Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Oposisi dan Pembangunan Pemerintahan
Oleh : opini
Senin | 18-03-2013 | 09:16 WIB

Oleh Rendra Setyadiharja


DALAM DEMOKRASI, pemerintahan dibangun dari kekuatan rakyat. Meski dalam prakteknya masih menjadi sebuah diskursus, di mana letak kekuatan rakyat itu sebenarnya. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa tanpa rakyat sebuah pemerintahan tak dapat dibentuk dengan baik.


Perjalanan sejarah pun telah membuktikan, dimana perjalanan pemerintahan di era orde baru yang sangat mengesampingkan peran rakyat. Atas nama stabilitas politik, ekonomi, dan keamanan, maka kekuatan rakyat dilemahkan dalam berbagai aspek. Rakyat hanya mampu memberikan suaranya dalam sebuah demokrasi yang sangat prosedural, dan itu pun merupakan rekayasa politik yang sudah diatur dan diawasi oleh pemerintahan orde baru beserta antek-anteknya. Kekuatan militeristik menjadi sebuah ancaman bagi rakyat jika ingin menyuarakan sebuah aspirasi, kritik dan masukan terhadap pemerintah. Inikah demokrasi itu?

Di era reformasi, pasca runtuhnya rezim orde baru yang seolah membuka gembok pintu kekuatan rakyat yang selama ini terkungkung dan terkunci adalah sebuah momentum dimana kekuatan politik rakyat bangkit dan kembali dapat tersalurkan. Dimana rakyat memegang kedaulatan tertinggi di Republik ini. Namun, sebagaimana dikatakan di atas, hal ini menjadi sebuah tanda tanya besar, di manakah letak kedaulatan dan kekuatan rakyat tersebut?

Salah satu pembangunan demokrasi dan relevansinya dengan meningkatkan kekuatan rakyat adalah adanya otonomi daerah. selain persoalan agar pemerintahan lebih efektif jika dilakukan desentralisasi, maka alasan lain dilakukannya desentralisasi sebagaimana dijelaskan oleh Smith (2005) adalah sebagai pendidikan politik bagi rakyat, untuk lebih siap hidup dalam sebuah proses demokrasi yang sesungguhnya.

Pelimpahan sebagian wewenang kepada daerah adalah agar melatih rakyat untuk bisa meningkatkan kecerdasan politiknya dalam berdemokrasi, salah satunya adalah dengan memilih kepala daerahnya. Memillih kepala daerah di daerahnya sendiri, secara tidak langsung akan melatih rakyat untuk sadar bahwa peran dan kekuatan rakyat sangat dominasi dengan mereka bebas menentukan siapa pemimpin di daerahnya lewat sebuah prosedur pemilihan kepala daerah langsung (pemilukada). 

Namun setelah itu, kekuatan rakyat tak hanya berhenti dalam sebuah proses yang disebut dengan pemilukada belaka. Kekuatan rakyat bukan saja hanya dibutuhkan sebagai suara untuk meraih kursi kepala daerah belaka. Kekuatan rakyat perlu ditata kembali dalam rangka pembangunan pemerintahan daerah itu sendiri. Oleh karena itu, menurut Panuju (2011) perlu adanya sebuah gerakan oposisi dalam rangka pembangunan pemerintahan itu sendiri.

Oposisi yang kita kenal selama ini hanya sebatas partai opisisi di tingkat parlemen. Namun pengertian oposisi sebenarnya adalah kekuatan-kekuatan politik yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat itu sendiri. Kekuatan-kekuatan politik merupakan sebagai wadah dimana dalam demokrasi di Indonesia, kekuatan rakyat harus berada dalam sebuah wadah yang terorganisir, seperti ormas, LSM, lembaga kemahasiswaan, akademisi, media, dan partai politik. 

Dalam pembangunan pemerintahan, khususnya di daerah, peran kekuatan-kekuatan politik ini harus berjalan dan berperan tidak hanya sebagai pendukung belaka, namun juga bisa sebagai oposisi dari pemerintahan tersebut. Hal ini bertujuan sebagai penguatan peran checks and balances antara rakyat dan pemerintah. Peran checks and balances tidak hanya bisa dilakukan oleh lembaga parlemen saja, namun juga bisa dilakukan oleh kekuatan politik masyarakat lewat salah satu wadah yang terorganisir tersebut. 

Kleden (Panuju: 2011) mengemukakan beberapa alasan oposisi yang dilakukan oleh kekuatan politik masyarakat yaitu, pertama, bahwa oposisi bukan hanya untuk mengawasi kekuasaan. Oposisi diperlukan karena apa yang baik dan benar dalam politik haruslah diperjuangkan melalui kontrak politik dan diuji dalam wacana politik yang terbuka. Alangkah naifnya dalam era reformasi dan era desentralisasi ini, pemerintahan daerah merumuskan kebijakan dengan tanpa kontrol dan pelibatan masyarakat di dalamnya. Maka kekuatan politik masyarakat seyogyanya menjadi agen of control dari kebijakan pemerintah. 

Kedua, dengan adanya kontrol lewat oposisi maka masyarakat akan mengetahui titik lemah dari suatu kebijakan, sehingga dengan mengetahui titik lemahnya kebijakan pemerintahan, masyarakat tidak 'tersandera' dengan kebijakan yang belum tentu baik untuk masyarakat, dan ini semua tentunya perlu semua pantauan dan pengawasan yang cermat dari kekuatan politik masyarakat,  mulai dari agenda setting, dan formulasinya hingga pada tataran implementasinya, sehingga kebijakan yang dinilai lemah dapat langsung diadvokasi dan diperbaiki serta menjadi bahan masukan bagi pemerintah. 

Ketiga, oposisi diciptakan agar akuntabilitas pemerintah akan lebih tinggi. Pengawasan dari masyarakat lewat kekuatan-kekuatan politiknya, akan membuat pemerintah berhati-hati dalam bertindak dan harus mampu mempertanggungjawabkan tindakan itu kepada masyarakat. Tentunya akan lebih menjaga sikap pemerintah dalam bertindak dan membuat sebuah kebijakan. Karena hal yang paling kecil sekalipun harus mampu dipertanggungjawabkan kepada masyarakat baik secara moral terlebih lagi secara hukum dan prosedur.  

Selain tiga alasan ini, ada sebuah alasan lagi yaitu akan membuat pemerintah semakin transparan terhadap kebijakannya. Dengan pengawasan yang intens dari kekuatan politik masyarakat, tentunya pemerintah akan berusaha bersikap transparan terhadap apa yang akan dan sudah dilakukannya. Dengan transparansi maka akan memudahkan masyarakat mengetahui, apa yang dilakukan oleh pemerintah, sudah benar atau salahkah, sudah tepat atau terjadi penyimpangan. 

Namun untuk membentuk sebuah oposisi yang tujuan positifnya adalah pembangunan pemerintahan itu sendiri, membutuhkan sikap masyarakat yang cerdas dalam perpolitikan. Masyarakat sudah harus merubah pola pikir apatis dan pragmatisnya. Selama ini masyarakat berpendapat bahwa tidak ada untungnya mengambil bagian dalam politik jika tidak ada sesuatu hal yang didapatkan bagi diri masyarakat itu sendiri.

Namun ketahuilah, bahwa pemerintah dalam sebuah negara demokrasi jangan dibiarkan berjalan dengan sendirinya, yang terjadi malah akan terjadi pemerintahan yang bertangan besi, yang akan merontokkan segala kekuatan masyarakat yang akhirnya merugikan masyarakat itu sendiri. Maka oleh karena itu, mari kita sebagai masyarakat lebih cerdas dalam memandang perpolitikan bangsa ini yang semakin hari semakin menggambarkan kondisi yang kurang mengenakkan.

Jika tidak dengan peran kita, siapa lagi yang akan mengawasi dan memberikan kritik dan saran, yang tentunya kontruktif, yang tujuannya adalah terciptanya pemerintahan yang lebih demokrasi yang tidak hanya prosedural namun juga secara subtansial. Mari kita bangun demokrasi dalam perpolitikan dan pemerintah di negara kita secara luas, dan di daerah kita secara khusus. Dengan bersama-sama bersikap cerdas, kritis, dan membangun, yang ekspektasinya adalah sebuah perubahan dan perbaikan dari sistem perpolitikan dan pemerintah itu sendiri.

Penulis adalah Dosen STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang dan Kabid Litbang Lembaga Kajian Politik dan Otonomi Daerah (LKPOD) Gurindam.