Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Integritas Publik dalam Kepemimpinan Birokrasi
Oleh : opini
Rabu | 20-02-2013 | 08:37 WIB

Oleh Rendra Setyadiharja, S.Sos

PERGANTIAN KEPEMIMPINAN di daerah secara hakiki bukan hanya pergantian sosok pasangan kepemimpinan politik yang dipilih langsung oleh rakyat. Namun di balik itu semua, sejuta pasang mata masyarakat memiliki harapan yang besar akan sebuah perubahan yang berarti dalam sistem pemerintahan, pelayanan dan pembangunan.


Imbas dari pada itu, maka ekspektasinya adalah perubahan sistem tata kelola pemerintahan di daerah. Tak bisa dinafikan bahwa sebagian atau seluruh sistem dalam tata kelola pemerintahan itu mengalami perubahan yang signifikan. Mulai dari sistem kebijakan, pelayanan, dan juga struktur organisasi pemerintahan.

Salah satu perubahan yang pasti terjadi pasca terpilihnya kepala daerah baru pada suatu daerah adalah terjadinya perubahan kabinet birokrasi pada sistem tata kelola pemerintahan, khususnya pada tataran pemimpin birokrasi. Salah satu alasan perubahan pada kabinet kepemimpinan birokrasi tersebut adalah ingin adanya sedikit pola perubahan pada manajemen organisasi publik dalam rangka menciptakan tata kelola pemerintahan yang memang memungkinkan lebih baik dari kepemimpinan sebelumnya.

Perlu diketahui, bahwa kepemimpinan kepala daerah yang hebat bagaimanapun, maka akan cukup mengalami kesulitan dalam konteks melakukan reformasi birokrasi jika tidak memiliki birokrasi yang sama persepsi dan paradigmanya dalam konteks reformasi birokrasi yang harapannya adalah perbaikan aparatur birokrasi dan pelayanan publik yang lebih optimal. Salah satu yang dilakukan oleh kepala daerah imbas dari terbentuknya kepemimpinan kepala daerah baru pada suatu daerah adalah melakukan perubahan kabinet dalam sistem pemerintahannya, baik sifatnya menyeluruh ataupun parsial.

Momentum perubahan struktur kepemimpinan birokrasi ini cukup membuat kepemimpinan birokrasi yang menjabat sebelumnya gerah dan cukup harap-harap cemas, apakah akan dirotasi, diganti, atau dinon-jobkan. Namun, sebagai sebuah konsekuensi akibat dari kinerja yang telah dikerjakan selama pejabat birokrasi itu menjabat.

Perubahan struktur dalam tubuh kepemimpinan birokrasi ini bisa dinilai wajar, akan tetapi tentunya tersimpan sebuah ekspektasi bahwa perubahan kepemimpinan birokrasi tersebut adalah terbebas dari unsur politis, dimana kepala daerah secara leluasa menggunakan hak prerogatifnya tanpa melihat asas kepatutan, kelayakan, dan profesionalitas, namun lebih melihat dari asas kedekatan secara politis dan relasional. Selayaknya kepemimpinan birokasi itu diangkat dan dipilih menjadi sebuah pimpinan birokrasi berdasarkan kinerja, profesionalitas, dan integritasnya dalam menjalankan tugas, tanpa melihat sisi kedekatan politis atau relasional.

Dalam kajian kali ini, lebih menekankan dimensi integritas menjadi salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dan dinilai dalam memilih SKPD sebagai pimpinan birokrasi serta jajaran struktur di bawahannya. Karena integritas publik dalam sosok kepemimpinan birokrasi merupakan unsur pokok etika publik (Haryatmoko: 2011).

Dengan melihat sisi integritas publik dalam diri pejabat birokrasi publik, artinya kepala daerah mempertimbangkan sisi etika yang dimiliki oleh pejabat birokrasi publik tersebut. Seorang pejabat birokrasi publik dengan nilai etika yang baik, maka tentunya memiliki integritas yang baik. Dengan integritas yang baik maka akan mudahlah seorang pejabat birokrasi publik tersebut menjalankan fungsi pemerintahan dengan penuh tanggung jawab dan dedikasi yang baik dalam melakukan pelayanan terhadap publik.

Sebagaimana dijelaskan oleh Kolthoff  (Haryatmoko:2011) bahwa ada tiga kriteria untuk mengukur integritas pejabat birokrasi publik. Pertama, mandiri, karena hidupnya mendasarkan pada nilai-nilai dan norma-norma yang stabil dan mempunyai visi karena mau memperjuangkan sesuatu yang sifatnya khusus dan berinovatif. Artinya adalah bahwa dalam diri seorang pejabat birokrasi terpola sebuah mindset terhadap penjagaan nilai dan norma, sehingga kecenderungan dirinya untuk berbuat penyimpangan akan dapat diminimalisir.

Selain itu, pejabat birokrasi publik tersebut tak hanya menjalankan tugas rutinitas belaka, melainkan  memiliki visi yang lebih inovatif dalam mengembangkan kinerjanya untuk memberikan yang lebih baik. Kedua, jujur terhadap sebuah idealisme yang mau dicapainya yang teraktualisasi dalam perkataan dan perbuatan yang selaras dan integral. Konteks inilah sebenarnya titik poin integritas, dimana seorang pejabat publik memiliki komitmen dan konsistensi antara apa yang diucapkan dan apa yang dikerjakan.

Ketiga, perhatian dan tanggungjawab terhadap masalah-masalah kepentingan publik. Kriteria ini lebih akan menciptakan pejabat birokrasi publik yang lebih responsif dan lebih tanggap terhadap apa yang diinginkan oleh publik, selain itu pejabat birokrasi tersebut akan berusaha untuk menciptakan solusi atas masalah yang dihadapi publik tersebut.

Sisi integritas dengan kriteria yang tersebut di atas akan menciptakan pejabat birokrasi yang memiliki moralitas dan etika yang baik dalam menjalankan pelayanan terhadap publik. Senada dengan kriteria integritas di atas, maka ada beberapa hal yang perlu dan harus ada dalam diri pejabat birokrasi publik. Sehingga efektivitas kepemimpinan birokrasi akan berjalan dengan optimal dalam rangka menciptakan pelayanan publik yang lebih baik.

Sebagaimana dijelaskan oleh Bennis (Pasolong: 2008), bahwa dalam rangka menciptakan kepemimpinan birokrasi yang professional, minimal memiliki tiga hal yang penting untuk dipelajari. Pertama, pejabat birokrasi harus memahami dan menghayati filosofi dari birokrasi sehingga visi misi birokrasi akan menyatu menjadi karakter dalam diri pejabat birokrasi publik.

Ketika filosofi birokrasi telah menyatu dalam diri pejabat birokrasi, maka tugas yang dibebankan kepadanya bukan lagi sebagai hal yang hanya menjalankan aturan atau rutinas belaka, namun menjadi sebuah visi misi yang harus dicapai dengan penuh tanggungjawab dan dedikasi yang tinggi. Dalam rangka menjalankan amanat dan tanggungjawab moral sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Sehingga akan menciptakan pejabat birokrasi yang memang bermental melayani publik.

Kedua, pemimpin birokrasi harus mampu membaca situasi dan bertindak sesuai dengan situasi tersebut. Pemimpin birokrasi yang ideal adalah pemimpin yang bukan saja mengetahui masalah, namun memahami masalah kemudian benar-benar menciptakan sebuah solusi yang cerdas dalam mengatasinya. Selain itu pemimpin birokrasi yang mampu memahami lingkungan di sekitarnya, akan lebih mudah mengetahui adanya indikasi penyimpangan dan kegagalan dalam tubuh struktur birokrasi tersebut, dan kemudian pemimpin birokrasi akan mencari solusi sehingga hal itu tak berkembang lebih lanjut dan mengatasinya dengan sangat baik dan rapi.

Ketiga, pemimpin birokrasi harus mempunyai, antara lain 1) pengetahuan dan keterampilan teknis yang dibutuhkan dalam proses kerja yang menjadi tanggungjawabnya. 2) pemimpin birokrasi tidak hanya mampu menggerakkan pegawai, namun juga terutama sekali menggerakkan pegawai tersebut agar bekerja secara efektif dan efisien yang disertai dengan kualitas yang memuaskan, 3) pemimpin birokrasi harus memiliki pengetahuan psikologi tentang orang-orang yang dipimpinnya, dan 4) pemimpin birokrasi juga harus memiliki pengetahuan teknologi.

Dengan kriteria integritas ditambah dengan hal-hal yang perlu dimiliki oleh pemimpin birokrasi tersebut di atas, harapannya adalah bahwa pergantian dan perubahan kepemimpinan birokrasi dalam sebuah sistem tata kelola pemerintahan yang dilakukan oleh kepala daerah terpilih pada sebuah daerah pasca pemilukada, benar-benar dilakukan secara akuntabel oleh kepala daerah, bebas dari intervensi politis dengan segala pertimbangan kedekatan secara politis atau juga relasional.

Hendaknya SKPD yang dipilih untuk mengisi jabatan-jabatan kepemimpinan birokrasi benar-benar dinilai berlandaskan kinerja, professionalitas, dan integritas. Sehingga setelah itu tak ada lagi keluhan dari publik, yang cenderung selalu mengecam pelayanan publik yang tak kunjung baik, salah satunya adalah diakibatkan oleh patologi pejabat birokrasi itu sendiri yang cenderung menunjukkan sikap yang tidak seharusnya dilakukan oleh para pejabat birokrasi yang notabenenya adalah pelayan masyarakat dan penghubung antara pemerintah dengan masyarakat.

Dengan analisa dan pemilihan kepemimpinan birokrasi yang tepat, maka harapan lainya adalah tak dijumpai lagi pejabat birokrasi yang jarang di tempat, tidak disiplin, sering berada di kedai kopi dan patologi lainnya. Semoga kepemimpinan kepala daerah bagi sebuah daerah memiliki political will yang  kuat untuk melakukan pembenahan di tubuh birokrasi dalam rangka menciptakan pelayanan publik yang lebih optimal dan lebih mengedepankan kepentingan masyarakat.

Penulis adalah Dosen STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang dan Kepala Bidang Penelitian Lembaga Kajian Politik dan Otonomi Daerah (LKPOD) Gurindam.