Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Strategi Reformasi Pelayanan Publik
Oleh : opn/dd
Sabtu | 05-01-2013 | 12:48 WIB

Oleh: Rendra Setyadiharja, S.Sos


MASIH ADAKAH JALAN untuk melakukan reformasi pelayanan publik? Tulisan ini dimulai dengan sebuah pertanyaan yang akan membawa kita pada sebuah keoptimistisan terhadap reformasi pelayanan publik. Berbagai diskusi dan seminar, bahkan penelitian telah menggambarkan bagaimana pelayanan publik harus diperbaiki.


Namun, seakan hanya menjadi sebuah hal yang utopis, sementara birokrasi sebagai penyelenggara pelayanan publik masih dengan patologinya. Sehingga membutuhkan waktu yang tidak sebentar atau hanya mimpi belaka untuk melakukan reformasi pelayanan publik.

Salah satu hambatan yang terjadi dalam melakukan reformasi pelayanan publik adalah karena budaya paternalistik dalam tubuh birokrasi masih mengakar dengan kuat serta paradigma lama yang masih bercokol dalam alam pikiran birokrasi publik.

Menurut Kumorotomo (Dwiyanto: 2008), bahwa budaya paternalistik mungkin sangat sulit untuk diubah manakala ia sudah menjadi bagian inti dari budaya birokrasi. Selanjutnya dikatakan oleh Dwiyanto (2011), budaya paternalistik ini adalah sebuah budaya dimana bawahan sangat tergantung kepada atasan. Ketergantungan ini kemudian mendorong mereka untuk memperlakukan atasannya secara berlebihan dengan menunjukkan loyalitas dan pengabdian yang tinggi.

Sehingga akibat yang ditimbulkan adalah terabaikannya perhatian kepada masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan publik. Sehingga pelayanan publik bukan diorientasikan kepada masyarakat, akan tetapi berdasarkan kepuasan atasan. Dan demi kepuasan atasan, tak jarang harapan masyarakat diabaikan.

Hambatan selanjutnya adalah paradigma birokrasi publik yang masih bertahan pada paradigma Old Public Administration, dimana pada tataran paradigma ini masyarakat bukanlah tujuan pelayanan publik, birokrasi publik hanya disibukkan dengan pekerjaan yang sifatnya administratif belaka. Sementara masyarakat hanya kasus eksternal dari tugas wajib administratif yang sifatnya rutinitas.    

Namun, bukanlah sebuah kata terlambat untuk melakukan reformasi pelayanan publik di Indonesia. Ada beberapa strategi yang dijelaskan oleh Osborne dan Plastrik (Kurniawan: 2009) dalam rangka melakukan reformasi pelayanan publik, dan diharapkan strategi ini mampu diterapkan di Indonesia untuk menciptakan birokrasi yang responsif, resposibel, akuntabilitas, dan transparantif dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Pertama, Strategi Inti. Untuk mengembangkan strategi inti dapat dilakukan dengan menentukan tujuan dan fungsi pemerintahan yang jelas, adanya kejelasan peran dan arah dari pemerintahan. Strategi ini menghapus, memisahkan dan membersihkan fungsi-fungsi pemerintah yang tidak sesuai dan tidak sejalan dengan tujuannya.

Cara yang dapat dilakukan, diantaranya mengadakan kajian kinerja atau program. Kajian kinerja dan program ini dalam tataran perumusannya dapat melibatkan masyarakat dalam rangka mengetahui apa ekspektasi masyarakat dalam pelayanan publik, yang nantinya dari apa yang diharapkan oleh masyarakat dapat tertuang pada program pemerintah khususnya pelayanan publik.

Dengan demikian, kinerja birokrasi publik dalam memberikan pelayanan publik adalah mengacu dari apa yang telah disepakati antara pemerintah dan masyarakat. Sehingga segala tindakan birokrasi publik dalam pelayanan publik haruslah berorientasi pada keinginan masyarakat. Contoh kongkritnya adalah diadakannya kontrak pelayanan, dimana prosedur, biaya, waktu dan mekanisme pelayanan publik yang telah disepakati dapat berjalan dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Kedua, Strategi Konsekuensi. Pendekatan yang digunakan dalam strategi ini adalah berjalannya kompetisi antara pemerintah dan pasar. Dengan adanya kompetisi, maka mau tidak mau birokrasi publik harus memberikan dan menciptakan pelayanan publik yang lebih baik, karena masyarakat dalam hal ini diberikan pilihan terhadap pelayanan publik yang bagaimana yang mereka inginkan.

Sebagai contoh, pelayanan kesehatan pada rumah sakit milik pemerintah. Maka dalam hal ini, pemerintah haruslah memberikan pelayanan yang optimal dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan. Jika tidak, masyarakat akan lebih memilih pelayanan kesehatan swasta yang notabenenya lebih baik dan lebih optimal. Konsekuensinya, pemerintah akan kehilangan pelanggan yang mengakibatkan sumber daya milik pemerintah tidak dapat memproduksi sumberdana atau pendapatan dari pelayanan publik tersebut. Maka dengan demikian jika ingin kembali mengoptimal sumber pendapatan, maka pemerintah haruslah memberikan pelayanan publik yang lebih baik dari pihak swasta. 

Ketiga, Strategi Pelanggan. Dalam hal ini terkait dengan kepada siapa akuntabilitas kinerja pelayanan publik dijalankan. Dwiyanto (2008) mengatakan, bahwa salah satu indikator akuntabilitas pelayanan publik adalah acuan dalam menjalankan pelayanan publik itu sendiri. Sehingga dari acuan tersebut, maka pelayanan publik dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Dalam strategi ini, masyarakat tidak lagi hanya sebagai kasus eksternal dari tugas birokrasi publik, namun masyarakat adalah pelanggan pengguna jasa pelayanan publik.

Penyelenggaran pelayanan publik harus mengacu pada kontrak pelayanan yang telah ditentukan pada strategi inti. Dengan kontrak pelayanan, masyarakat diberikan hak untuk menentukan dan mengetahui serta memberikan keluhan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan demikian akuntabilitas pelayanan publik berjalan dengan mengacu dan diarahkan pada masyarakat sebagai pelanggan.  

Keempat, Strategi Pengendalian. Dalam strategi ini, birokrasi dikendali tidak lagi dengan aturan yang saklek dan impersonalitas, sehingga menurunkan daya inisiatif dan inovasi birokrasi publik dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Pengendalian di sini dengan melepaskan kontrol secara hirarkis yang terlalu kuat dan mengantikan dengan pengendalian lebih kepada pengendalian diri dan komitmen pegawai terhadap arah dan tujuan organisasi publik.

Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, kontrak pelayanan telah menuangkan visi dan misi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Oleh karena itu, pengendalian yang dilakukan adalah dengan sejauhmana birokrasi publik harus komit dalam menjalankan pelayanan publik sesuai dengan visi misi yang telah tertuang dalam kontrak pelayanan, dengan memberikan kebebasan berinovasi, reward and punishment yang jelas terhadap aparat birokrasi publik yang menjalankan pelayanan publik dengan tujuan utama adalah tercapainya visi, misi pelayanan publik dan kepuasan masyarakat menjadi indikator sejauhmana pelayanan publik telah berjalan sesuai dengan visi dan misi kontrak pelayanan dan juga keinginan serta harapan masyarakat.   

Kelima, Strategi Budaya. Dalam strategi ini adalah dengan cara mengubah semua budaya birokrasi publik, yang pada awalnya budaya minta dilayani menjadi birokrasi publik yang melayani, dari birokrasi yang paternalistik menjadi birokrasi yang inovatif dan responsif terhadap masyarakat sebagai pengguna jasa. Termasuk juga mengubah paradigma birokrasi publik.

Tentunya strategi ini dapat diterapkan pada pendidikan dan pelatihan birokrasi publik dengan menempatkan kurikulum diklat yang lebih menekankan pada birokrasi yang mampu memberikan pelayanan publik yang terbaik. Sehingga budaya aparat birokrasi perlahan akan berubah dari birokrasi yang minta dilayani menjadi birokrasi yang melayani, dan juga menjadi birokrasi yang inovatif dan responsif terhadap masyarakat. Sehingga akan terciptanya sebuah penyelenggaraan pelayanan publik yang sangat optimal dan mengutamakan masyarakat sebagai pengguna jasa layanan pelayanan publik. 

Inilah lima strategi reformasi pelayanan publik, yang seyogyanya dapat mengubah pola penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh birokrasi publik. Kesimpulannya adalah, bagaimana pelayanan publik lebih mengarah pada keinginan dan harapan masyarakat. Selain itu dapat dijalankan dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan keinginan masyarakat, dan menjadikan birokrasi publik lebih responsif, akuntabel, dan transparantif dalam menyelenggarakan pelayanan publik.

Diharapkan tidak ada lagi masyarakat yang dipersulit dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan penyelenggaraan pelayanan publik yang optimal, maka akan memudahkan pemerintah mendapatkan kepercayaan penuh dari masyarakat dan tercapainya nilai-nilai tata kelola pemerintahan yang baik.

Penulis adalah Dosen STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang/ Kepala Bidang Penelitian Lembaga Kajian Politik dan Otonomi Daerah Kepulauan Riau dan Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.