Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Terinspirasi Kondisi Perpolitikan Indonesia

Tjipta Lesmana Luncurkan Bola Politik dan Politik Bola
Oleh : si
Kamis | 07-02-2013 | 17:15 WIB

JAKARTA, batamtoday - Pengamat politiki dari Universitas Indonesia Prof. Dr. Tjipta Lesmana, MA meluncurkan buku bertajuk ‘Bola Politik dan Politik Bola dan kemana arah tendangannya?’ di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (7/2/2013).


Hadir sebagai pembahasa antara lain anggota Komisi III DPR RI FPG Bambang Soesatyo, anggota Komisi X DPR FPDIP Deddy S (Miing) Gumelar, pakar komunikasi politik UI Effendy Ghazali, dan CEO Liga Indonesia Djoko Drijono.

Dalam politik, kata Effendy Ghazali sekarang ini ada di Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Karena itu, bolanya tidak ada di lapangan partai, sehingga kalau KPK tidak menemukan dua alat bukti  berarti hanya main bola bayang-bayang atau shadow shoccer.

“Masak di depan Ka’bah sang presiden kirim sms soal partai saja, semestinya juga soal kepentingan bangsa dan negara. Misalnya, agar terhindar dari berbagai bencana dan mala petaka,” ungkapnya.

Terkini bola politik itu ditendang ke PKS. Bahkan menurut anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Ahmad Mubarak bola politik tersebut akan terus bergerak seperti arisan. Di mana semua partai akan kebagian.

“Jadi, mendekati 2014, bola politik itu akan makin panas. Tragisnya, ada yang tercecer dalam politik bangsa ini, yaitu rakyat kecil selalu dikalahkan oleh kekuasaan dan uang. Contohnya, seorang Kho Seng-Seng hanya  karena menulis surat membaca di harian Kompas, oleh pengadilan dan Mahkamah Agung malah dijatuhi hukuman dan didenda Rp 1 miliar,” ujarnya. 

Menurut Bambang Soesatyo, pemerintah saat ini lebih senang memainkan bola di lini bawah dan tengah, tanpa berusaha  menusuk jantung pertahanan lawan untuk memasukkan sebuah gol sebagai tujuan akhir.

Konkretnya adalah pemerintah lebih memilih membiarkan kasus-kasus korupsi yang ada saat ini mengambang, tanpa diselesaikan dengan tuntas. Untuk itu, wajar kalau kemudian bola itu ternyata ditendang ke gawangnya sendiri, atau gol bunuh diri.

 “Jadi, segala jenis bola politik bisa digunakan, apalagi bila penguasa mempunyai persepsi yang kuat bahwa kekuasaannya sedang digoyang oleh lawan-lawan politiknya,” katanya.

Dia menyebut beberapa waktu lalu bola liar itu dimainkan oleh seskab Dipo Alam, yang menyerang anggota DPR RI, yang disebutnya sebagai kongkalikong pengaturan anggaran antara oknum anggota DPR dan kader parpol.

Manuver itu sudah pasti menimbulkan disharmoni di tubuh setgab koalisi. Oleh sebab itu Bambang menilai omong kosong jika kalau semua anggota kabinet bisa menerima dengan lapang dada terhadap apa yang dilakukan oleh Dipo Alam tersebut.

Dengan demikian menurut Bambang bola politik tersebut akan terus dimainkan sampai 2014. Baik di tingkat pusat maupun daerah.

"Kalau sekarang tendangannya ke PKS, maka berikutnya bisa ke PPP, Gerindra, Hanura, PAN, PDIP dan Golkar akan menerima serangan bola liar itu. Kabarnya, sejumlah amunisi sudah disiapkan kelompok tertentu untuk menyerang dan menjatuhkan elektabilitas partai lawan di pemilu 2014. Tentunya,   isu bola liar yang digunakan adalah isu korupsi, isu paling efektif. Di mana akibat korupsi ini elektabilitas Demokrat dan PKS terjun bebas,” sebut Bambang.

Tjipta Leasmana sendiri meyakini bola politik itu akan semakin liar, antar parpol untuk tujuan yang sama, yaitu berebut kekuasaan di 2014. Persoalannya, bola politik itu akan ditendang ke arah mana, sebagai presiden selaku pememanngnya? Itulah katanya yang belum bisa terjawab sekarang. Yang pasti Demokrat akan mencalonkan Ibu Ani Yudhoyono, Golkar Aburizal Bakrie, dan Gerindra Prabowo Subianto. 

“Sedangkan parpol yang lain belum jelas. Yang jelas, bola politik dan politik bola itu sama-sama dahsyatnya. Hanya saja jangan sampai menghalalkan segala cara dengan mengatur skor, angka, kursi, jabatan dan seterusnya,” harapnya.

Sementara Deddy Gumelar menilai, prestasi sepak bola rusak karena banyaknya politisi yang terlibat langsung menjadi pengurus organisasi sepak bola. Di mana para politisi tersebut membawa kepentingan parpol msing-masing, dan bukannya mengutamakan prestasi sepak bola itu sendiri. 

“Pengurus sepak bola kurang memilikii jiwa nasionalisme, melainkan lebih mengutamakan kepentingan partainya. Seperti munculnya dua kubu organisasi PSSI, dan dua turnamen IPL dan ISL. Padahal, jika pongurusnya mempunyai nasionalisme, maka tak akan terjadi kepengurusan dan turnamen ganda tersebut,” pungkas politisi PDIP itu.