Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Negara Maju Gagal Penuhi Bantuan Perubahan Iklim
Oleh : dd/hc
Jum'at | 30-11-2012 | 11:26 WIB

BATAM, batamtoday - Negara maju gagal memenuhi janji bantuan perubahan iklim ke negara berkembang dan miskin.

Fakta ini terungkap dalam laporan terbaru yang dirilis oleh International Institute for Environment and Development (IIED), pekan ini.

Laporan yang mengupas secara detil perkembangan bantuan perubahan iklim ini menemukan fakta bahwa negara maju secara bersama-sama gagal memenuhi janji-janji mereka kepada negara miskin.

Negara-negara maju pada 2009 menjanjikan bantuan perubahan iklim ke negara berkembang sebesar US$30 miliar hingga akhir tahun 2012 untuk membantu adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Mereka mensyaratkan adanya transparansi, tata kelola dan prioritas bantuan perubahan iklim pada negara yang lebih memerlukan.

Namun hingga saat ini, hanya US$23,6 miliar dari US$30 miliar dana yang dijanjikan telah disalurkan. Dan hanya 20% dari dana cepat ini (fast start finance) yang telah dialokasikan menjadi proyek yang bisa membantu negara berkembang melakukan adaptasi perubahan iklim.

Kurang dari 50% dari “dana cepat” ini yang berbentuk hibah (grants). Sisanya berbentuk pinjaman yang harus dibayar kembali oleh negara miskin beserta bunganya. Sehingga negara miskin harus menanggung dua kali kerugian atas masalah yang tidak mereka timbulkan.

Negara maju juga kurang transparan dalam menginformasikan apakah dana bantuan perubahan iklim ini adalah dana yang benar-benar baru ataukah dana yang dialihkan dari program lainnya.

Untuk mengukur transparansi dari dana bantuan ini, para peneliti mengevaluasi negara-negara pemberi donor melalui 24 pendekatan. Hasilnya, tidak ada donor yang tingkat transparansinya melebihi 67%.

“Jika tak ada kejelasan kapan dan bagaimana negara maju mengalokasikan janji bantuan mereka, negara-negara berkembang tidak bisa merencanakan secara maksmimal program untuk mengatasi perubahan iklim,” ujar Timmons Roberts dari Climate and Development Lab di Brown University, Amerika Serikat yang memimpin penelitian ini.

David Ciplet, juga dari Brown University, menambahkan: “Hanya 2 dari 10 negara donor yang diteliti yang amanah dalam memberikan bantuan perubahan iklim, sesuai dengan kemampuan membayar mereka dan banyaknya emisi gas rumah kaca yang mereka lepaskan selama beberapa dekade terakhir.”

Konsep ini menurut para peneliti disebut sebagai fair share, bagian yang sesuai dengan asas kemampuan dan tanggung jawab masing-masing negara.

Negara yang paling amanah adalah Norwegia yang memberikan bantuan lima kali lipat lebih banyak dari fair share mereka. Negara yang paling tidak amanah adalah Amerika Serikat dan Islandia yang hanya memberikan bantuan kurang dari separuh dari fair share mereka.

Kegagalan negara maju mewujudkan bantuan perubahan iklim ini menurut para peneliti akan memersulit perundingan perubahan iklim yang saat ini tengah berlangsung di Doha, Qatar.

Menurut para peneliti, salah satu cara memulihkan kepercayaan adalah dengan menyalurkan bantuan langsung ke UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang memiliki perwakilan dari negara maju atau negara berkembang dengan posisi yang setara.

Upaya untuk memenuhi janji bantuan sebesar US$30 miliar pada akhir tahun ini juga penting guna memastikan bahwa dana ini bisa digunakan untuk mendukung proyek-proyek perubahan iklim tepat waktu.

Kesepakatan di atas sebenarnya sudah disetujui oleh semua negara maju pada 2010. Namun hingga sekarang, hanya 2% dari dana bantuan perubahan iklim yang sudah disalurkan melalui UNFCCC.

Catatan buruk ini memunculkan pertanyaan atas realisasi janji bantuan perubahan iklim yang lain – yang lebih besar – yaitu bantuan US$100 miliar yang akan disalurkan ke negara berkembang setiap tahun hingga tahun 2020.

“Diperlukan itikad baik dari negara maju untuk memenuhi janji bantuan ini dan bekerja sama dengan negara berkembang mengatasi tantangan global perubahan iklim,” tutur Saleemul Huq dari IIED.