Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Catatan Akhir Tahun SPI

2012, Tahun Inkosistensi Kebijakan dan Pengabaian Kesejahteraan Petani
Oleh : dd
Jum'at | 28-12-2012 | 18:02 WIB

JAKARTA, batamtoday - Tak ubahnya beberapa tahun terakhir, berbagai permasalahan masih melanda petani dan masyarakat pedesaaan.

Seperti masalah akses dan kontrol atas tanah, air, benih, dan konflik agraria, belum adanya perlindungan harga produk pertanian bagi para petani kecil serta serbuan pangan impor murah yang menyebabkan anjloknya harga produk pertanian dalam negeri.

Terkait dengan Rencana Strategis 2010-2014 Kementrian Pertanian dan lebih jauh Rencana Strategis Pemerintahan SBY, tahun 2012 ini sejumlah kebijakan strategis di sektor pangan dan pertanian dikeluarkan. 

Di tengah kondisi sistem pertanahan Indonesia yang pelik, awal Februari 2012, Pemerintah justru mengeluarkan Undang-undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang semakin menambah ketumpangtindihan aturan pertanahan dan berpotensi besar meningkatkan konflik agraria.

Tahun 2012 juga terjadi peningkatan konflik agraria di areal kehutanan yang berujung pada kriminalisasi dan penangkapan petani. Dualisme sistem pertanahan berujung pada konflik agraria yang berkepanjangan. Hal ini semakin diperparah dengan keterlibatan aparat bersenjata yang meningkatkan potensi kekerasan yang dialami petani dan masyarakat pada umumnya.

Di tahun ini pula, pembahasan panjang revisi Undang-Undang Pangan No.7 tahun 1996 dituntaskan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pangan baru No. 18 tahun 2012.

Sayangnya semangat kedaulatan pangan yang menjadi awal desakan SPI bersama berbagai organisasi rakyat lainnya justru dilemahkan dengan sejumlah pasal dalam undang-undang baru ini yang justru semakin memberi ruang luas pada perusahaan pangan dan agribisnis untuk mengelola sektor pangan dan pertanian yang menjadi hajat hidup orang banyak.

Peraturan pangan yang baru ini juga nampaknya belum mampu membendung arus impor pangan yang semakin besar setiap tahunnya. Berbagai komoditas pangan tidak sesuai target pencapaiannya. Tahun ini ketergantungan pada impor sejumlah komoditi seperti kedelai, singkong dan gandum telah menyebabkan gejolak yang cukup besar baik di tingkat konsumen maupun produsen kecil.

Di sisi lain langkah pemerintah memberlakukan pembatasan pintu masuk impor hortikultura per Juni 2012 dan demikian juga dengan daging sapi perlu mendapat acungan jempol, walaupun sejumlah kendala lainnya belum mampu mencegah banjirnya pasar lokal dengan aneka pangan impor. Di penghujung tahun ini kembali SPI memaparkan catatan akhir di sektor pertanian, pembaruan agraria dan pembangunan perdesaan sepanjang tahun 2012.

Konflik Agraria Tak Berkesudahan

Tumpang tindih administrasi pertanahan di Indonesia berulang kali memicu terjadinya konflik agraria di Indonesia, bukan semata konflik pertanahan. Minimnya pengakuan hak rakyat atas tanah, dan kerancuan konsep penggunaan lahan untuk kepentingan umum demi pembangunan semakin memojokkan masyarakat. Disebut kerancuan karena “pembangunan” yang kerap didengungkan dalam berbagai proyek yang dikembangkan justru tidak dirasakan oleh masyarakat sekitar.

Walau telah berulang kali didesakan, janji pemerintah melaksanakan pembaruan agraria nampaknya masih jauh dari harapan. Yang justru terjadi semakin menguatnya eskalasi konflik agrarian, kekerasan yang dialami petani dan masyarakat sekitar hutan. Seakan tak nampak adanya niatan untuk menyelesaikan konflik dan membereskan masalah pertanahan yang carut marut.

Tahun 2012, tak ubahnya tahun-tahun sebelumnya berbagai kasus dan konflik agrarian kembali terjadi, konflik dengan melibatkan kekerasan dan aparat bersenjata. Di bulan Juli yang lalu satu lagi kasus kekerasan yang dihadapi keluarga petani kembali terjadi. Bahkan, kali ini korban yang jatuh adalah seorang remaja berusia 12 tahun, Angga bin Darmawan yang tewas tertembak oleh aparat Brimob Polda Sumatera Selatan.

Penembakan terjadi ketika aparat Brimob masuk ke dalam perkampungan warga, di desa Limbang Jaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Selain itu beberapa warga lain juga mengalami luka tembakan dan kondisi kritis di antaranya Jessica (perempuan, 16 tahun), Dud binti Juning (perempuan, 30 tahun), Rusman bin Alimin (laki-laki, belum diketahui umurnya), dan satu orang yang tidak diketahui namanya. Kekerasan yang dilakukan Brimob terhadap keluarga-keluarga petani ini dilakukan dengan dalih mengamankan aset milik PTPN VII.

Aparatur negara yang seharusnya menjadi pelindung dan penjaga rakyat justru berbalik menjadi pelindung para pemilik modal. Pemerintah juga tidak melakukan upaya secara adil dan beradab dalam menyelesaikan konflik yang melibatkan petani tersebut. Kekerasan yang terjadi ini menunjukkan betapa lambatnya bahkan ketidakniatan pemerintah untuk menuntaskan kasus yang ada.

Kasus di Ogan Ilir ini merupakan konflik lama yang bermula di tahun 1982, ketika PTPN membuka perkebunan di Kabupaten Ogan Ilir (saat itu masih Kabupaten Ogan Komering Ilir), dimana dalam proses mendapatkan tanah dilakukan dengan paksa. Saat ini luas wilayah perkebunan PTPN VII tersebar di enam kecamatan (Kec. Payaraman, Batu, Lubuk Keliat, Indralaya Selatan, Indralaya Induk, dan Kecamatan Tanjung Raja).

Berdasarkan surat keterangam Badan Pertanahan Nasional, tanah PTPN VII yang memiliki Hak Guna Usaha (HGU) hanya 6.512, 423 Hektare, sedangkan sisanya kurang lebih 20.000 Ha, tidak memiliki HGU. Terkait HGU, pejabat Badan Pertanahan Nasional beberapa tahun lalu ketika pertemuan tentang kelapa sawit di Malaysia menyatakan bahwa sebagian besar kebun sawit di Indonesia tidak memiliki HGU.

Sementara itu tahun 2012 ini juga terjadi peningkatan konflik agraria di areal kehutanan yang berujung pada kriminalisasi dan penangkapan petani. Di Propinsi Jambi misalnya pada bulan Juni dan Juli yang lalu terjadi penangkapan 4 orang petani di Kabupaten Merangin dan Batanghari oleh polisi hutan dengan  alasan kegiatan bertani di atas lahan terlantar milik pemerintah.

Sengketa yang terjadi di Kab. Merangin ini antara masyarakat dengan Dinas Perkebunan dan Kehutanan ini juga telah menyebabkan 100 keluarga petani tergusur dari rumah dan lahannya. Peningkatan konflik agararia di kawasan kehutanan akibat peningkatan komodifikasi sumberdaya alam yang terjadi di seluruh dunia saat ini atas nama ‘konservasi’, dan ‘ekonomi hijau’.

Proses penguasaan lahan dan sumberdaya alam lainnya yang dilakukan seakan dilegalkan dengan menggunakan label hijau. Sebagai contoh sebuah perusahaan bernama PT REKI yang baru berdiri tahun 2005 merupakan konsorsium dari Birdlife yang terdiri dari Birdlife Indonesia, Royal Society for Protection of Bird (RSPB), dan Birdlife International mendapatkan konsensi hutan seluas hampir 100.000 ha selama 100 tahun atau 1 abad. Dengan konsesi atas nama restorasi ekosistem telah menimbulkan konflik yang mengorbankan masyarakat.

Setiap konflik agraria tetap disertai pelanggaran hak-hak msyarakati, terutama terhadap kaum tani. Petani selalu ditempatkan sebagai pihak yang salah dan kalah. Sebaliknya, pemodal selalu mendapatkan fasilitas dan perlindungan dari pemerintah, dimana aparatur negara  justru berada di posisi yang berlawanan dengan rakyat. Mereka menjadi pelindung dan penjaga para pemilik modal. Sementara tanah-tanah terlantar yang disampaikan Badan Pertanahan Nasional (BPN) seluas 7,3 juta hektar lahan terlantar yang siap untuk diredistribusikan kepada para petani tak kunjung dibagikan.

Pada laporan tahun 2011 yang dirilis oleh Serikat Petani Indonesia, terjadi 144 kasus pelanggaran hak asasi petani. Sementara pada tahun 2012 ini ada 195 kasus, yang berarti meningkat 51 kasus pada tahun ini.