Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Catatan Korupsi Tahun 2012 dan Harapan ke Depan
Oleh : opn/dd
Kamis | 03-01-2013 | 11:56 WIB

Oleh: Rendra Setyadiharja, S. Sos


REPUBLIK INDONESIA hingga kini masih belum bisa bangkit dari mimpi buruknya. Telah beberapa dentang waktu, bangsa kita memasuki tahun 2013. Waktu ke waktu semakin berjalan, namun apakah yang terjadi pada bangsa kita.


Beberapa catatan buruk pun telah ditulis di tahun 2012, yang menyatakan bangsa ini masih belum bisa keluar dari kemelut panjang yang senantiasa singgah dan bercokol. Jika catatan kali ini kita lebih fokuskan kepada tindak pidana korupsi, maka sudah tak heran lagi, mungkin kita hanya bisa mengelus dada dan pesimistis pun terbangun dalam benak kita, bagaimana untuk menghilangkan sebuah penyakit satu itu.

Korupsi seakan mewabah dan mengurita pada bangsa ini. Entah dosa lama siapa sehingga penyakit ini terus ada dan bahkan sudah sangat kronis menggerogoti bangsa ini. 

Di tahun 2012, beberapa catatan korupsi terjadi dan sangat ironis kita lihat. Betapa manisnya ketika berjuta pasang mata menyaksikan sebuah iklan partai politik pada pemilu tahun 2009 yang mengatakan tidak untuk korupsi, namun ironis keadaannya saat ini. Mungkin sudah menjadi rahasia umum, bahwa kasus korupsi yang sangat hangat diperbincangkan saat ini, adalah kasus korupsi yang terkait proyek wisma atlit Hambalang.

Mulai dari tertangkapnya Nazaruddin, yang akibat "nyanyiannya" menjerat anggota DPR RI Angelina Sondakh, dan selanjutnya lagi menjerat Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Alfian Malarangeng yang kini telah mengundurkan diri. Sungguh kasus korupsi yang sudah seperti estafet sambung menyambung menjadi satu. Ke depan, entah siapa lagi yang akan terjerat akibat "nyayian" aktor yang tak puas dirinya menjadi tersangka, dan ujungnya akan terkuak siapa "Bos Besar" di balik kasus ini.

Bukan saja kasus tersebut, belum lagi kasus korupsi yang menjerat lembaga penegak hukum di negara kita, kasus simolator sim yang sempat menjadi rebutan antara satu lembaga dengan lembaga lainnya. Mengapa begitu kompleks kasus korupsi di negara ini?

Lembaga pemberantas korupsi yaitu Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) yang notabenenya harus menyelesaikan kasus-kasus ini dan juga kasus lainnya, bukan berjalan pada jalan yang beraspal mulus. Beberapa hal sempat menjadi batu yang licin yang menghambat jalannya tugas KPK, mulai dari adanya sebutan "cecak versus buaya", lalu ingin dirubahnya beberapa kewenangan KPK lewat perubahan Undang-undang yang mengatur KPK. Seolah lembaga wakil rakyat DPR RI juga ingin menjegal lembaga yang dipercaya untuk membersihkan korupsi di negara ini. Salah satu indikasinya adalah ingin memperkecil peran lembaga ini dalam pengungkap sebuah kasus korupsi. 

Itulah sekelumit mimpi buruk catatan korupsi di Indonesia di tahun 2012. Lalu bagaimana harapan kita ke depan. Akankah kita membiarkan kasus korupsi ini berjalan dan mengakar di negara kita? Akankah kita biarkan KPK yang bagi rakyat adalah lembaga yang dipercaya untuk membersihkan KKN di negara ini terjegal oleh beberapa kepentingan yang tak semestinya ada? 

Membersihkan korupsi bukanlah semudah kita membalikkan telapak tangan. Apalagi penyakit ini telah menjangkiti berbagai sistem di negara Indonesia. Oleh karena itu, akankah penyakit ini kita biarkan berlarut-larut?

Pemberantasan korupsi tidak hanya kita serahkan pada satu lembaga saja yaitu KPK. Menurut John Githongo (Jeremy Pope: 2003), bahwa menaikkan gaji pegawai juga bukan merupakan sebuah langkah yang tepat untuk memberantas korupsi. Apalagi terkait naluriah manusia yang tak pernah puas. Pada kenyataanya, naiknya gaji para aparat pejabat negara tak juga mengurangi korupsi di negara ini. 

Penegakan hukum yang tegas profesional, adil, dalam memberantas korupsi kiranya juga bukan suatu jaminan bahwa korupsi dapat hilang hingga ke akar-akarnya. Pada kenyataanya, betapa banyak oknum yang terjerat korupsi dan dihukum pidana juga tak membuat jera, dan bahkan kasus korupsi juga masih terjadi. 

Adanya pemerintahan yang otoriter dan bertangan besi, juga bukan solusi yang terbaik. Bahkan rezim yang otoriter cenderung banyak melakukan korupsi sebagaimana Indonesia yang pernah dipimpin rezim otoriter. Dan korupsi saat ini, tak dapat dipungkiri merupakan warisan rezim sebelumnya. Lalu bagaimana korupsi harus diberantas dan dibersihkan hingga ke akar-akarnya. 

Tentunya kita sangat berharap korupsi dapat diminimalisir dan bahkan dihilangkan dari bumi Indonesia. Menurut Jeremy Pope (2003), memberantas korupsi tak bisa hanya diserahkan kepada penegak hukum atau lembaga pemberantas korupsi saja, namun harus terciptanya sebuah "Sistem Integrasi Nasional” yang juga melibatkan masyarakat lebih luas. Masyakarat yang lebih luas harus dilibatkan, baik dari segi pengawasan, monitoring, pengaduan dan juga evaluasinya. 

Hal senada namun dijelaskan lebih gamblang oleh Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo (Dwiyanto: 2008), bahwa dalam memberantas korupsi dapat dilakukan tiga hal sebagai berikut: Pertama, dengan cara sistematik-struktural. Cara ini adalah mendayagunakan segenap suprastruktur maupun infrastruktur politik. Supratruktur politik yang dimaksud di sini adalah keseluruhan lembaga penyelenggara negara yang mempunyai kewenangan hukum konstitusional seperti MPR, DPR, DPD, MK, MA, BPK, dan Lembaga Kepresidenan. Di tingkat daerah, seperti DPRD, kepala daerah dan jajaran di bawahnya.

Sedangkan yang dimaksud infrastruktur politik adalah seluruh lembaga sosial politik dan kemasyarakatan yang berperan sebagai penekan dan fungsi kontrol terhadap lembaga penyelenggara negara seperti, parpol, LSM, Pers, dan persatuan mahasiswa. Lembaga-lembaga ini harus mendukung mulai dari usaha pencegahan, pelaporan penyimpangan dan juga pemberantasan.

Komitmen semua lembaga inilah yang dibutuhkan dalam rangka menutup celah korupsi dan sekaligus berusaha mencegahnya. Bukan sebaliknya, lembaga ini yang menjadi puncak dan sumber korupsi. Komitmen ini dimulai dari individu yang ada di dalam lembaga ini, struktural, hingga keseluruhan kelembagaan harus tercipta dalam rangka memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Disinilah pelibatan seluruh unsur warga negara dalam konteks pemberantasan dan penghapusan korupsi.

Kedua, dengan cara abolisionistik. Cara ini adalah dengan cara menumpas dan memberantas. Korupsi bukan saja diberantas ketika terjadi. Namun pemberantasan korupsi harus dimulai dari penyebabnya. Maka dengan cara ini, kerjasama lembaga-lembaga yang tersebut pada point sebelumnya adalah membuat sebuah komitmen baik secara kelembagaan dan juga secara hubungan koodinatif dan juga kinerja untuk menutup celah yang dapat mengindikasi terjadinya korupsi.

Langkah yang harus dilakukan selanjutnya adalah mengkaji masalah-masalah yang tengah dihadapi masyarakat, mempelajari dorongan-dorongan individual yang mengarah kepada perilaku korup berdasarkan kodifikasi hukum yang berlaku. Yang paling terpenting dalam hal ini adalah komitmen secara hukum dalam pemberantasan korupsi, pemerintah dan masyarakat harus berkerja sama dan bersinergi untuk berkomitmen membersihkan segala indikasi yang mengarah kepada kasus korupsi. 

Dan yang ketiga, dengan cara moralistik. Cara ini adalah lebih mengedepankan pembinaan moral manusia, ceramah, atau penyuluhan di bidang keagamaan, etika, dan hukum. Tujuannya adalah membina moral mulai dari individu, agar individu tersebut memahami tentang bagaimana perlunya menjauhi korupsi, hukumannya, serta kerugiannya pada negara. Sehingga penguatan integritas individu mampu diharapkan tercipta pada konteks ini. 

Dari ketiga cara ini, memang tidak terlepas dari komitmen kita semua sebagai warga negara. Oleh karena itu, penulis katakan bahwa pemberantasan korupsi tidak bisa diserahkan bulat-bulat kepada KPK saja, akan tetapi perlu dukungan dan keterlibatan seluruh stakeholders sebagaimana disebutkan di atas. Tanpa komitmen, dukungan dan penguatan semua stakeholder, maka akan sulit korupsi dihilangkan. Oleh karena itu, mulai dari celah penyebab korupsi, sampai terjadinya korupsi harus kita cegah dan kita basmi bersama.

Semoga di tahun 2013 ini semua warga negara dan seluruh stakeholders terkait sadar urgensi pemberantasan dan penghapusan korupsi di negara kita, dalam rangka menciptakan Indonesia yang lebih bersih dan menuju kepada clean governance dan masyarakat yang adil dan sejahtera.

Penulis adalah Dosen STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang dan Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.