Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Geliat Politik Jelang Pilgub Riau
Oleh : opini
Senin | 04-03-2013 | 10:54 WIB

Oleh Aripianto


BERBICARA tentang Pilkada ini merupakan momentum bagi rakyat untuk memilih kepala daerah baik itu gubernur, walikota dan atau bupati yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Pilkada bukan saja sebagai momentum pemilihan kepala daerah, tetapi pilkada juga mempunyai beragam artikulasi baik sebagai pesta demokrasi dan sebagai momentum yang mempunyai fungsi strategis dikarenakan berhubungan dengan perubahan untuk rakyat.


Dari sisi demokrasi, pilkada adalah adanya suara yang dipilih oleh rakyat, "suara rakyat adalah suara Tuhan". Sedangkan aspek pesta demokrasi akan menjadikan semua kandidat membentuk tim-tim pemenangan dan unit-unit pendukung untuk menarik dukungan dan simpati dari rakyat dalam suatu teritori daerah untuk memberi dukungan suara (voters).

Pesta demokrasi menjadi momentum yang betul-betul demokratis, artinya rakyat memilih secara partisipatif dan dorongan moral yang sangat sadar, bukan paksaan terhadap sosok kandidat yang akan dipilih sehingga penyadaran ini dilihat kepada sosok kandidat atau figur kandidat yang mempunyai track record yang bagus dan kredibel dari segi kemampuan, perbuatan, tingkah laku, dan kecerdasan. Sehingga bukan memilih dikarenakan kepada fanatisme yang sempit, like and dislike terhadap kandidat tertentu dan juga tawaran-tawaran semu oleh kandidat tertentu beserta tim pemenanganya yang memainkan pesta demokrasi dalam arena pilkada.

Setiap warganegara atau rakyat memiliki suara, dikarenakan rakyat yang memilih secara langsung. Jika kita golongkan, maka pada momentum pilkada dapat digolongkan menjadi tiga bagian: pertama, rakyat pada posisi sebagai pemilih yang kritis adalah mereka golongan masyarakat yang mengerti dan memahami proses-proses pilkada yang harus dilaksanakan sesuai aturan yang tertib dan demokratis.

Kedua, rakyat pada posisi pendukung mereka golongan masyarakat yang mempunyai dimensi fanatisme diakibatkan posisinya sebagai kerabat keluarga, pertemanan dikarenakan sesama pebisnis atau satu bendera dalam perusahaan dan juga mereka dari golongan partai politik pendukung dan bisa juga masyarakat yang sudah direkrut oleh tim-tim pemenangan kandidat. Ketiga, rakyat pada posisi sebagai kelompok massa mengambang atau masyarakat yang belum mengerti benar proses dan mekanisme pilkada serta belum mempunyai penilaian akan kandidat yang akan dipilihnya.

Geliat Politik Riau 2013
Menjelang di langsungkannya Pilkada Riau, suhu politik sudah mulai memanas setelah KPU propinsi menerima kandidat balon gubenur yang akan bertarung di ajang pemilukada tersebut resmi terdaftar. Di saat itu, bakal calon gubenur sudah pula melakukan aktifitas politiknya. Sekali pun jadwal kampanye belum selesai dibuat, jangankan jadwal kampanye, penentuan nomor urut masing-masing kandidat juga belum lagi selesai dipublikasikan, para Calon sudah mulai melakukan perjalanan politiknya.

Melihat fenomena dari bergejolaknya suhu politik di Riau yang memulai memanas sebagai ekspresi dari aktivitas demokrasi, tentunya telah memiliki pertanggungjawaban secara substansi, struktur, dan kultur. Artinya, dari aspek perundang-undangan atau aturan main, aspek penyelenggaraan secara nyata atau kredibilitas manusia yang terlibat dan aspek kesadaran bersama atau pola pikir jernih, telah menempatkan aktivitas pilkada sebagai wahana yang telah disepakati secara bersama sebagai baik adanya.

Dengan demikian, keseluruhan peserta atau kontestan telah dibekali dengan mentalitas siap menang dan siap kalah. Demikian pula panitia penyelenggara yakni KPU, juga telah dibekali dengan mentalitas melakukan tugasnya secara kredibel. Dan yang terakhir, masyarakat sebagai pemilik hak suara akan bersikap dewasa dan jujur demi kesuksesan pilkada. Pemilihan Gubernur Riau periode 2013-2018 akan dilaksanakan 4 September 2013 mendatang. Sedangkan rencannya untuk pemilihan putaran kedua akan dilaksanakan 30 Oktober 2013.

Jika kita melihat selama berlangsungnya proses pilkada terjadi situasi yang cenderung menghangat karena ada gesekan kepentingan sementara waktu, tentunya dapat diterima sebagai kewajaran dan tidak sampai merugikan kepentingan lebih besar. Dengan demikian, munculnya ketidakpuasan terhadap hasil pilkada dapat pula diterjemahkan sebagai suatu yang wajar-wajar saja. Sambil semakin melatih kedewasaan kita dalam hidup berdemokrasi. Sikap destruktif tidak menerima kekalahan yang diekspresikan dengan aksi-aksi yang cenderung anarkis, tentunya tidak dikehendaki oleh siapapun yang mencintai pembangunan demokrasi secara sehat. 

Anggaran Pilgub dan Sorotan Publik
Dalam penyelenggaraan Pilgub Riau tentunya, tahapan kampanye merupakan hal yang paling sensitif dan memegang peranan penting dalam pertarungan kandidat sang calon untuk menarik simpati dari rakyat sebagai lokomotif politik. Janji-janji politik merupakan sebuah reinforcemen atau penguatan eksistensi kandidat sang calon dalam mewarnai sketsa wajah pilgub.

Di sinilah letak strategis yang dijadikan lahan basah untuk menarik simpati rakyat melalui janji-janji politik mereka. Tuntutan politik secara kepartaian dan antusiasme pribadi untuk bertengger di singasana penguasa, terlepas tujuannya untuk mengabdi atau tidak, menjadikan mereka harus tampil meyakinkan dan berwibawa. Apalagi mengingat biaya yang harus digelontorkan dalam penyelenggaraan Pilkada Provinsi Riau pada tahun ini, yang dianggarkan KPU sebesar Rp282 miliar.

Tentunya, dengan pelaksanakan Pilgub Riau yang damai, tertib, saling menghargai dan tidak melemparkan isu yang menjatuhkan calon lain, kita berharap Pilgub Riau dijadikan contoh bagi provinsi lain. Betapa indahnya jika Pilgub Riau ini berkualitas dan menjadi contoh dan referensi bagi provinsi lain dalam melaksanakan Pemilukada. Masyarakat Riau pada umumnya juga harus selalu mengingat, bahwa daerah ini tidak boleh terlepas dari budaya Melayu yang saling menghargai perbedaan.

Dampak politik akan besar berpengaruh pada sistem yang ada, baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional. Terutama adalah keterpengaruhan itu bisa terjadi akibat dari statemen masing-masing kandidat cagub/cawagub yang dipelopori oleh partai politik. Keterpengaruhan itu adalah, kalau calon yang didukungnya itu mengalami kekalahaan, pada akhirnya nanti partai pendukung akan mengalami degradarsi politik dari kader partai tesebut. Kepercayaan kader terhadap elitnya mulai mengalami pengendoran, dan seterusnya. Masalahnya pilgub ini sebagai barometer untuk menghadapi pemilihan legislatif di tahun 2014

Sudah menjadi kebenaran universal, bahwa dalam diri manusia terdapat nilai-nilai baik yang selalu menjadi cita-cita mereka untuk diwujudkan. Nilai kejujuran, kerelawanan, dan keadilan. Dalam tatanan sosial nilai-nilai baik itu akan teraktualisasi, baik pada perilaku masyarakat maupun individu yang transparan, akuntabel, dan demokratis itu sendiri. Tuntutan demokrasi selalu muncul ketika manusia merasa didominasi, dibodohi atau merasa dibohongi yang pada dasarnya adalah antagonisme nilai-nilai baik manusia tersebut. Sehingga, perjuangan demokrasi adalah perjuangan untuk mencapai penegakan nilai-nilai universal tadi. Sementara, subyek atau pelaku dari cita-cita tersebut adalah manusia itu sendiri.

Penulis adalah kader GMNI Pekanbaru dan Mahasiswa FKIP Universitas Riau