurut tim peneliti, telah meningkat hingga 40% dibanding periode awal revolusi industri, meningkatkan suhu bumi secara signifikan.

Saat ini, semua kondisi cuaca terjadi dalam sistem iklim dunia yang lebih hangat dan lebih lembab dibanding kondisi 50 tahun yang lalu. Diperlukan aksi yang cepat guna mencegah bencana perubahan iklim. Upaya yang harus dilakukan adalah dengan mencegah dan memangkas emisi gas rumah kaca guna menekan potensi iklim ekstrem pada masa datang.

Dunia telah bergerak mengatasi ancaman perubahan iklim ini. Sebanyak 90 negara yang mewakili 90% emisi dunia, telah berkomitmen mengurangi emisi dan memiliki program untuk mencapai target pemangkasan emisi.

Menurut Climate Commission, Australia sebagai penghasil emisi peringkat ke-15 dunia, berperan penting dalam mendukung pengurangan emisi global atau memangkasnya hingga nol pada 2050. Karena apapun aksi yang akan diambil oleh dunia dalam satu dekade ini akan menentukan tingkat bencana yang akan dialami oleh anak cucu kita nanti.

Sumber: hijauku.com