Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Industri Rokok dan Wong Cilik
Oleh : opn/si
Rabu | 21-11-2012 | 20:45 WIB

Oleh : Muhammad Sobary

BADRUL MUNIR menulis “Rokok dan Wong Cilik”, Kompas, Sabtu, 21 Juli 2012. Dia mengatakan saat ini ada 34 juta pekerja yang bersentuhan dengan industri rokok, baik langsung maupun tidak langsung.



Apabila industri rokok menurun, atau bahkan tutup, bisa dibayangkan berapa juta pengangguran baru yang muncul. Pemerintah mengeluarkan Rencana Peraturan tentang Pengendalian Dampak Tembakau, yang berpotensi mematikan industri rokok dan menimbulkan pengangguran baru.

Badrul menyanggah potensi negatif yang dikandung peraturan ini, dengan mengajukan pertanyaan: apakah selama ini industri tembakau (rokok) menguntungkan wong cilik? Dalam akhir tulisannya, dia menyimpulkan: alasan bahwa penolakan rancangan peraturan pemerintah tersebut akan merugikan wong cilik, hanya akal bulus para pengusaha rokok agar tidak rugi dalam industri asap maut tersebut.

Penelitian dilawan penelitian pula
Di tengah sikap tegas rezim penguasa,yang melihat bahwa secara ilmiah terbukti rokok hanya membawa bahaya,maka “ketegasan ilmiah” seperti itu mudah berubah menjadi “fanatisme ilmiah”. Terbukti, dalil dan argumen tentang rokok tak berubah: bahaya ya bahaya. Para dokter, dan ahli-ahli dalam bidang lain yang mengkaji perkara ini, tahu bahwa bersikap fanatik terhadap suatu kebenaran bertentangan dengan etika maupun prinsip-prinsip ilmiah, yang selalu membuka peluang bahwa apa yang benar, teruji, dan mapan di suatu waktu boleh jadi bakal goyah oleh temuan baru yang bertentangan dengan kemapanan lama.

Eksperimen Dr Gretha Zahar, ahli fisika, selama lebih dua puluh tahun bahwa rokok memiliki dimensi lain buat penyembuhan berbagai penyakit, dilecehkan oleh para ilmuwan, yang konon hidup demi kebenaran ilmiah. Prof Sutiman Sumitro, ahli biologi dari Universitas Airlangga, yang bertahun- tahun menyelidiki kebenaran temuan Dr Gretha dan mencatat prestasi gemilang hingga namanya melejit ke seluruh dunia berkat temuannya yang spektakuler, diremehkan dengan sikap apriori. Para ilmuwan, yang seharusnya terusik oleh “academic curiosity” yang sehat, segara tergerak untuk membuktikan apakah Prof Sutiman salah atau benar.

Tapi itu takdilakukan dan tanggapan para ilmuwan itu hanya curiga, dan prasangka buruk. Kerja ilmiah harus ditolak, atau diakui kebenarannya, secara ilmiah pula.Penelitian seharusnya dilawan dengan penelitian pula. Para doktor, para ahli kesehatan masyarakat dan ahli disiplin lain, mengapa sudah puas dengan prasangka? Kedua tokoh ini harus dilawan secara ilmiah dengan kerendahan hati para “pencari” sejati. Sebelum temuan- temuan ilmiah ini dibantah secara ilmiah, batil bagi kita untuk membuat klaim lain. Bukakan perspektif publik dengan penelitian ilmiah, yang merupakan bahasa para ilmuwan.

Dengan begitu, wong cilik tak dibunuh dengan “kekuasaan” yang bersifat antidialog. Jangan lupa, sebelum peraturan pemerintah ini berlaku, kebijakan menaikkan cukai secara tak masuk akal telah berhasil membunuh tiga ratusan industri rumah tangga, pemodal kecil, yang memproduksi rokok. Mengapa ilmuwan bicara tentang wong cilik, tanpa memiliki empati pada wong cilik? Bagaimana cara menghayati dirinya sebagai kaum cendekiawan yang memanggul peran profetik dan kaum tertindas? Kini baru muncul jawaban, mengapa mereka membela kebijakan yang jelas mengorbankan warga negara yang seharusnya dilindungi.

Jangan korbankan wong cilik
Sudah disebut di atas, Badrul menyimpulkan penolakan atas rancangan peraturan pemerintah itu hanya akal bulus para pengusaha rokok. Ini kesimpulan berbahaya dan fatal bagi seorang ilmuwan.Dengan begini, Badrul meremehkan kesadaran kritis dan kapasitas para petani tembakau membaca arah kebijakan pemerintah. Para petani tembakau itu mendidih, tapi bersabar dalam penolakan mereka atas rencana peraturan tersebut. Mereka berpolitik secara canggih dan berusaha untuk tampil terhormat. Dan kemampuan mereka belajar dari pengalaman luar biasa mengagumkan.

Mereka sadar karena bagaimanapun yang dihadapi hanya pemerintah kita sendiri. Cara-cara yang dianggap sopan, dan tak memukul jiwa pejabat, diutamakan. Berdialog dengan pemerintah sendiri kurang lebih dianggap sama dengan berdialog dengan sesama anggota masyarakat dan keluarga. Saya peneliti, yang dengan serius dan berhati-hati selama dua tahun terakhir mengikuti gerakan petani tembakau Temanggung melakukan perlawanan secara terhormat. Mereka dipimpin tiga kepala desa yang sangat terpelajar. Para petani pun mulai makin sadar politik. Mereka berorganisasi secara modern.

Selain mendirikan Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), mereka punya APTI lokal, Jawa Tengah, yang berfungsi sebagai roda penggerak kesadaran politik kaum tani, yang disebut wong cilik tadi. Mereka mendirikan Laskar Kretek sebagai benteng pertahanan, sebagaimana sejarah mencatat, generasi pendahulu mereka memiliki “Laskar Bambu Runcing” yang legendaris. Dalam masa dua tahun penelitian itu, saya juga mencatat bahwa para petani tembakau Temanggung meminta beasiswa kepada industri, buat anak-anak yang masih di SLA dan yang memasuki universitas.

Beasiswa itu mereka peroleh tanpa sikap “meminta-minta”, dan tak membuat satu pihak lebih rendah atau lebih tinggi dari yang lain. Kecuali itu, petani meminta agar industri memberi jaminan dan memperjuangkan para petani untuk memperoleh pinjaman bank. Pihak industri pun bersedia. Para petani memerlukan pinjaman sebesar Rp18 miliar. Pihak industri menyatakan, bila pinjaman di bawah ja-minannya tak diberikan maka dia sendirilah—yang sudah menyiapkan Rp20 miliar rupiah— yang akan memberikan pinjaman tersebut. Melihat ada penjamin tepercaya, bank tak merasa keberatan.

Saya melihat sendiri proses peminjaman di bank tersebut. Pada masa lalu, petani sulit memperoleh pinjaman dari industri. Itu pun ada unsur menjerat—yang jelas merugikan mereka. Dewasa ini urusan itu tidak sulit. “Mutual trust” antara kedua belah pihak terjaga baik. Saya bersaksi di sini demi kebenaran ilmiah, sebagai bentuk “jihad fi sabilillah” membela tiga ratusan industri rumah tangga yang sudah dikorbankan oleh para pejabat negara, didukung beberapa kalangan yang merasa bertindak “heroik” dalam penghancuran kehidupan para pengusaha kecil tersebut.

Seorang dokter yang sedang kuliah kembali, dan tidak tahu urusan lapangan, tidak selayaknya mengumumkan sikap dan pendiriannya kepada umum, melalui media besar, yang besar jangkauannya. Hal itu hanya akan berakibat mempermalukan diri sendiri. Apalagi jika di balik tulisan yang diumumkan lewat media besar itu terdapat suatu kepentingan, suatu ideologi, yang berseberangan dengan kepentingan orang-orang yang dikorbankan tersebut. Konspirasi dari kekuatan-kekuatan yang hendak menghancurkan tembakau, keretek, dan para pengusaha kecil di bidang keretek, memang kuat dan luar biasa besar dukungan dananya.

Maka, selanjutnya, konspirasi kekuatan-kekuatan besar itu tak bisa dibiarkan.Mereka harus dilawan, terutama demi untuk menjaga, agar wong cilik tak dikorbankan lagi semaumaunya, demi ego para pejabat dan para ilmuwan yang menutup diri dari kebenaran ini.

Penulis adalah Budayawan, Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan Mantan Kepala LKBN Antara