Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Catatan Peringatan Milad KAMMI ke-15

KAMMI dan Semangat Reformasi
Oleh : opini
Sabtu | 30-03-2013 | 13:27 WIB

Oleh R Dachroni

PADA TANGGAL 26-29 Maret 1998, ratusan mahasiswa muslim dari seluruh penjuru nusantara berkumpul di Masjid AR. Fachruddin Universitas Muhammadiyah Malang, anak-anak masjid kampus bersilaturahim nasional. Melalui FSLDK (Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus) ke-X itu, tepatnya pada 29 Maret 1998 para aktivis dakwah sepakat untuk membentuk suatu organisasi penggebrak sebuah sistem politik otoriter yang diterapkan oleh almarhum mantan Presiden Soeharto.


Organisasi tersebut adalah KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) yang diketuai oleh Fachri Hamzah sebagai Ketua Umum pertama dan Haryo Setyoko sebagai Sekretaris Umum.

Di tengah penerapan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus) di era 1980-an hingga dipenghujung masa berakhirnya pemerintahan orde baru, KAMMI bergerak menerobos dan membuka kran reformasi. Seperti yang ditulis oleh Mahfudz Sidiq (2003:55) dalam bukunya, "KAMMI dan Pergulatan Reformasi".

Hanya tiga belas hari sejak kelahirannya, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) melakukan "gebrakan besar" dengan menggelar "Rapat Akbar Mahasiswa dan Rakyat Indonesia" di lapangan Masjid Al-Azhar, Jakarta pada 10 April 1998. Rapat Akbar tersebut dihadiri sekitar 20 ribu massa aksi. Debut perdana ini mencengangkan publik Indonesia yang sedang meningkat tensi gelombang tuntutan reformasinya.

Seperti yang diberitakan di media massa, ada beberapa hal yang membuat aksi ini begitu penting. Pertama, jumlah massa yang hadir begitu besar mencapai 20 ribu orang. Kedua, aksi tersebut merupakan aksi pertama mahasiswa yang dilakukan di luar kampus. Ketiga, aksi massa besar di luar kampus itu ternyata berjalan secara tertib dan aman. Keempat, isu utama yang diangkat adalah "reformasi total" sebagai jalan penyelesaian krisis. Kelima, ini merupakan aksi pertama mahasiswa yang mampu memobilisasi dan mengkonsolidasi massa rakyat. Dalam aksi ini hadir ibu-ibu rumah tangga, buruh-buruh korban PHK dan beragam unsur masyarakat lainnya.

Ini merupakan prestasi aksi yang luar biasa sebab tak banyak grup-grup penekan (pressure group) yang tumbuh dan berkembang di masa pemerintahan keluarga cendana tersebut. Apalagi gerakan mahasiswa yang mudah dikontrol karena keterbatasan pergerakan yang hanya boleh bergerak di  intern kampus, sehingga apa pun bentuk kelompok-kelompok yang dibentuk apalagi kelompok yang diciptakan sebagai kontrol sosial pada saat itu harus mendapatkan restu dari presiden, meski secara tidak langsung. Agar gerakan-gerakan anti dengan presiden ketika itu tidak tumbuh dan berkembang, intel-intel mulai disebarluaskan di berbagai kampus.

Meskipun demikian, bukan tidak mungkin sistem super ketat yang dilakukan oleh pemerintahan di masa itu terhadap kelompok yang kontra dengan pemerintah terus bertahan. Kelompok-kelompok mahasiswa penekan yang ingin lepas dari sistem itu mencoba mencari celah-celah kelemahan untuk bergerak, khususnya para mahasiswa sebagai motivator reformasi.

Hilangnya kepercayaan terhadap pemerintah membuat rakyat muntah. Muak dengan janji-janji yang tak pernah ditepati, terlanjur benci dengan kesengsaraan yang bermula dari korupsi. Mahasiswa sebagai salah satu elemen kekuatan infrastruktur politik berusaha memperjuangkan bagaimana caranya mantan Presiden Soeharto dan kroni-kroninya bisa jatuh dan meletakkan jabatannya kepada rakyat yang telah sekian lama menderita.

Hingga pada akhirnya tuntutan reformasi ditanggapi Presiden Soeharto pada 18 Mei 1998, dengan mengumumkan rencana pembentukan komite reformasi, melakukan perubahan kabinet dan segera melakukan pemilihan umum dan menyatakan tidak bersedia untuk dicalonkan kembali. Namun, upaya politik yang dilakukan oleh Soeharto tidak direstui oleh beragam kalangan, utamanya mahasiswa. Akhirnya, dia menyatakan sikap untuk berhenti dari jabatannya sebagai presiden pada 21 Mei 1998 pukul 10.00 WIB.

Sesuai dengan agenda reformasi kata berhenti dari Soeharto tidak lah cukup untuk menambal luka lama rakyat. Oleh karena itu, kaum reformis yang telah berjuang, menuntut beberapa hal yang disebut agenda reformasi, 1) Adili Soeharto dan kroni-kroninya, 2) Amandemen UUD 1945, 3) Penghapusan dwi fungsi ABRI,  4) Otonomi daerah yang seluas-luasnya, 5) Supremasi hukum dan 6) Pemerintahan yang bersih dari KKN.

Terlepas dari terlaksananya atau tidaknya agenda tersebut, penulis beranggapan, hal itu merupakan titik cerah bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Hal ini juga sekaligus membuktikan adanya kolerasi yang kuat antara mahasiswa sebagai motor penggerak reformasi dan runtuhnya pemerintahan Orde Baru. Setidaknya dari refleksi ini ada tiga point penting yang akan penulis paparkan yaitu: mahasiswa sebagai kekuatan politik, agenda reformasi dan runtuhnya ORBA. Sekaligus membuktikan adanya intervensi dari Allah SWT untuk menumbangkan sebuah rezim kezaliman.

Mahasiswa sebagai Kekuatan Politik


Menurut Inu Kencana Syafiie (2003:26) Ada 7 komponen yang tergolong ke dalam kekuatan politik, yakni militer, partai politik, mahasiswa, cendekiawan, pengusaha, pemuka agama dan pressure group (grup penekan). Mengapa mahasiswa digolongkan juga ke dalam kekuatan politik? Padahal semua orang tahu, mahasiswa adalah kaum intelektual yang kecil sekali kemungkinannya untuk terjun ke dalam politik aktif.

Secara supra struktur politik keadaan seperti ini benar adanya. Namun, kekuatan di sini dimaksudkan kekuatan yang berani menggebrak tindakan-tindakan menyimpang yang dilakukan oleh pemerintah. Dengan sikap kritisnya, pemerintah tentu akan berhati-hati dalam mengambil suatu kebijakan dan berpikir panjang mempergunakan wewenang yang cenderung membuat mereka berbuat sewenang-wenang.

Oleh sebab itu, jangan heran kalau di kalangan mahasiswa sendiri mempunyai beragam bentuk organisasi baik intra maupun eksta. Semua ini ditujukan kepada satu orientasi yakni kebenaran. Kebenaran yang memang mereka rasa perlu untuk diperjuangkan bukan didiamkan. Untuk itulah, kebenaran yang belum terungkap mereka beberkan sampai lahirlah reformasi dan berakibat runtuhnya pemerintah rezim orde baru.

Dalam hiruk-pikuk gerakan reformasi yang merebak pada awal tahun 1998 dan menghasilkan perubahan yang berarti pada akhir bulan Mei, setidaknya dapat dijumpai adanya tiga potensi yang menentukan terjadinya perubahan. Selain momentum (krisis) dan kehendak yang kuat (bagi munculnya perubahan), juga terdapat satu potensi lagi yang berperan amat besar, yakni massa yang dimotori oleh orang-orang muda yang disebut mahasiswa (A. Zamroni & M. Andin;1998: 105).

Upaya KAMMI Menggiring Reformasi


Tak terasa reformasi sudah berjalan sebelas tahun. Sekilas mengingat kembali ada enam agenda yang mahasiswa usung ketika aksi demonstrasi menuntut reformasi: (1) Adili Soeharto dan kroninya, yang dianggap telah melakukan jurus KKN semasa kepemimpinannya, sehingga negara ini jatuh bangkrut (2) Amandemen UUD 45, yang isi atau pasalnya sudah tidak relevan lagi dengan zaman yang semakin mengglobal. (3) Penghapusan Dwi Fungsi ABRI, sebagaimana yang dikatakan Andi Yusron (1999:13) dalam bukunya yang berjudul "Reformasi Ekonomi Politik". Logika sederahana yang membuat massa begitu kuat "menggugat" peran politik ABRI, khususnya Dwi Fungsi-nya adalah kuatnya anggapan, bahwa ABRI melalui peran politiknya telah turut andil dalam memperbesar dan memperkokoh bangunan piramida kekuasaan ORBA untuk itu, ABRI dianggap sebagai salah satu pihak yang bertanggungjawab terhadap krisis politik dan ekonomi yang melanda Indonesia saat ini.

(4) Otonomi daerah yang seluas-luasnya, azas sentralistik membuat setiap daerah tak mampu mengembangkan pribadi setiap daerah karena segala keputusan harus menunggu pemerintah pusat. (5) Supremasi hukum, hukum dianggap lemah  di zaman pemerintahan Soeharto karena secara empirik mengabaikan persamaan setiap pribadi dalam hukum. Para pejabat serta golongan atas lainnya seolah-olah mendapatkan SIM (Surat Izin Melanggar) hukum positif Indonesia, sehingga berpuluh-puluh tahun lamanya peradilan Indonesia tercorengi oleh ketidakadilan. (6) Pemerintah yang bersih dari KKN, korupsi, kolusi dan nepotisme bukan hal asing bagi kabinet pembangunan ciptaan Soeharto, melainkan sesuatu hal yang dilakukan berulang-ulang hingga menjadi suatu kebiasaan, sehingga sudah sepatutnya untuk diberangus. Namun, apakah perbuatan yang dilakukan berulang-ulang itu dapat diberantas tuntas?

Menuntaskan Agenda Reformasi

Tak dapat dipungkiri, dengan adanya reformasi, masyarakat sepertinya mengeluh karena tidak merasakan nikmatnya hidup berdemokrasi sebab untuk membeli terasi saja sekarang sudah memakan biaya yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan orde baru dahulu. Lalu, pantaskah kita menyalahkan reformasi yang diperjuangkan bersama-sama.

Meminjam pendapat Eep Saefullah Fatah, proses reformasi di Indonesia adalah proses yang masih berlangsung dan terus berlangsung. Setidaknya ada tujuh hal yang mencakup asumsi mendasar dalam reformasi itu sendiri antara lain; 1) kekuasaan mengalami proses desakralisasi, 2) pembangunan mengalami proses demitologisasi, 3) Orde Baru mengalami degradasi kredibilitas, 4) hak dan kewajiban rakyat mengalami redefinisi, 5) sejarah mengalami reinterprestasi, 6) pemerintahan melemah dan seolah-olah dilemahkan, dan 7) informasi mengalami pluralisasi.

Mengapa reformasi Indonesia adalah proses yang masih berlangsung dan terus berlangsung. Ada tiga indikator mengapa Eep Saefullah Fatah berkata demikian. Pertama, proses reformasi saat ini belum tentu mengarah pada perbaikan-perbaikan menghasilkan distorsi-distorsi baru. Kedua, reformasi berlangsung di saat belum adanya alternatif baru. Ketiga, reformasi yang belum selesai saat ini akan terus ditandai oleh perkembangan demi perkembangan.

Selain itu, Huntington dalam analisisnya menyebutkan juga tentang kendala-kendala yang akan dihadapi oleh reformasi yang kemudian juga kelak suatu waktu akan menuju dan menjiplak proses revolusi. Dia menganggap ada tiga hal yang dihadapi oleh reformasi, 1) perjuangan mereka bersifat ganda, yaitu menghadapi kelompok-kelompok perjuangan mereka bersisi ganda yaitu menghadapi kelompok-kelompok konservatif dan revoluioner.

2) Para agen reformasi tidak hanya harus lebih ahli dalam menggerakkan dan mendayagunakan kekuatan-kekuatan sosial, tetapi juga harus lebih berpengalaman dalam mengendalikan perubahan sosial. 3) Masalah prioritas dan alternatif antar perbedaan tipe-tipe reformasi jauh lebih akut. Memang reformasi saat ini belum mampu meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, dari reformasi masyarakat diberikan ‘kebebasan’ untuk membuka usaha dan berpendapat, sehingga masyarakat tidak hanya mengurusi masalah “kampung tengah”-nya saja. Akan tetapi, turut berpartisipasi mencari solusi untuk membangkitkan bangsa ini dari keterpurukan.

Itulah sebabnya, diusianya yang relatif masih muda KAMMI selalu mengambil bagian penting dalam agenda perubahan dan perbaikan untuk negeri ini seperti berpartisipasi dalam mengontrol kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat demi mewujudkan dan menciptakan masyarakat yang madani di Indonesia dan KAMMI siap menjadi pemimpin-pemimpin masa depan yang tangguh yang tidak cengeng dengan kondisi realita yang sering berseberangan dengan apa yang diharapkan masyarakat.

Penulis adalah Ketua Umum PD KAMMI Kepulauan Riau.