Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

PENDIDIKAN AJANG PERTARUNGAN IDEOLOGIS
Oleh : opn/dd
Selasa | 08-01-2013 | 09:36 WIB

Oleh: Aripianto


BERBICARA tentang ideologi, sering kita menghubungkan dengan dua pemikir besar: Karl Marx dan Karl Mannheim. Secara fungsional, ideologi diartikan sebagai pemikiran yang digunakan untuk kebaikan bersama (common good). Dalam hal ini, ideologi bisa muncul karena kekecewaan pada saat ini dan mempunyai niatan untuk memperbaiki di zaman akan datang.


Proses antara sekarang dengan zaman akan datang (tengah-tengahnya) itulah letak pemikiran ideologi yang digunakan sebagai dasar kerangka bangunan berfikir untuk meraih hal yang dianggapnya baik pada zaman yang akan datang. Dan oleh karena cara yang paling mudah untuk menyebarkan virus-virus ideologi adalah menggunakan dunia pendidikan.

Karena pendidikan merupakan salah satu harapan masyarakat yang diyakini bisa menumbuhkan sikap moral yang baik, atau dalam sisi pragmatisnya bisa digunakan untuk mencari kesejahteraan. Itu bisa saja terjadi jika ideologi yang digunakan dalam dunia pendidikan itu jelas.

Padahal prinsip pendidikan sangatlah komprehensif, dan jika dapat diterapkan dengan benar dan konsisten akan mampu menjadikan anak didik menjadi insan yang selain menguasai informasi dan ilmu pengetahuan juga memiliki tanggung jawab (sense of responsibility) dan kepedulian sosial yang tinggi.

Anak didik memang bukan hanya harus memiliki pengetahuan, melainkan juga mampu menerapkannya di tengah masyarakat. Selain itu, mereka juga harus mampu melihat realitas yang terjadi pada masyarakat. Dengan demikian, anak didik juga harus terlibat langsung pada masyarakat.

Bagaimana pendidikan menjadi pertarungan ideologis, tentunya dapat kita lihat  pada kenyataan apa yang menjadi tujuan pendidikan yang dapat berbenturan dengan kepentingan yang lain. Lembaga pendidikan adalah wilayah/wadah dimana kesadaran diperebutkan oleh kepentingan.

Kepentingan untuk membebaskan manusia (peserta didik) dengan kesadaran dan dorongan untuk terlibat aktif dalam aktifitas yang mengarah pada kemanusiaan, dengan kepentingan untuk menjadikan peserta didik hanya tunduk pada kesadaran yang dapat memberikan jalan pada sistem penindasan dan menjadikan peserta didik sebagai objek dalam membangun budaya yang menguntungkan kekuasaaan yang menindas kemanusiaan.

Lembaga pendidikan saat ini sudah tidak lagi menjadi media transformasi nilai dan instrumen memanusiakan manusia (humanisasi), melainkan menjadi lahan basah bagi para pengelola pendidikan untuk mengeruk keuntungan finansial sebanyak-banyaknya. Data yang dipaparkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), mencatat ada 40 kasus korupsi di bidang pendidikan dengan lima modus yang telah mengakibatkan kerugian negara hingga Rp 138,9 miliar sepanjang tahun  2012. Dari 40 kasus ini, setengahnya terjadi di tingkat dinas pendidikan daerah.

Humanisasi Ideologi
Melihat proses perkembangan pendidikan yang selama ini berjalan, pada akhirnya kita dituntut kembali untuk mengevaluasi model pendidikan yang tepat dalam rangka memanusiakan kembali manusia. Bagaimana pun, pihak-pihak dominan telah melakukan penjinakan sehingga mengakibatkan peserta didik hanya sebagai objek kepentingan pragmatis yang pada akhirnya menjerumuskan masyarakat pada kesadaran yang tidak manusiawi. 

Pendidikan memiliki peranan penting dalam pengembangan kemampuan seseorang, yang nantinya menjadi bekal dalam kehidupan di tengah masyarakat. Isu tentang pendidikan menarik dan senantiasa aktual pendidikan tidak pernah lekang oleh zaman, mulai dari zaman Adam sampai zaman kita sekarang, bahkan juga pada zaman-zaman berikutnya. Pendidikan juga tidak bisa lepas dari ideologi yang berkembang di tengah masyarakat.

Ideologi ini turut mewarnai pendidikan sehingga pendidikan yang dilakukan di tengah masyarakat memiliki karakteristik tertentu yang identik dengan ideologi tertentu pula. Setidaknya, ada tiga ideologi yang berkembang dalam dunia pendidikan, yaitu konservatif, liberal dan kapitalis. Perbedaan dari ketiga ideologi tersebut terkait dengan bagaimana pandangan manusia dengan apa yang menimpanya. Hal ini akan berdampak pada metode dan cara pembelajaran yang diberikan oleh pendidikan dengan ideologi tertentu.

Pendidikan alternatif yang muncul belakangan ini di Indonesia pascareformasi pada hakikatnya merupakan bentuk dari konsep pendidikan kritis. Pemikiran kritis ini di Barat yang memang terang-terangan menentang kaum kapitalis-liberalis. Dalam pendidikan, pemikiran kritisisme dipopulerkan salah satunya oleh Paulo Freire (1921-1997) di Brazil yang terkenal dengan teori kesadarannya yaitu kesadaran magis, kesadaran naif, dan kesadaran kritis.

Selaras dengan itu, apa yang dikatakan Erich Fromm (salah satu pemikir dari mazhab Frankfurt) mengatakan bahwa pendidikan perlu sekiranya mengedapankan nilai-nilai kemanusaiaan dalam proses transformasi pendidikan (Humanism Education). Proses menjadikan manusia berfikir kritis merupakan keharusan untuk mengungkap sebuah kebenaran tentang segala sesuatu yang ada di alam ini, tak terkecuali kritis terhadap segala bentuk sistem yang menafikan hakekat humansime yang jauh dari keberpihakan.

Politik Pendidikan dan Pembentukkan Karakter
Politik pendidikan menjadi panduan utama dalam perjalanan pendidikan kebangsaan. Dengan adanya politik pendidikan yang jelas, maka konsep pendidikan yang akan terbentuk dan dicapai pun akan berada dalam bangunan konsep yang tepat, kuat, dan kokoh. Kesemuanya ini melahirkan sebuah tantanan pendidikan yang mencerahkan.

Pendidikan pun mampu melahirkan produk-produk pendidikan yang berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan, baik secara intelektual, maupun sosial. Tentunya bagi pemerintah, sebagai pemegang kebijakkan pendidikan, maka dengan adanya konsep politik pendidikan yang terarah, meniscahayakan adanya kebijakkan-kebijakkan pendidikan mencerahkan dan memberadabkan.

Menurut Benny Susetyo, politik pendidikan yang kerdil dan sempit, yang merupakan hasil reduksionisme, telah mengubur nilai-nilai politik pendidikan sejatinya. Yang jelas, politik pendidikan yang terbuka dan mencerahkan akan dapat dijalankan dengan sedemikian rupa apabila pembentukkan karakter bangsa, mulai dari elit lapis teratas hingga terbawah betul-betul dikerjakan dengan sedemikian tegas dan konkret.

Pendidikan mestinya haruslah memuat nilai-nilai kepentingan dan pengalaman. Ini dapat dipahami bahwa pendidikan tidak serta merta bersifat teoritis. Akan tetapi, pendidikan harus pula bersifat praktis. Pendidikan betul-betul mencerminkan sebuah proses berpendidikan yang menyeluruh(holistik), mengelobal, dan mendalam.

Pendidikan dalam konteks demikian dapat membentuk sebuah karakter bangsa yang betul-betul  menandakan sebuah keberpahaman kondisi bangsa secara integral dalam segala bidang kehidupan. Oleh karena itu, Ketika hal-hal demikian dapat dilakoni dengan sedemikian baik dan tegas, sangat mungkin karakter bangsa yang diidealkan bersama dapat terealisasi dengan sedemikian konkret dan praktis.
 
Penulis adalah Wakabid Litbang dan Infokom DPC GMNI Pekanbaru dan Mahasiswa PKn/FKIP/Universitas Riau.