Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pengibaran Bendera GAM Mengiris Rasa Kebangsaan
Oleh : opini
Senin | 08-04-2013 | 10:24 WIB

Oleh Aripianto

KONFLIK PULUHAN TAHUN di Aceh bukanlah konflik horisontal (konflik agama maupun konflik etnis), tapi lebih merupakan konflik vertikal antara Pemerintah RI dengan GAM.

Ketidakadilan selama puluhan tahun yang dirasakan rakyat Aceh, dimana pemerintah pusat yang dirasa kurang memperhatikan kesejahteraan dan keadilan pembagian hasil sumber daya alam yang seharusnya dinikmati rakyat Aceh, serta tidak diakomodirnya aspirasi rakyat Aceh untuk membentuk sistem wilayah Aceh berdasarkan keistimewaan identitas budaya dan etos-religiusnya dengan menerapkan syariat Islam, menimbulkan kekecewaan besar yang terefelskikan melalui gerakan separtis GAM.

Kebijakan pemerintah rezim orde baru yang militeristik dan mengedepankan kekerasan dengan operasi militer DOM, justru semakin membuat penderitaan rakyat Aceh.

Cara diplomasi yang dikedepankan pemerintah dalam menyelesaikan konflik Aceh dinilai sebagai langkah yang cukup tepat, namun perlu diperhatikan bahwa riwayat perundingan RI-GAM sering diwarnai kegagalan. Perundingan tidak pernah benar-benar memuaskan. Sejak tahun 2000 sudah beberapa perundingan digelar, tetapi malah macet di tengah jalan. Namun di sisi lain, tercapainya perdamaian dengan GAM menjadi penting terutama bila dikaitkan dengan upaya rekontruski Aceh pascabencana tsunami, meski pada pascabencana pun, kontak senjata antara TNI dan GAM masih berlangsung di Aceh pada waktu itu.

Lahirnya Mou Helsinki cukup komprehensif, dan kemauan politik dari kedua belah pihak cukup kuat, namun tantangannya masih benar, nota kesepahaman(MoU) tersebut hanya menyebutkan penyelesaian dasar. Masih banyak persoalan yang belum terselesaikan. Implementasinya secara rinci juga masih belum jelas. Kesepakatan tersebut banyak melibatkan masyarakat sipil dan element masyarakat lainnya yang mewakili untuk berkontribusi. Ternyata masih dapat kesenjangan besar antara pandangan di Jakarta, Helsinki dan Banda Aceh serta kenyataan di lapanagan.

Konflik Aceh dan Dinamika Internasional

Seperti halnya konflik yang terjadi dimana pun juga, konflik internal di Aceh memiliki dampak serius terhadap masalah kemanusian dan mendapatkan perhatian Internasional. Mereka yang menjadi korban sebagian besar bukanlah mereka yang terlibat secara langsung dalam konflik, melainkan warga sipil. Konflik juga menimbulkan masalah pengungsi. Masyarakat Internasional melalui berbagai organisasi internasional seperti UNHCR, ICRC, WHO, sampai Dewan Keamanan PBB memberikan perhatian terhadap konflik Aceh. Pada tahun 2003, PBB pada waktu itu menganggarkan dana kemanusia untuk aceh sebesar 55 juta dolar AS. Dana bantuan kemanusian juga diberikan oleh pihak-pihak lain, seperti Jepang, Uni Eropa, dan Bank Dunia.

Pada masa pacsa orde baru, salah satu dampak reformasi adalah terjadi pembatasan peran pemerintah yang dominan dalam politik. Hal ini juga membawa dampak terhadap Aceh, status DOM (Darurat Operasi Militer) pada waktu dicabut pada tanggal 7 Agustus 1998, dan kasus-kasus pelanggaran HAM terungkap di publik sebagai bagian dari kejahatan politik dan kejahatan terhadap HAM yang diakukan oleh rezim orba. Tetapi sangat disayangkan, pemerintah tidak memberikan perhatian yang serius terhadap korban DOM dan anggota keluarganya.

Pada perkembangannya konflik Aceh menjadi isu yang terinternasionalisasi, terutama ketika terungkapnya ribuan penduduk sipil Aceh yang menjadi korban selama diberlakukan DOM di Aceh. Berbagai NGOs internasional terlibat dalam penyelesaian konflik Aceh. Salah satunya Henry Dunant Center for Humanitarian (HDC) yang terbentuk pada tahun 1999. Dimana Presiden Abdulrahman Wahid pada 30 Januari 2000, meminta kesediann HDC untuk berperan sebagai penegah dalam proses perundingan. Perundingan tersebut menghasilkan Joint Understanding of Humanitarian Pause for Aceh yang ditandatangani pada 12 Mei 2000 dan berakhir 15 Januari 2001.

Harapan dan Tantangan

Dalam jumpa pers di Kompleks Istana Presiden, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta para pemimpin di eksekusif, legislatif, dan yudikatif Aceh untuk menjaga pencapaian perdamaian di Aceh. Untuk itu, Presiden berharap agar masalah yang ada, terutama terkait lambang dan bendera Aceh, diselesaikan dengan baik sesuai aturan yang ada.

"Jangan ada masalah-masalah baru yang kembali ke masa konflik dulu...Tsunami yang merenggut korban jiwa sangat besar menjadi salah satu faktor yang memotivasi semua pihak untuk mengakhiri konflik. Aceh kemudian membangun masa depannya dengan baik dalam kesatuan NKRI. Itu sejarah, Presiden menambahkan, agenda dan fokus Pemerintah Aceh dan pusat adalah membangun dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh seperti dilakukan daerah lain. Presiden tidak ingin masalah lambang dan bendera Aceh ditarik ke ranah politik lantaran merupakan ranah hukum. Saya tidak ingin kita mundur ke belakang dan saya tidak ingin ada masalah-masalah baru yang sebenarnya tidak diperlukan. Kita harus bersatu dan bersama-sama menyelesaikan pembangunan di Aceh menuju kehidupan masyarakat Aceh yang aman, tenteram, dan damai. Lebih spesifik lagi sejahtera."

Sedangkan menurut Kementerian Dalam Negeri memberikan kesempatan selama 15 hari kepada Pemprov Aceh serta DPR Aceh untuk mempelajari hasil klarifikasi Mendagri terhadap Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Intinya, bendera dan lambang Aceh mesti diubah lantaran mirip lambang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Lantaran pada itu Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Priyo Budi Santoso meminta seluruh musyawarah pimpinan daerah (Muspida) Aceh kembali merembuk terkait pengesahan qanun tentang lambang dan bendera Aceh yang disebut mirip dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Aceh, disebut Priyo, merupakan daerah istimewa tapi tetap harus tunduk pada aturan perundang-undangan.  "Persoalan ini sangat serius. Semua pemimpin di Aceh yang terpilih demokratis, gubernur dan wakil gubernur, harusnya mengikhtiarkan kedamaian Aceh yang selama ini kita bangun," kata Priyo.

Di sisi lain, anggota Dewan Pakar Pembela Kesatuan Tanah Air (PEKAT) Cut Justisia mengatakan, Perjanjian Helsinki yang dibuat antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan sebuah bentuk kemerdekaan secara de facto yang diberikan kepada Aceh. Pemerintah diharapkan mampu memahami isi dari perjanjian tersebut. Jika tidak, hal ini dikhawatirkan akan menelurkan gerakan-gerakan separatis lain yang justru akan memecah-belah kesatuan negara.

Di dalam isi perjanjian itu Aceh bisa membuat partai sendiri, mata uang, bahkan bisa melakukan perdagangan internasional sendiri. Itu artinya Aceh sudah berdaulat secara de facto. Menurut Justiani, meski saat ini Aceh masih belum membuat mata uangnya sendiri, akan tetapi pergerakan menuju kemerdekaan Aceh sudah mulai ditunjukkan. Hal itu di perlihatkan dengan adanya pengibaran bendera di sejumlah wilayah di Aceh. Bendera dan mata uang sebenarnya adalah hal yang sama. Itu adalah simbol suatu negara. Seharusnya pemerintah itu sadar karena apa yang terjadi di Aceh juga bisa terjadi di wilayah lain.

Sementara itu, Sekretaris Jendral PEKAT Bob Hasan beranggapan, pembentukan bendera Aceh telah melanggar konstitusi negara. Apalagi mereka menaikkan bendera itu diiringi dengan kumandang adzan, itu merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap konstitusi. Hasan menilai, pengibaran bendera yang lalu sarat dengan adanya intervensi pihak asing.

Lantas dari pada itu Mantan Wapres Jusuf Kalla juga menyampaikan argumen, tidak ada alasan jika ada pihak yang mengatakan bendera Aceh tidak melanggar Perjanjian Helsinki karena di perjanjian tersebut terdapat butir-butir yang melarang penggunaan simbol-simbol GAM. Di Perjanjian Helsinki, ada pasal yang mengatakan GAM tidak boleh lagi menggunakan emblem-emblem dan simbol-simbolnya. GAM saja tidak boleh, Jusuf Kalla menyarankan, terkait polemik hal ini, sebaiknya ada pejabat dari pemerintah pusat yang berkunjung ke Aceh. Hal itu juga untuk mencegah terjadinya perpecahan di tengah masyarakat Aceh karena ada masyarakat yang mengibarkan bendera, tetapi di sisi lain ada masyarakat lain yang menolak.
    
Penulis adalah Kader GMNI Pekanbaru dan Mahasiswa FKIP/Universitas Riau