Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

MPR Bisa Impeachment Boediono, Jika MK Putuskan Bersalah
Oleh : si
Senin | 26-11-2012 | 19:31 WIB
lukman_hakim_saefuddin.jpg Honda-Batam

Lukman Hakim Saefuddin

JAKARTA, batamtoday - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI menilai dugaan Wakil Presiden (Wapres) Boediono dalam skandal Bank Century semasa menjabat Gubernur Bank Indonesia (BI) bisa diproses secara politik maupun hukum.


Proses politik dilakukan di DPR dengan mendorong menggunakan hak menyatakan pendapat (HMP) dan proses hukum yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

“Masalah century ini tidak selesai sampai hanya pada Pak Boediono. Dan, DPR menggunakan hak menyatakan pendapatnya tidak harus menunggu putusan hukum pidana di DPR. Hanya saja, selaku Wapres, beliau itu hanya bisa diproses dengan hukum tata negara, yang nantinya akan berujung di MK, dan MK bisa memutuskan tidak bersalah. Jadi, silakan saja menggunakan HMP, dan PPP sendiri belum secara resmi menolak HMP. Hanya perseorangan, paripurna DPR pun belum mengambil keputusan,” tandas Wakil Ketua MPR RI H. M. Lukman Hakim Saifuddin dalam diskusi ‘Century: Antara hak menyatakan pendapat dan KPK” bersama Peneliti ICW Febridiansyah dan Pakar Hukum UI Akhiar Salmi di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Senin (26/11/2012).

Lukman menegaskan, proses hukum di KPK juga harus tetap berjalan, jika bersinggungan dengan Boediono maka KPK harus memberikan perlakuan khusus karena seorang wapres kecuali bila nanti tidak lagi menjabat sebagai wapres. 

“Dan, kalau masih menjabat menggunakan hukum tata negara. Kalau terbukti bersalah di MK, maka MPR bisa melakukan proses impeachment atau pemakzulan. Hukum pidana bisa diberlakukan kalau sudah tidak menjabat lagi wapres,” ujarnya.

Wakil Ketua MPR ini mengakui apabila konstitusi belum secara tegas mengatur soal penerapan hukum pada presiden dan wapres tersebut jika melakukan pelanggaran atau penyalagunaan wewenang. Pasal 7 huruf b UUD 1945 hanya mengatur masalah pengkhianatan terhadap negara, melakukan tindak pidana korupsi, melakukan tindak asusila, melanggar norma dan etika.

"Karena tidak diatur secara tegas itu, maka sehingga banyak menimbulkan tafsir hukum yang berbeda-beda," katanya.

Sedangkan Febridiansyah menilai, meski Boediono ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK dalam kasus Bank Century, tetapi belum tentu oleh KPK diputus bersalah. Sebab, hal itu belum tentu memenuhi persyaratan untuk melakukan impeachment atau pemakzulan terhadap Boediono.

“Kalau terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang dalam kasus century dan terbukti mengakibatkan terjadinya korupsi, maka tak perlu lagi ada bukti-bukti lain, dan wapres bisa dimakzulkan,” kata Febridiansyah.

Namun hal itu mustahil dilakukan, karena DPR tidak serius untuk menggunakan HMP, padahal belum tentu Boediono terbukti bersalah di MK.  "Jadi, kasus century ini tak boleh berhenti hanya pada dua pejabat BI, yaitu Siti Ch. Fajriah, dan Budi Mulya. Kita harus mendorong KPK dan DPR untuk menuntaskannya,” tambah Febri.

Sementara Akhiar Salmi memastikan ada indikasi penyalahgunaan wewenang oleh Boediono ketika menjabat sebagai Gubernur BI. Untuk membuktikannya mudah, yakni kebijakannya tersebut diperuntukkan untuk perorangan atau kepentingan publik, terjadi kerugian negara dan indikasi tindak pidana korupsi.

“Kan, semua ini harus ada yang bertanggung jawab. Untuk itu, proses hukum dan politik di DPR harus sama-sama jalan. Apalagi, di depan hukum semua warga negara berkedudukan sama. Tak ada yang istimewa,” ungkap Salmi.

Dengan demikian, lanjutnya, jika bailout Century itu cacat hukum, karena dilakukan dengan melanggar hukum mengubah peraturan sebelumnya, maka hal itu berarti ada tindak pidana korupsi. "Karenanya Gubernur BI yang harus bertanggung jawab. Dan, memeriksanya, tidak harus izin presdien,” ujarnya.

Febridiansyah menambahkan, Bank Century itu tidak beresiko berdampak sistemik karena sebagai bank gagal dan minus. Melanggar dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP), penyertaan modal sementara (PMS) Rp 6,7 triliun yang diserahkan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang dipimpin Sri Mulyani sekaligus sebagai menteri keuangan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

“Jadi, indikasi pelanggaran penyalahgunaan wewenangnya sangat kuat,” kata Peneliti Hukum ICW ini.