Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Sudah Saatnya Berdamai dengan Banjir
Oleh : si
Senin | 21-01-2013 | 07:44 WIB

Oleh : Hajriyanto Y Thohari

BUKANKAH seringkali kita mendengar ajaran dalam kearifan lokal (local wisdom) bahwa kita harus selalu mengembangkan kehidupan yang harmoni dengan (1)manusia, (2) alam, dan (3)Tuhan?



Banjir di Jakarta harus sudah kita pandang sebagai fenomena alam. Meskipun kita sadar sepenuhnya bahwa banjir ini akibat kerusakan alam dan lingkungan yg diakibatkan oleh tangan-tangan manusia sendiri, tetapi banjir nyatanya sudah menjadi fakta alam di Jakarta ini. Maka kini kita harus memulai melakukan kehidupan yg penuh harmoni dengan banjir. Sudan saatnya kita berdamai dengan banjir, damai dengan alam.

Saya rasa Jakarta memang harus berdamai dengan banjir. Kita harus menyesuaikan diri, atau beradaptasi dengan banjir.

Mengapa demikian? Ya, karena memang nyatanya kita tidak bisa mengatasi -apalagi menghentikan- banjir di Jakarta. Sudah berapa Gubernur silih berganti mengurus Jakarta dengan segala konsep, rencana, dan janji-janji untuk mengatasinya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tetapi kenyataannya banjir tetap terjadi dengan tingkat keparahan yang cenderung semakin meningkat.

Kita tidak perlu saling menyalahkan. Kita tidak perlu berapologi dengan mengatakan bahwa banjir Jakarta adalah "banjir kiriman". Kiriman dari siapa? Kiriman melalui transfer, RTGS, atau pos wesel? Kalau ada "banjir kiriman" maka lama-lama nanti akan ada "banjir tabungan", "banjir deposito", atau "banjir giro"? Statemen semacam ini adalah apologi belaka!

Maka satu-satunya jalan yang tersisa adalah menyerah dan kemudian berdamai dengan banjir. Banjir di Jakarta itu sudah sama seperti musim dingin yang ekstrim dan menggigit di Eropa. Tidak ada jalan untuk mengatasi cuaca dingin ekstrim di Barat kecuali berdamai dengan dingin: mengenakan pakaian tebal (overcold), makan yang bergizi, rumah yang melindungi, menciptakan alat penghangat ruangan, moda transportasi yang kedap dingin, dan seterusnya.

Demikian juga dengan kita dan banjir. Banjir sudah menjadi fenomena alam, faktor-faktornya terlalu banyak dan kompleks sekali. Ada faktor yang alamiah, ada banyak pula yang karena tangan manusia. Semuanya berakumulasi menjadi menjadi satu. Tetapi apapun faktor-faktor penyebabnya banjir sudah menjadi kenyataan rutin, periodik, dan pasti terjadi dengan tingkat keparahan yang semakin memburuk dari tahun ke tahun. Kini kita memang harus mulai berdamai dengan banjir. Kita harus menyesuaikan diri dan beradaptasi, bersahabat, dan hidup berdampingan dengan banjir, persis seperti orang Barat menyesuaikan diri dan berdamai dengan musim dingin!

Rumah dan bangunan-bangunan di Jakarta harus dibuat tinggi-tinggi, mungkin harus seperti rumah-rumah kolong. Demikian juga dengan moda kendaraan juga harus dibuat tinggi, misalnya Roda mobil mesti setinggi 3 (tiga) atau 4 (empat) meter. Jalan-jalan juga harus dibuat tinggi-tinggi atau bertingkat. Biarlah tingkat dasar di atas tanah dihuni oleh air banjir. Kita harus mulai hidup di atas air. Mungkin mirip kota Vinisia (Venice): moda transportasi juga perlu disesuaikan dengan kota air, kota banjir. Untuk berjalan di musim banjir kita mungkin memerlukan alat semacam egrang.

Banjir tidak perlu dilawan. Dan kenyataannya kita tidak mampu melawan banjir. Kita berdamai saja dengan banjir. Sesuaikan kehidupan kita dengan banjir. Pasalnya, kehidupan harus terus berjalan dengan atau tanpa banjir. Kehidupan tidak boleh berhenti gara-gara banjir. Kita harus mulai hidup berdampingan secara damai dengan banjir. Kita bukan hanya harus damai dengan sesama manusia, melainkan juga damai dengan alam, dan damai dengan Tuhan.

Banjir adalah kawan kita, sahabat kita, dan saudara kita. Banjir adalah tetangga kita, tetangga dekat kita. Kita harus saling menyapa dan saling bertoleransi dengan banjir. Ayo, kita warga Jakarta, mulai berdamai dengan banjir.  Semoga.

(Penulis adalah Wakil Ketua Majelis Permusyawaratab Rakyat RI  dan Wakil Sekjen Partai Golkar)