Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Krisis yang Belum Berakhir

Krisis Pangan Sebagai Akibat Keserakahan Negara Besar dan Korporasinya
Oleh : redaksi
Rabu | 23-03-2011 | 09:56 WIB

Oleh: Zainal Abidin

Di Amerika Serikat, saat ini diperkirakan 14,5 juta lebih penduduknya menganggur, sementara di Eropa, dari data eurostat di 27 negara anggota UE pengangguran sudah melampaui angka 9,6% atau sebanyak 23,25 juta jiwa dengan Spanyol sebagai negara di urutan pertama dengan tingkat pengangguran mencapai 20,6% dari angkatan kerja.

Di Jazirah Arab, isu soal pangan adalah isu yang sangat sensitif dan dapat mengguncang struktur politik di negara-negara tersebut. Sehingga tidak heran jika subsidi terbesar negara, salah satunya dialokasikan untuk kebutuhan pangan rakyat. Bahkan negara-negara kaya di Arab, seperti Uni Emirat Arab dan Arab Saudi rela menyewa tanah di negara lain seperti di Brazil, Afrika bahkan Asia untuk mengamankan cadangan pangan nasionalnya.

Menurut catatan FAO, bahwa penduduk di negara miskin harus mengalokasikan 50–70% dari pendapatannya untuk sektor pangan. Padahal di timur tengah saja sepanjang awal januari, harga pangan telah mengalami kenaikan sebesar 20–30 %.

Kenaikan harga komoditi pangan sebenarnya melanda dunia secara umum dalam arti semua penduduk dunia mengalaminya, akan tetapi bagi rakyat di negara miskin kenaikan tersebut tentu memiliki efek pukul yang jauh lebih kuat, apalagi hal tersebut sudah pasti akan diikuti pula oleh kenaikan inflasi.

Di World Economics Forum yang diselenggarakan di Davos Swiss, FAO sendiri sudah menyatakan bahwa krisis terutama krisis pangan dan energi terutama minyak belumlah berakhir akan tetapi justru akan memasuki fase yang akan mengancam banyak negara di belahan dunia. Hal ini terlihat pada kenaikan harga komoditi pangan dunia yang telah mencapai kenaikan paling tingginya pada bulan Desember 2010, yang kenaikannya lebih besar dari tahun 2008.

Hal  ini belum ditambah pada kenyataan bahwa tidak ada jaminan sama sekali bahwa minyak dunia tidak akan mengalami kenaikan, padahal kenaikan harga minyak dijamin akan mendorong kenaikan harga–harga yang lainnya. Pada tahun 2009, lebih dari 1 miliar jiwa menderita malnutrisi, bukan karena tidak cukup makanan, tetapi karena mereka terlalu miskin untuk membelinya. Ironisnya, 30% makanan di dunia terbuang setiap tahunnya. Walaupun, masyarakat sub gurun Sahara di Afrika yang memiliki tingkat kelaparan tertinggi, mayoritas angka penduduk yang menderita kekurangan gizi ini sebenarnya ada di Asia. Awal tahun 2011, dengan jumlah penduduk 8,6 milyar dunia akan mengalami penurunan produksi pangan sebesar 3.8 persen menjadi 1.726 m.ton sementara konsumsi dunia mencapai 1.787 m. ton.

Memang benar, bahwa ancaman krisis pangan dan kenaikan harga pangan dunia salah satunya dipengaruhi oleh keadaan alam. Perubahan iklim dan cuaca yang tidak menentu menyebabkan serangkaian gagal panen di sejumlah negara, apalagi setiap kenaikan suhu 3  derajat akan menimbulkan turunnya hasil panen antara 20–40 persen terutama di Amerika latin dan Afrika.  Secara global sepanjang januari harga pangan telah naik mencapai 35  persen dari harga sebelumnya. Akan tetapi pangkal soalnya adalah kemiskinan yang akut dari sebagian besar rakyat dunia, menyebabkan tidak terbelinya bahan makanan oleh mereka. Jika angka kemiskinan memang turun, seharusnya trend angka kelaparan juga ikut turun akan tetapi faktanya tren angka kelaparan dan malnutrisi cenderung naik.

Tetapi dibalik itu semua, berbagai hal terkait kebijakan yang dijalankan terkait dengan industri pangan dunia telah membawa umat manusia ke dalam ancaman krisis pangan dan kelaparan akut yang mematikan. FAO sendiri telah memperingatkan, akibat monopoli dan investasi yang berlebihan telah mendorong kenaikan harga sarana produksi pertanian global secara sinifikan. Belum lagi perhitungan kenaikan harga pangan akibat ulah spekulasi di pasar berjangka.

Tentu investasi yang berlebihan di bidang tanaman pangan yang dilakukan bukanlah untuk memajukan produktivitas pertanian, karena sejak tahun 1986 hingga 2006 utang lunak sektor pertanian terus turun dari 17 persen menjadi hanya tinggal sekitar 3 persen, bahkan di negara berkembang riset pertanian hanya dialokasikan sekitar 0,6 dari PDB. Investasi yang berkembang adalah praktek untuk mengejar keuntungan sebesar-besarnya dari perdagangan sektor komoditi pangan. Mulai dari mengambil keuntungan pada sektor sarana produksi pertanian, penjualan bibit hingga pasca panen, dan hal yang paling menguntungkan dari upaya tersebut adalah dengan melakukan monopoli.

Akibat monopoli dan investasi yang berlebihan, sejak tahun 2008 saja kenaikan harga pupuk telah melonjak naik lebih cepat dari harga pangan, kenaikan harga pupuk mencapai 59 persen. Selain pupuk, harga benih tanaman pangan juga mengalami kenaikan. Benih jagung mengalami kenaikan sebesar 36 persen,  benih gandum naik mencapai 72 persen dan harga pakan ternak naik mencapai 62 persen. Jagung dan gandum adalah bahan utama sereal yang merupakan makanan pokok di banyak negara terutama Eropa, Timur Tengah, Australia, Afrika dan Amerika.

Di Indonesia selama kurun waktu Januari 2010 sampai Januari 2011 harga beras telah mengalami kenaikan sebesar 22,74 persen atau menjadi sekitar Rp 9.200/kg. Harga beras termurah pun naik 22,6 persen menjadi 7.452/kg.  selain itu Indonesia harus mengeluarkan tidak kurang 50 triliun pertahun untuk membayar impor pangan.

Belum lagi kenyataan, akibat kampanye tentang bioenergi tahun 2007 telah mendorong 86 juta ton jagung yang seharusnya untuk sereal tetapi diubah untuk menjadi energi. Kampanye ini juga telah menyebabkan jutaan hektar tanah di konversi menjadi tanah perkebunan, FAO melansir bahwa setiap tahun 5–10 juta hektar tanam pertanian berkurang meski di Amerika Latin, Asia Tengah dan Afrika masih memiliki tanah yang potensial untuk dikembangkan.

Singkatnya, bahwa krisis pangan yang mengancam kehidupan umat manusia di bumi secara umum bukanlah semata–mata di sebabkan oleh faktor alam seperti yang selama ini dikampanyekan.  Faktor utama penyebab krisis pangan adalah kegagalan sistem ekonomi yang selama ini dijalankan oleh negara–negara imperialis besar semacam Amerika Serikat (AS), Uni Eropa (UE) yang selama ini mendikte kebijakan internasional.

Selama ini, di bawah kendali AS dan sekutunya berbagai negara di belahan dunia dipaksa untuk mengikuti mekanisme sesuai dengan kepentingan mereka. Akan tetapi disaat yang sama, negara-negara seperti AS, UE, Rusia dan Kanada mengurangi nilai ekport gandum dan jagung mereka. Penghapusan proteksi untuk negara–negara pemasok pangan, bahkan lewat FAO memaksa banyak negara untuk melepaskan cadangan pangan mereka seperti yang dialami Jepang, sementara itu berbagai perusahaan besar yang bermarkas pusat di Amerika Serikat akan menuai keuntungan dari krisis pangan ini.

Selama kuartal terakhir di bulan November 2010 saja, Cargill telah memperoleh laba fiskal yang naik 3 kali lipat yaitu sebesar $1,49 Miliar. Salah satunya keuntungan yang luar biasa di bisnis pupuk yang dimiliki Cargill, selain dari dagangan di sektor Agrobisnis. Bahkan dalam perkembangan terbaru, setelah membeli 286 Juta saham produsen pupuk Mosaic, Cargill bergerak cepat dengan membeli 86 Persen saham PT Sorini Agro Asia Corporindo Tbk, sebuah perusahaan yang bergerak di pengadaan tepung pati, pemanis termasuk lemak dan minyak di wilayah Asia Tenggara.

Sehingga seluruh negara di belahan dunia dipaksa untuk menjadikan bahan pangan sebagai komoditi yang diperdagangkan secara bebas tanpa intervensi negara. Tidak heran jika pencabutan subisidi, pencabutan bea masuk impor bahan makanan menjadi salah satu isu yang terus di gelontorkan. Alasan sederhana demi menekan harga komoditi pertanian, sementara di lain sisi pertanian lokal akan dibunuh pelan–pelan termasuk ketika petani dipaksa untuk membeli pupuk mahal. Sedangkan negara miskin akan terus tergantung atas impor bahan makanan dari negara lain.

Apa yang marak dari globalisasi pertanian adalah bentuk akusisi terus menerus oleh asing di negara–negara terbelakang dan miskin tetapi memiliki potensi dan tanah.  Era pangan murah sudah berlalu, dunia menyambut era baru dimana sumber makanan berharga layaknya emas. Lewat apa yang disebut agricultural outsourcing, negara-negara maju dan korporasi multinasional menggelontorkan dana miliaran dollar AS untuk investasi di sektor produksi pangan dan bahan baku bahan bakar nabati (biofuel).

Penulis adalah Koordinator Kompartemen Riset dan Komunikasi
PWI Reformasi Korcab Batam