Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Otonomi Khusus Kepulauan Riau, Mungkinkah
Oleh : opn/dd
Sabtu | 26-01-2013 | 17:14 WIB

Oleh Rendra Setyadiharja, S.Sos


OTONOMI DAERAH bukanlah hal yang baru kita dengar dalam proses pemerintah di Republik Indonesia ini. Sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 dan kemudian disempurnakan kembali dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, maka sampai detik ini otonomi daerah telah diimplementasikan pada pemerintahan Indonesia. Dalam kurun waktu diterbitkannya undang-undang tersebut, telah banyak juga daerah-daerah yang dimekarkan.


Jika kita merujuk secara terminologi, otonomi daerah sebagaimana dijelaskan oleh Leo Agustino (2011) dapat diartikan sebagai kebebasan pemerintah daerah untuk berperan dalam menentukan tujuan, kebijakan dan membuat keputusan pembangunan di daerah berdasarkan keperluan masyarakat tempatan.  

Sejalan dengan itu, Seabrigth (Agustino: 2011) menyatakan bahwa otonomi daerah atau desentralisasi dalam konteks keterkaitan antara otonomi daerah dengan pengembangan otoritas pemerintah daerah, maka otonomi daerah penting dikembangkan karena hanya otoritas pemerintah daerah yang dapat menjamin dilaksanakannya otonomi dengan baik yang berlandaskan sifat lokalitas sebuah daerah. 

Intinya, otonomi daerah adalah bagaimana pemerintah daerah dapat membangun daerahnya sesuai dengan karakteristik daerahnya masing-masing. Jika melihat dari karakteristik masing-masing daerah, maka tak lain kita merujuk pada sifat kekhususan sebuah daerah. Sampai detik ini, dalam rangka otonomi daerah yang benar-benar diberlakukan kekhususan sesuai dengan karakteristik daerahnya hanya daerah-daerah yang terkena Undang-undang Otonomi Khusus atau Keistimewaan seperti Aceh, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Papua. Antara lain tujuan mengkhususkan daerah ini agar pembangunan di daerah ini lebih optimal sesuai dengan sifat khas dari daerah-daerah tersebut.

Namun sebenarnya, ada sebuah perspektif yang salah selama ini yang dilakukan oleh pemerintah pusat dalam konteks otonomi daerah. Bukan masalah daerah yang diberi kekhususan yang disebutkan di atas, namun ini persoalan otonomi daerah bagi wilayah kepulauan. Bukan juga persoalan "latah" atau politis penulis mengatakan hal yang demikian, namun kesalahan dalam implementasi otonomi daerah adalah mengeneralisir semua metode pembangunan daerah dengan wawasan daratan (continental oriented).

Selama ini, pembangunan daerah-daerah yang bergeografis kelautan dan kepulauan cenderung mengalami kegagalan. Sebagaimana dikatakan oleh La Ode Kamaluddin (Kotijah: 2010), bahwa kegagalan tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor, diantaranya: pertama, kebijakan maritim belum menyentuh aspek-aspek strategis yang mampu mengikat dan memayungi instrumen ekonomi kelautan, seperti sektor perikanan, pertambangan, dan energi lepas pantai, pariwisata bahari, transportasi laut dan pelabuhan serta sumber daya manusia di wilayah laut.

Kedua, kebijakan maritim tidak menjadi payung politik bagi pembangunan ekonomi maritim, maka kelembagaan yang terlibat dalam sektor maritim juga akan mengalami disorientasi. Ketiga, terjadinya backwash effect secara masif yang menempatkan sektor maritim khusus perikanan sebagai sektor pengurasan atau pemborosan.

Kecenderungan ini berpengaruh terhadap tingkat kebocoran sektoral (sectoral leagkages) yang justru membuat sektor-sektor maritim menjadi kerdil dan marjinal. Dan keempat, faktor Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diharapkan menjadi saluran kemakmuran secara adil, nampaknya masih sulit diwujudkan karena APBN yang continental oriented. Dengan demikian, menempatkan sektor maritim termasuk provinsi yang berbasis kepulauan (maritim) dan pulau-pulau kecil termarjinalisasi dalam pembagian sarana dan prasarana pembangunan.      

Dari beberapa masalah yang dipaparkan di atas, jelas bahwa implementasi otonomi daerah selama ini dilakukan berlandaskan pada wawasan daratan (continental oriented), sementara daerah-daerah yang memiliki geografis kepulauan menjadi termajinalisasi dan tidak merata dalam proses pembangunannya. 

Salah satu solusinya adalah mengubah mindset otonomi daerah bahwa dalam rangka pembangunan daerah yang optimal sesuai dengan karateristik daerah masing-masing, dengan maksud agar pembangunan, pelayanan dan pemberdayaan di daerah lebih merata, perlu sebuah tinjauan ulang terhadap daerah-daerah yang bergeografis kepulauan.

Dari masalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa daerah kepulauan akan mengalami masalah jika pembangunannya menggunakan wawasan daratan (continental oriented). Sementara, lihat saja wilayah kepulauan cenderung terdiri dari pulau-pulau yang terpisah, hal ini menyebabkan bahwa dalam span of control pelaksanaan pemerintahan cenderung sulit dilakukan jika bertitik tolak dari wawasan daratan.

Selain itu, prospek pembangunan ekonomi wilayah kepulauan juga tidak bisa disamaratakan dengan pembangunan ekonomi wilayah daratan. Ditambah lagi pola pembangunan tata ruang wilayah kepulauan atau kelautan, seyogyanya harus memperhatikan karakteristik pembangunan tata ruang wilayah kepulauan. Hal ini mencegah terisolir daerah termajinalisasinya daerah pulau-pulau yang berada dalam sebuah wilayah provinsi yang bercirikan kepulauan.

Oleh karena itu, timbul sebuah pertanyaan: mungkinkah dilakukan otonomi khusus bagi wilayah kepulauan, misalnya Provinsi Kepulaun Riau yang merupakan provinsi yang bergeografis kelautan dan terdiri dari pulau-pulau yang terpisah dan juga berbatasan dengan negara Singapura dan Malaysia? Contoh lain juga Provinsi Maluku Utara, yang juga bergeografis kepulauan dan berbatasan dengan Negara Philipina. Maka lihatlah pembangunan di wilayah ini cenderung tidak merata, khususnya pulau-pulau  kecil dan terpencil yang berada di dalam wilayah ini.

Bukan permasalahan gagalnya pemerintah daerah setempat dalam menata pembangunan, pelayanan dan pemberdayaan di wilayah pulau-pulau tersebut. Namun memang karena konsep wawasan daratan (continental oriented) dalam otonomi daerah tersebut dirasakan kurang efektif digunakan dalam menata wilayah kepulauan. Bagaimana pun juga, perlu sebuah kebijakan khusus yang berbasis kepulauan atau kelautan yang mampu menjadi payung hukum yang juga mendukung optimalisasi otonomi daerah di wilayah yang bergeografis kepulauan.

Namun semua ini kembali kepada political will dari berbagai pihak. Selain pemerintah pusat sebagai pembuat kebijakan tertinggi dalam merumuskan kebijakan terkait otonomi khusus bagi wilayah kepulauan, juga perlu dukungan dari semua stakeholders yang berada wilayah kepulauan tersebut. Semua ini bertujuan agar pelaksanaan otonomi daerah benar-benar efektif, baik secara dimensi politik, administrasi, dan juga fiskal. Sehingga tujuan pembangunan, pelayanan, dan pemberdayaan bagi daerah akan berjalan dengan optimal sesuai dengan karakteristik lokalitas daerah tersebut.

Penulis adalah Dosen STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang dan Kepala Bidang Penelitian Lembaga Kajian Politik dan Otonomi Daerah (LKPOD) Gurindam.