Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kontroversi Kurikulum 2013
Oleh : opn/dd
Senin | 24-12-2012 | 15:39 WIB

Oleh: Arpianto


RENCANA PEMERINTAH yang akan menerapkan Kurikulum 2013 terkesan di paksakan ini menunjukkan arogansi pemerintah di dunia pendidikan yang bahkan disetiap tahunnya, kurikulum selalu berubah, hal ini menunjukkan tiadanya konsep yang memang bisa menjadikan pendidikan lebih maju. Karena ada ketidak cocokan antara pihak pelaku (pelajar) dan fasilitator (Pemerintah dan guru). Sehingga, tidak heran jika kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentang pendidikan megundang kontroversi.


Lihat saja pada Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUUPT). Sangat tidak fair jika sebuah undang-undang dibuat hanya untuk mengakomodir kepentingan beberapa perguruan tinggi saja. Sungguh tidak etis melihat keluarnya RUU PT tersebut, sementara mayoritas pendidikan kita masih banyak yang kurang berkualitas. Pendidikan kita saat ini banyak mempunyai label "negeri" bahkan bebasis "standard internasinal" (SI), akan tetapi siswanya tetap begitu saja tidak ada perbedaan yang mencolok dari sekolah swasta maupun dari segi kualitas alumninya.

Perubahan kurikulum terus dipertanyakan, apakah perubahaan kurikulum ini benar-benar dibutuhkan atau hanya sebagai usaha pemerintah menutupi kegagalannya dalam mengelola dunia pendidikan kita, sehingga terkesan cuci tangan dengan kebijakkan baru ini.

Ttentunya, penyusun kurikulum mengharuskan kita mengobyektifikasi dasar-dasar normatif kebangsaan dan pendidikan dengan memperhitungkan segenap potensi dan situasi yang senantiasa berubah. Kebermaknaan sebuah kurikulum justru terletak pada kecermatan logis menghubungkan antara hal-hal prinsipil dengan hal-hal riil itu, kemudian mengkristalisasikannya pada mata pelajaran. Tanpa kesungguhan, perubahan kurikulum hanya mengutak-atik apa yang ada dengan dibumbui pengantar yang muluk-muluk.

Kurikulum Pendidikan yang Mencerdaskan 
Dalam amanat UU Sikdiknas No 20 Tahun 2003 Bab X mengenai kurikulum pasal 36 ayat 1 yang berbunyi "Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional", dilanjutkan ayat 2 "Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan di kembangkan dengan prinsip diverisifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik".

Dan ayat 3 berbunyi, "Kurikulum disusun dengan jenjang pendidikan dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan peningkatan iman dan taqwa, peningkatan akhlak mulia, peningkatan potensi daerah dan lingkungan, tuntutan pembangunan daerah dan nasional, tuntutan dunia kerja, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, agama, dinamika perkembangan global dan persatuan nasional dan nilai-nilai keagamaan.

Mencermati beberapa point yang disampaikan dalam UU Sikdiknas, penerapan kurikulum yang tepat bagi keberbedaan dan perbedaan yang dimiliki bangsa kita dengan tetap mengacu pada tujuan pendidikan nasional. Mengutip pendapat Hamid Hasan, Masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki tingkat keanekaragaman yang tinggi, mulai dari dimensi sosial, budaya, aspirasi politik dan kemampuan ekonomi. Keanekaragaman ini sangat berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam menyediakan pengalaman belajar yang juga berpengaruh terhadap kemampuan anak didik untuk berproses dalam kegiatan belajar serta berpengaruh dalam mengelolah informasi menjadi sesuatu yang diterjemahkan sebagai hasil belajar.

Diakui mau pun tidak, tolok ukur bangsa berkualitas dipandang dari sejauh mana pendidikan mampu melahirkan manusia-manusia yang handal. Bangsa akan menjadi berkualitas apabila manusianya berkualitas. Ini tidak dapat dipungkiri dan harus diakui secara bersama. Oleh karena itu, sebagai bangsa yang ingin menuju pada bangsa berkualitas, harus mampu melaksakan peningkatan kualitasnya . 

Kurikkulum 2013 Vs Arogansi Pemerintah
Pada Kurikulum model KTSP memberi peluang bagi guru dengan harapan model KTSP dapat menjadi pedoman bagi guru dalam menyusun silabus yang sesuai dengan kondisi sekolah dan potensi daerah masing-masing yang diberikannya kewenangan kepada sekolah untuk mengambil keputusan berkenaan dengan pengelolaan pendidikan, seperti tercermin dalam pengelolaan kurikulum, baik dalam penyusunan maupun pelaksanaannya di sekolah.

Sedangkan pada Kurikulum 2013, perencanaan maupun penyusunan silabus serta penyusunan dan penerbitan buku pelajaran ditentukan serta dilakukan oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sentralisasi). Ini menunjunkkan, perubahan atau pergantian KTSP (2006) ke kurikulum 2013 tidak berdasarkan alasan yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan serta landasan hukumnya tampak mengada-ada sebagai rasionalisasi perubahan kebijakan.

Menurut Forum Komunikasi Peduli Pendidikan Republik Indonesia (FKPPRI), yang beranggotakan pakar, praktisi, dan pengamat pendidikan menolak kurikulum 2013. Perubahan kurikulum dinilai tidak berdasarkan kajian yang menyeluruh. Kurikulum 2013 amat sentralistik, bertentangan dengan semangat reformasi yang menghendaki desentralisasi, yaitu desentralisasi pengelolaan pendidikan.

Belum ada riset dan evaluasi yang mendalam dan sungguh-sungguh tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), baik berdasarkan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi maupun Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Kurikulum model KTSP yang dikembangkan berdasarkan pedoman dan rambu-rambu yang ditetapkan oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) menghargai otonomi guru dan sekolah serta keanerakagaman budaya dan konteks setempat.

Penyusunan Kurikulum 2013 tidak berdasarkan kajian yang mendalam dan transparan terhadap situasi yang  menjadi alasan kuat perlunya kurikulum 2013. Rumusannya amat sangat normatif berdasarkan spekulasi tanpa dukungan hasil riset dan ujicoba inovasi di lapangan.

Ada pun jumlah mata pelajaran dalam kurikulum 2013 dikurangi dengan maksud mengurangi beban belajar siswa, namun muatannya berlipat ganda karena mengikuti alur pikiran kompetensi inti dan jumlah jam pelajaran per minggu ditambah. Dampaknya adalah, beban belajar siswa semakin berlipat ganda. Selain itu, rumusan kompetensi inti tidak berdasarkan kajian mendalam dan hasil riset dan inovasi. Hubungan antara kompetensi inti dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran tidak koheren sehingga berdampak meningkatnya kepadatan kompetensi dan materi pada tiap mata pelajaran.

Sedangkan Menurut Ketua Dewan Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Wuryadi, terdapat kelemahan dalam kurikulum 2013, yaitu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional karena penekanan pengembangan kurikulum hanya didasarkan pada orientasi pragmatis.

Selain itu, kurikulum 2013 tidak didasarkan pada evaluasi dari pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, sehingga dalam pelaksanaannya bisa membingungkan guru dan pemangku pendidikan. Apalagi, pemerintah seolah melihat semua guru dan siswa memiliki kapasitas yang sama dalam kurikulum 2013. Guru juga tidak pernah dilibatkan langsung dalam proses pengembangan kurikulum 2013. Theodore R. Sizer mengatakan, kurikulum menunjukkan inti usaha reformasi pendidikan dan penekanannya pada arti penting kualitas belajar di bandingkan kuantitas belajar. 
 
Penulis adalah Wakabid Litbang dan Infokom DPC GMNI Pekanbaru dan Mahasiswa PKn/FKIP/Universitas Riau.