Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Hutan Lindung di Bintan Rusak Dijarah
Oleh : hrj/dd
Kamis | 22-11-2012 | 15:05 WIB

TANJUNGUBAN, batamtoday - Kondisi hutan lindung yang ada di Bintan, terbilang sudah habis dan kondisinya sudah merata hampir gundul, diduga akibat ditebang oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Sementara aparat penegak hukum justru terkesan diam dan membiarkan apa yang terjadi dari masa ke masa. 


"Kalau sudah hancur menjadi bubur, lantas siapa yang dipersalahkan dan bagaimana nasib generasi penerus nantinya," ujar Sahat Simanjuntak tokoh masyarakat Bintan di Tanjunguban, kepada batamtoday, Kamis (22/11/2012). 

Menurutnya kalau Bintan yang disebut hutan lindungnya sudah habis dan gundul, sudah bukan rahasia umum lagi dan pembalakangan sendiri terjadi bukan pada saat ini, tapi justru sudah terjadi sejak lama dan kehancuran hutan pada saat ini tinggal hanya tontonan. 

Dikatakan, dari luas hutan lindung 4.355 hektar di Bintan pada tahun 2004, sudah sekitar 35 % atau 1.563 hektar sudah mengalami kerusakan. Ada pun wilayah yang sudah mengalami kerusakan tersebut terdapat Sei Pulai, Gununglengkuas, Gunungkijang, Gunung Bintan Besar dan Kecil, Sei Jago Bintan Utara. Itu data dari Pemkab Bintan semasa masih Kabupaten kepri, tahun 2005," ungkapnya.

Terungkapnya kerusakan hutan tersebut, di saat terjadi Musyawarah Perencanaan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Kepri 2005. Ditambahkan, pada saat ini, sudah di penghujung tahun 2012, bisa dibayangkan berapa banyak lagi hutan yang masih ada yang semakin rusak. 

"Kalau masih ada hutan baik mangrove dan hutan lindung, berapa banyak lagi yang semakin hancur hingga pada saat ini," katanya.

Lebih jauh Sahat mengatakan, apa yang terjadi hingga rusaknya hutan yang seharusnya dilindungi tak terlepas dari keserakahan manusia, sementara yang seharusnya melakukan kontrol bukan tak mungkin terlibat sehingga penanganan hukumnya tak pernah terdengar. Sebaliknya, pembalakan terus saja merajalela.  

"Bukan rahasia umum juga, pada saat ini selain kayunya sudah sejal lama dijarah, untuk dijadikan bahan bangunan, lahannya juga dikapling-kapling dan dijual. Lantas siapa yang bertanggungjawab," imbuhnya.

Berdasarkan penelurusan batamtoday di lapangan, Sd, salah seorang yang mengaku mantan kepercayaan dari salah seorang pengusaha yang juga seorang aparat mengaku sejak sekitar tahun 2009 lalu, dirinya bekerja kepada salah seorang yang memiliki usaha pengolahan kayu di wilayah Bintan Utara. 

"Mulai dari ditunjuk sebagai mata-mata, untuk melaporkan kepada bos apabila ada aparat datang hingga menjadi tukang potong kayu serta mengolah lahannya jadi lahan pertanian. Hal itu sudah saya alami," ungkapnya. 

Dijelaskan saat dirinya menjadi tukang potong kayuw di hutan, dirinya dibayar oleh pengusaha tersebut sebesar Rp 800.000 per satu truk. "Itu sekitar tiga tahun lalu, hasil kerja satu tahun mencapai Rp. 50 juta dna cukup untuk membayar hutang di kampung halaman," katanya.

Selanjurnya, Sd menerangkan selain kayu hasil tebangan tersebut diolah di sebuah tempat, masih di sekitar wilayah Bintan Utara. Sisa dari potongan kayu hutan dari hutan lindung tersebut diolah lagi dan dijadikan arang untuk dijual. Tidak berhenti di situ, selain kayu diolah untuk bahan bangunan, sisanya dijadikan arang. Lahanya juga pada saat ini, telah banyak yang dikapling dan dijadikan sebagai lahan pertanian," tambahnya. 

Pada saat ini katanya, justru lahan yang katanya dulu hutan lindung, pada saat ini sudah menjadi lahan pertanian. Para petani tersebut menanam diatas lahan tersebut, berupa sayur mayur seperti cabe dan lainya. "Setelah lahan bersih dari tunggul kayu, lahan tersebut dijadikan lahan pertanian dan selain itu di kapling dan jual," paparnya.