Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pulau Nipah (Jangan) Dilego
Oleh : redaksi
Selasa | 22-03-2011 | 11:23 WIB

Oleh: Yon A Udiono

Pulau Nipah moga tak benar sudah ada yang melego. Hingga insula di Batam itu mencelat keluar dari pagar NK(esatuan)RI. Termasuk jikapun ada yang berdalih internasionalisasi produksi benda-benda ataupun jasa ekonomi. Dus, yang membeo di belakang Milton Friedman.

Tak mungkin terjadi proses pemindahtanganan kepemilikan atasnya. Hingga Nipah terkonversi layaknya sejarah daerah-daerah pesisir utara Jawa pada masa Mataram Islam. Kala itu, tlatah Jawa mulai dari Kerawang sampai ujung timur daerah kekuasaan Mataram digadaikan ke VOC.

Kalau sampai ada pulau kita diborong kaum L'Etranger (saya pungut istilah ini dari Albert Camus), maknanya bakal ada yang lepra dari tubuh UU No 43 Tahun 2008. Bahkan, pastinya, dari “geografi” konstitusi.

Tapi mungkinkah konstitusi kita moglak-maglik teritorial?
Pertanyaan ini perlu dijawab. Dan jawabnya barangkali bisa diwakilkan pada Friedrich Engels (1820-1895). Jawabnya pertanyaan juga: kenapa tidak?
“... Sebab negara sekadar buah sejarah. Negara tak hadir dari sejak alam baka.”

Di Indonesia tiap warga negara sekadar terpangku dalam sebuah “Negara Kesatuan” yang sesungguhnya belum bisa dikatakan telah kafah sebagai sebuah struktur yang paten. Dan kemudian aparatnya sakti mengontrol dan menjamahi mesin birokrasi.

Archipelagic state ini, secara teritorial, sosok faal yang masih banyak mengandung tulang rawan yang mudah sempal. Ada penyusunnya bisa begitu mudah dan begitu sederhananya menjadi incompletely knocked-down. Seperti Sipadan atau Ligitan yang pretel dengan sejarah perenggutannya waktu itu. Dan Timor-Leste (ketika itu Timor-Timur) yang membikin NKRI sempat mengembang tapi kemudian menyusut pada era Presiden BJ Habibie.

Sebuah peta kita sebuah gambar yang terbuka untuk menjadi tampak mulur atau justru mungkret. Ia selamanya -- terlebih dalam tatapan globalisasi yang konon mencabuti pagar-pagar -- panorama yang makin buyar.

Eloknya sih jangan dulu mendakwa globalisasi sebagai pesakitan.
Karena sebuah senja remang-remang itu faktanya ya Negara kita di tangan teknokrat pengelolaan yang bermodal rapor merah internal. Di sana apa-apa yang penting bagi umum, dan karenanya diamanatkan secara politik untuk dikonsolidasi dan jaga, demi kepentingan Indonesia, bisa diringkas dan ringkus. Diwakili oleh pribadi-pribadi yang sodokan perutnya bukan malaikat.

Baru sudah itu kita boleh simak Antonio Negri. Dalam Radical Philosophy, ia tunjukkan mengapa dewasa ini sebuah “tablet” Keynesian makin terasa kartun banget. Dulu tiap negara-bangsa merakit sendiri “archipelago” ekonominya sonder menunggu proses internasionalisasi produksi dan globalisasi finansial menjadi benar-benar tanak dan tampak enak.

Kenyataan abad ke-21, ad impossibilia nemo tenetur. Tak seorangpun wajib mundur menentang langkah sang waktu. Menjalani absurditas. Tak perlu menengok kembali deras arus sungai di dusun saya yang senantiasa terdokumentasi dengan rapi dalam album ingatan ini. Sejarah perjuangan kebangsaan, seperti threatment bambu runcing yang dapat mengusir bom dan mortir, anggap saja (tapi: benarkah?) sekadar cerita tentang bagaimana jual kecap. Dus, jangan dengarkan! Lupakan Tumasik.
Pulau Tumasik? Yang sekarang Singapura?

Yap!
Dulu memang. Pulau Tumasik justru “provinsi” dari negara Majapahit (baca: Indonesia). Ekspedisi Pemalayu kala itu seakan-akan gerak ombak keluar yang rutin.
Sekarang biarkan saja Nipah mengisyaratkan hal yang jadi retrogresnya. Silakan sejarah penguasaan “Indonesia” (Majapahit) atas “Singapura” (Tumasik) berhasil ditebus dengan fenomena pembalikannya. Kalau untuk sementara tidak karena jatuhnya Pulau Nipah ya karena Pulau Sentosa itu yang bahan baku materialnya tersusun dari pasir (baca: pulau) milik kita di sini yang telah Singapura evakuasi dan rayapi.

Hingga, pada akhirnya, yang kita tahu tentang Pulau Nipah ialah bahwa ia memiliki jadwal penyeberangan feri yang krodit ke suatu kancah di mana di dalamnya orang lazim meyakini bahwa “rakus”, seperti dikumandangkan dalam The Virtue of Greed, “adalah bagus”. Tempat orang telah berada jauh di luar kuil di mana para pejuang samurai yang perform sanggup merawat persepsi bahwa kehidupan saudagar bagaikan burung pelikan yang licin dan loba.

Tiap perjuangan, kata seorang penyair, selalu melahirkan sejumlah pengkhianat ...
Dan hari ini siapa tahu Sunan Amral (siapa dia?) adalah tiap kita yang berseragam dinas tapi piawai memandang Nipah sebagai kemungkinan “ATM” yang berpeluang ditambang.

Dalam perspektif sejarah pesisir Jawa di era Mataram Islam, Sunan Amral tak lain Mas Rahmat, pengganti Sri Susuhunan Amangkurat I. Babad Tanah Jawi menyebut, minuman Amangkurat I telah dibubuhi arsenik oleh Mas Rahmat. Meskipun demikian, Sunan Amral tetap ditunjuk sebagai suksesor pasca di-Munir-kannya ayahnya dalam perjalanan pada 13 Juli 1677. Gelar yang disandangnya Sri Susuhunan Amangkurat II. Eksentriknya, Amangkurat II tak lagi bisa njawani. Ke mana-mana ia memakai pakaian dinas ala Eropa yang necis. Hingga rakyat memanggilnya dengan sebutan tadi: Sunan Amral (ejaan -- sekaligus ejekan -- Jawa untuk Admiral).

Kenapa nasionalisme tak selamanya harga mati? Karena di luar apa-apa nilai luhur yang ditanamkan oleh keluarga, juga yang diajarkan lewat kurikulum sekolah, pada akhirnya ada hal lain yang membentuk fiil manusia. Membentuk mungkin perilaku Amangkurat II.

Amangkurat II butuh bisa segera mengakhiri pemberontakan Trunajaya sang pengkhatam UU No 43 Tahun 2008. Ia bekerja sama dengan VOC. Maka September 1677 diadakanlah perjanjian di Jepara antara putera Amangkurat I itu dengan VOC yang diwakili Cornelis Speelman. Pesisir utara Jawa di-”Pulau Nipah”-kan sebagai jaminan membiayai perang.

Mas Rahmat yang terkooptasi VOC berhasil menghukum mati Trunajaya pada 1680. Hal itu terjadi pastinya setelah Amangkurat II menjadi kontras, pada abad modern, dengan kaum birokrasi sosialis yang senantiasa berbekalkan alat kontrol atas rakyat. Yakni setelah Amangkurat II terlantik menjadi “raja tanpa istana”. Raja yang hambar. Penguasa yang tanpa rakyatnya sudi diperlakukan laksana ribuan ekor tekukur di Honolulu yang lulut.

Dus, hikmahnya, menjadi penting tampaknya merevitalisasi apa-apa yang strategis bagi kepentingan umum (bebrayan) di atas apa-apa yang “strategis” bagi hidup pribadi-pribadi yang ter-Amangkurat-kan. Mengoreksi tiap bentuk privatisasi kekuasaan publik yang lazimnya ditempuh dengan melewati lorong-lorong praktik korupsi dan penyuapan menyangkut hampir tiap urusan dengan birokrasi.

Ber-”setengah dewa”-lah: tegakkan hukum. Berlakukan pidana penjara -- jumbuh dengan UU No 43 Tahun 2008 -- paling lama 10 tahun dan denda 10 miliar jika ditemukan unsur penjualan pulau dalam kerja sama dengan kepentingan-kepentingan asing.
Kecuali UU tentang Wilayah Negara itu tiba-tiba masih dalam genggaman tangan Martalaya: Bupati Tegal yang memakmumi dan memaklumi Amangkurat II.

Penulis adalah Litbang Lembaga Studi Sosial Normatif (Lesson), bergiat di Jogja