Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pernyataan SBY Soal Pejabat yang tidak Paham Tipikor Harus Diralat
Oleh : si
Selasa | 11-12-2012 | 13:52 WIB
habiburokhman-1.jpg Honda-Batam
Habiburokhman SH.

JAKARTA, batamtoday - Serikat Pengacara Rakyat (SPR) menyesalkan pernyataan Presiden SBY, yang menytakan banyaknya pejabat yang terjerat kasus korupsi karena tidak paham atas peraturan perundang-undangan.


Yang lebih memperihatinkan lagi, Presiden SBY juga menyatakan bahwa negara wajib menyelamatkan mereka-mereka yang tidak punya niat melakukan korupsi, tetapi bisa salah di dalam mengemban tugasnya. 

"Pernyataan tersebut seolah "mengamini" pernyataan mantan Menpora Andi Malarangeng yang kerap mengatakan "tidak tahu" ketika ditanyakan tentang kasus dugaan tindak pidana korupsi pada proyek Hambalang," ungkap ungkap Habiburokhman SH, Juru Bicara Serikat Pengacara Rakyat, dalam siaran pers yang diterima portal ini, Selasa (11/12/2012). 

Alasan "tidak tahu" atau "tidak paham" peraturan perundang-undangan, lanjutnya, merupakan alasan yang paling banyak dipakai para terdakwa di pengadilan tipikor untuk menghindari tanggung jawab hukum atas tindak pidana korupsi yang telah mereka lakukan.

Biasanya, alasan tersebut dipakai di saat mereka tersudut dan merasa tidak ada lagi alasan atau argumentasi hukum lain yang diangap bisa menguatkan pembelaan mereka dalam persidangan.

"Dalam ratusan perkara, majelis hakim telah menolak mentah-mentah alasan "tidak tahu" atau "tidak paham" tersebut. Bahkan menurut catatan kami, hingga kini tidak pernah ada majelis hakim tipikor yang membebaskan terdakwa atau memberi keringanan kepada terdakwa karena alasan "tidak tahu" atau "tidak paham"," ungkap Habib lagi.

Menurutnya, ada tiga alasan mengapa alasan "tidak tahu" atau "tidak paham" pelaku korupsi harus diabaikan. Pertama, dalam hukum pidana, ada azas yang menyatakan bahwa begitu suatu ketentuan hukum ditetapkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu hukum/undang-undang (een ieder wordt geacht de wet/het recht te kennen).

"Ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat dijadikan alasan pemaaf atau membebaskan orang itu dari tuntutan hukum (ignorantia iuris neminem excusat/ignorance of the law excuses no man)," tegasnya. 

Yang kedua, delik (tindak pidana korupsi) juga bukan merupakan hal baru dalam hukum pidana kita. Usia UU Tipikor sendiri sudah lebih 13 tahun, sementara pasal-pasal di dalamnya sebelumnya juga sudah ada dalam KUHP yang sudah berumur lebih dari seratus tahun. 

Yang ketiga, tersangka atau terdakwa tindak pidana korupsi biasanya adalah pejabat publik yang berpendidikan tinggi atau minimal SMA, sehingga dapat dipastikan mengetahui aturan perundang-undangan yang berlaku secara umum, termasuk UU Tipikor.

Ia menilai, pernyataan Presiden SBY soal pejabat yang terjerat kasus korupsi karena tidak paham ini, dikhawatirkan secara psikologis akan mendemoralisasi atau menurunkan semangat aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi.

"Kami berharap, Presiden SBY dapat meralat ucapannya tersebut karena sebagai Presiden seharusnya ia justru senantiasa memberi semangat kepada jajaran penegak hukum untuk terus bekerja dengan giat memberantas korupsi," tandasnya.

SPS juga meminta Presiden SBY melakukan evaluasi besar-besaran tentang kinerja pemerintahannya dalam hal pemberantasan korupsi.

"Hampir sepuluh tahun berkuasa, dapat dikatakan bahwa program pemberantasan korupsi pemerintahan SBY masih jauh dari berhasil, karena tindak pidana korupsi tetap marak terjadi, bahkan di lingkaran elit kekuasaan," sebut Juru Bicara Serikat Pengacara Rakyat ini.