Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kualitas Anggota DPR Hasil Pemilu 2014 Diperkirakan Masih Pentingkan Kekuasaan
Oleh : si
Kamis | 21-02-2013 | 17:40 WIB
Pramono_anung.jpg Honda-Batam

Wakil Ketua DPR Pramono Anung

JAKARTA, batamtoday -Kualitas kinerja DPR hasil Pemilu 2014 diperkirakan tidak akan membawa perubahan substantif dalam peningkatan kinerja terutama dalam bidang legislasi.

Sebab, rekruitmen calon anggota legislatif yang dilakukan partai politik dilakukan asal comot dan memiliki dana saja tanpa memperhitungkan kualitas individu dan pengkaderan.

“Rekruitmen kader parpol tak jalan, maka motivasi menjadi anggota DPR RI terdorong untuk kekuasaan politik, kepentingan ekonomi, dan ideologi. Tapi, yang terakhir ini tak terkait dengan dirinya sendiri melainkan terkait dengan orang lain, masyarakat dan negara,” tandas Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung dalam diskusi “Politisi Loncat Pagar, Legislasi Kedodoran” bersama Wakil Ketua MPR RI Hajrijanto Y. Thohari dan pengamat politik UI Boni Hargens di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (21/2/2013).

Oleh sebab itu, menurut Pramono, sistemnya harus dirubah. Yaitu, gabungan proporsional terbuka dan tertutup. Kalau hanya proporsional terbuka, maka yang menang adalah figur populer seperti artis dan pengusaha, sedangkan aktivis yang idealis juga akademisi kalah popularitas.

“Sistemnya harus diperbaiki, agar partai bisa menempatkan orang baik bisa masuk ke DPR RI. Selama sistem pemilu tak diperbaiki, maka tak bisa berharap ke DPR mendatang. Jadi, mau loncat pagar atau tidak, DPR tetap tak akan berprestasi,” tambah Pramono.

Hal itu, katanya, disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya biaya pemilu yang mahal, sehingga ketika menjadi anggota DPR akan berusaha untuk mengembalikan modal, kuatnya ideologi pasar, lemahnya ideologi partai, dominasi politik uang yang mendorong besarnya peran media, dan kuatnya individualisme perjuangan politik. Dengan begitu yang muncul adalah pragmatisme politik.

Hajrijanto mengakui jika anggota DPR RI saat ini tak punya etos parlementaria yang cukup, sehingga menjadi lembaga DPR RI ini hanya sebagai tempat kegiatan politik.

“Anggota DPR tak banyak yang memahami konstitusi, sehingga banyak produk UU yang digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan dikabulkan. Itu menunjukkan kalau SDM DPR rendah. Jadi, DPR ini dijadikan tempat transit untuk karir politik yang lain. Karena itu kutu loncat itu biasa, karena memang tak berideologi,” tutur politisi Golkar ini.

Salah satu solusinya , kata Hajrijanto, DPR harus menjadi lembaga elitis dengan mengurangi jumlah anggotanya menjadi 300 orang dari 560 orang, dengan memperbanyak tenaga ahli (TA). Parpol harus diberi pesaing lembaga independen, dan mentalitas di luar pagar harus diakhiri.

“Selama orang-orang yang baik dan cerdas ada di luar DPR, maka selama itu pula mereka ini akan mengkritik dan mencaci-maki DPR senenaknya. Kalau mentalitas itu terus di luar pagar, maka selamamnya DPR tak akan pernah baik, dan DPR hanya menjadi tempat untuk pencarian nafkah,” tegas Hajrijanto lagi.

Sebaliknya, menurut Boni Hargens,  yang harus diubah adalah  tradisi politik  karena akan melahirkan politisi tanpa ideologi yang menjadikan DPR selamanya akan menjadi ‘pasar politik’.

“Demokrasi hanya formalitas, karena pemikiran tak berubah sehingga terjadi kebuntuan demokrasi yang sangat rumit. Karena itu, demokrasi harus dikembalikan kepada kekuatan sipil dengan komitmen terhadap nurani, nilai, dan moralitas. Tak boleh dirampas oleh kekuatan kapitalis transaksional. Kalau tidak, maka demokrasi hanya prosedural dan tanpa ruh,” katanya.

Editor : Surya