Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Soal Perpanjangan Masa Jabatan Anggota DPRD

MK Dinilai Langgar Konstitusi, Putusannya Tidak Perlu Dilaksanakan
Oleh : Irawan
Sabtu | 05-07-2025 | 09:28 WIB
AR-BTD-5622-DPR.jpg Honda-Batam
Komisi III DPR mengundang sejumlah praktisi hukum dan politik untuk membahas putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (4/7/2025). (Foto: Istimewa)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Komisi III DPR mengundang sejumlah praktisi hukum dan politik untuk membahas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal. Mereka diundang untuk memberikan pandangannya dalam rapat tersebut kurang lebih selama lebih kurang dua jam.

Praktisi tersebut, adalah Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI, Taufik Basari, mantan Menteri Hukum dan HAM, serta Hakim KOnstitusi Patrialis Akbar, serta mantan Anggota MPR RI dan Anggota KPU RI Valina Singka Subekti.

Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menjelaskan, rapat digelar karena putusan MK tentang pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal telah menimbulkan polemik di masyarakat. Karena itu, Komisi III merasa perlu mendengarkan pandangan para akademisi dan praktisi hukum terkait dengan putusan MK tersebut.

"Menanggapi berbagai polemik atas putusan MK sekaligus menjalankan fungsi pengawasan terhadap mitra kerja kami, maka dalam kesempatan ini Komisi III DPR ingin mendengarkan pandangan dan masukan dari para ahli akademisi dan praktisi hukum," kata Habiburokhman, Jumat (4/7/2025).

Habiburokhman menyatakan rapat digelar tidak untuk menyudutkan MK. Politikus Partai Gerindra ini menyebut, para ahli yang diundang ini bisa memberikan masukan terhadap dinamika yang terjadi tanpa menghasilkan kesimpulan yang mengikat.

"Kita perlu garis bawahi, ini tidak dalam menyudutkan (MK), dan tidak akan ada kesimpulan MK harus gimana-gimana. Sebenarnya kita ini, kan, ingin mendapatkan pengayaan, pengetahuan, dari bapak-ibu yang hadir kali ini," ujarnya.

Namun, Ketua K3 MPR RI Taufik Basari dalam paparannya menegaskan, masa jabatan DPRD tidak bisa diperpanjang selama 2 tahun demi melaksanakan putusan MK terkait pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal.

Menurut Taufik Basari, melaksanakan atau tidak melaksanakan putusan MK akan sama-sama melanggar konstitusi. Sebab, mengacu pada Pasal 22E Ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Namun, jika tidak dilaksanakan, akan melanggar Pasal 18 Ayat 2 dan 3 UUD 1945, yang menyatakan bahwa anggota DPRD harus dipilih lewat pemilu.

"Oleh karena itu, maka ini menjadi problem. Nah, sementara dalam Pasal 18 Ayat 3, anggota DPRD dipilih memang harus lewat pemilu, tidak ada jalan lain," kata Taufik Basari.

Karena hal tersebut, ia menilai putusan MK justru membuat dilema. Terjadi constitutional deadlock karena putusan ini, lantaran mengerjakan maupun sebaliknya tetap akan melanggar konstitusi. Terlebih, putusan MK bersifat final dan mengikat.

"Pada Pasal 24C Ayat 1 bahwa putusan MK bersifat final. Ini yang saya sebut sebagai dilematis constitutional deadlock. Dimakan masuk mulut buaya, tidak dimakan masuk mulut harimau, kan begitu," ucapnya.

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa putusan ini tidak bermasalah bagi pemilihan anggota DPR, DPD, maupun presiden dan wakil presiden. Pasalnya, dalam putusannya, pemilihan untuk anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden dilakukan tepat waktu pada tahun 2019.

"Jadi ini soal anggota DPRD-nya nih. Kalau DPR, DPD, presiden dan wapres tidak ada masalah karena akan dilakukan 5 tahun sekali," jelasnya.

MK Langgar Konstitusi

Sementara itu, mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dengan Pilkada mulai tahun 2029 melanggar konstitusi. Ia mengungkapkan, ada sejumlah pasal dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang dilanggar MK dalam hal ini.

"Dapat disimpulkan, menurut saya, putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 bertentangan dengan konstitusi," kata Patrialis Akbar.

Ia memerinci, salah satu pasal yang dilanggar adalah Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 yang mengatur bahwa Pemilu dilaksanakan lima tahun sekali.

Sedangkan MK dalam amar putusannya menyebut bahwa pemungutan suara dilakukan secara serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden, dan wakil presiden.

Setelahnya, dalam waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden dan wakil presiden, pemungutan suara serentak kembali dilakukan untuk memilih anggota DPRD serta kepala daerah.

Menurutnya, amar putusan itu membuat MK secara tegas membagi Pemilu dua kali dalam lima tahun. "MK berpendapat dalam putusannya memutuskan ada 2 kali Pemilu. (Kalau) kita mengacu pada Pasal 22E ayat 1, Pemilu dilaksanakan secara luber jurdil setiap lima tahun sekali. Jadi konstitusi menyatakan lima tahun sekali," ucap dia.

Sementara itu, mengacu pada Pasal 18 ayat 3 UUD 1945, konstitusi menegaskan bahwa pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

Kemudian, Pasal 18B ayat 4 UUD 1945 mengamanatkan gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis, bukan dalam pemilihan umum.

Sedangkan dalam putusannya, MK menyatukan pemilihan DPRD dan Pilkada di Pemilu kedua. Adapun pemilu pertama hanya untuk anggota DPR, DPD, presiden, dan wakil presiden. "Yang dipilih melalui Pemilu setiap 5 tahun sekali adalah anggota DPR, anggota DPD, presiden, wakil presiden, serta anggota DPRD secara serentak dan tidak dipisah-pisahkan, karena pasal itu berada dalam satu tarikan napas," jelasnya.

Sementara itu, Anggota MPR RI Periode 1999-2004 dari Fraksi Utusan Golongan dan Anggota KPU RI Periode 2004-2007 Valina Singka Subekti menilai, sebenarnya sejauh ini ada 3 putusan MK yang lahir terkait dengan penyelenggaraan pemilu. Dia menilai, bisa saja memilih putusan MK yang tidak melanggar UUD 1945.

"Ada 3 putusan MK yang bisa jadi rujukan untuk memilih salah satu dari 3 itu, yang tentunya itu yang selaras dengan apa yang dikehendaki konstitusi," kata Valina.

Ketiga putusan itu, yakni pertama putusan MK No. 14 Tahun 2013 tentang Pemilu Serentak legislatif dan presiden-wakil presiden serentak. Putusan ini sudah dipraktikkan dalam Pemilu 2019 dan Pemilu 2024.

Kedua, putusan MK No. 55 Tahun 2019 mengenai desain model keserentakan pemilu. Ada 6 opsi dalam putusan. Dalam putusan itu pula, MK menyerahkan pembentuk undang-undang untuk memilih satu dari 6 model yang tersedia.

Terakhir, ketiga putusan MK No. 135 Tahun 2024 tentang Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal. Valina menilai, ini sangat berbeda dengan putusan MK sebelumnya. Di sini MK malah memilih satu dari 6 opsi model pemilu, padahal sebelumnya menyerahkan pada pembuat undang-undang.

Hal serupa juga disampaikan Patrialis Akbar. Patrialis menilai, bisa saja memilih satu dari 3 putusan MK untuk menentukan model Pemilu 2029. Pemerintah dan DPR bisa menggunakan 2 putusan MK yang selama ini sudah berjalan dan sudah menghasilkan produk konstitusional.

"Sebaiknya kita bisa memberikan ukuran kira-kira putusan MK yang bisa kita jalani putusan yang sesuai konstitusi atau tidak," kata mantan Menteri Hukum dan HAM ini.

Bagi dia, DPR dan pemerintah juga diisi orang-orang cerdas dan bisa menimbang dan memilah mana yang bisa jadi rujukan dalam menjalankan undang-undang.

"Karena tidak ada juga kewajiban untuk melaksanakan suatu putusan yang tidak sesuai konstitusi tapi prinsipnya putusan MK itu final," kata dia.

Seperti diketahui, Mahkamah Kontitusi (MK) melalui putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada 26 Juni 2025 menetapkan pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal mulai 2029. Pemilu nasional mencakup pemilihan presiden dan anggota DPR serta DPD, sedangkan pemilu lokal meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota serta pilkada.

Pemilu nasional diminta digelar terlebih dahulu, sedangkan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun dan paling lama 2,5 tahun setelah pelantikan presiden-wakil presiden atau pelantikan anggota DPR dan DPD.

Artinya, pemilu nasional hanya untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden. Sedangkan, pemilihan anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota dilakukan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (pilkada).


Putusan pemisahan pemilu nasional dan lokal itu pun menimbulkan polemik. Kendati putusan MK bersifat final dan mengikat, sejumlah partai politik menyatakan keberatan bahkan tidak mau menerima putusan MK tersebut.

Namun, Wakil Ketua MK, Saldi Isra berkilah, bahwa Mahkamah mempertimbangkan pembentuk undang-undang yang belum melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019.

Selanjutnya, MK melihat DPR maupun pemerintah sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan pemilu. "Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional," ujar Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).

Saldi menjelaskan bahwa MK tidak bisa menentukan secara spesifik waktu pelaksanaan pemilu nasional dengan daerah. Namun, MK mengusulkan pilkada dan pileg DPRD dapat digelar paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR/DPD dan presiden/wakil presiden.

"Menurut Mahkamah, pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya, dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden, dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota," ujar Saldi.

Editor: Surya