Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kejari Batam Soroti Isu SP3 Kasus LC Vietnam, Kasi Pidum: Ironis, Perpanjangan Penahanan Baru Diajukan 12 Juni
Oleh : Paskalis Rianghepat
Senin | 23-06-2025 | 13:08 WIB
AR-BTD-4464-Kejari-Batam.jpeg Honda-Batam
Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejari Batam, Iqram Saputra. (Foto: Paskalis Rianghepat/Batamtoday)

BATAMTODAY.COM, Batam - Kejaksaan Negeri Batam mengaku tidak pernah menerima pemberitahuan resmi dari kepolisian terkait penghentian penyidikan atau SP3 kasus dugaan pengeroyokan oleh dua warga negara Vietnam terhadap seorang disc jockey (DJ) di First Club --salah satu tempat hiburan malam di Batam.

Ironisnya, penyidik baru saja mengajukan perpanjangan masa penahanan untuk kedua tersangka untuk 40 hari ke depannya pada 12 Juni 2025.

Dua perempuan asal Vietnam, Le Thi Huynh Trang dan Nguyen Thi Thu Thao, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penganiayaan terhadap DJ Stevanie di First Club, Lubuk Baja, Kota Batam, awal Juni 2025.

Keduanya pun sempat ditahan setelah ditangkap saat hendak melarikan diri melalui Pelabuhan Harbour Bay. Namun, proses hukum terhadap mereka dikabarkan kandas setelah penyidik menerbitkan SP3, dengan alasan telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban.

Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejari Batam, Iqram Saputra, menyatakan pihaknya belum menerima salinan resmi penghentian perkara tersebut. Ia menyebut hal itu sangat janggal, mengingat penyidik justru baru mengajukan perpanjangan penahanan pada 12 Juni 2025 dan diterbitkan surat perpanjangan (T4) selama 40 hari. Masa penahanan baru akan efektif pada 29 Juni hingga 7 Agustus 2025.

"Kalau benar sudah terbit SP3, itu sangat ironis. Kami belum menerima pemberitahuannya, padahal perpanjangan penahanan baru saja diajukan," ujar Iqram, saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (23/6/2025).

Ia menegaskan jaksa penuntut umum (JPU) memiliki kewajiban menelaah SP3 baik secara formil maupun materil sebelum perkara resmi dihentikan.

"Kalau SP3 keluar saat penahanan berjalan, sepatutnya jaksa penuntut umum menerima pemberitahuan SP3, dan selanjutnya jaksa penununtut umum akan menelaah secara formil dan materil SP3 tersebut. Namun demikian, SP3 sepenuhnya menjadi kewenangan penyidik," tegas Iqram.

Kasus tersebut berawal dari laporan penganiayaan yang dibuat pada Sabtu dini hari, 7 Juni 2025. Dua pelaku dijerat dengan Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan, yang ancaman hukumannya mencapai tujuh tahun penjara. Berdasarkan informasi yang beredar, perkara dihentikan karena adanya kesepakatan damai antara korban dan pelaku.

Namun, sejumlah pihak menilai langkah itu tidak sesuai ketentuan hukum. Pasal 170 KUHP bukan merupakan delik aduan, sehingga proses hukum tetap dapat berjalan meskipun ada perdamaian.

"Pasal 170 itu delik biasa. Polisi tidak bisa menutup kasus hanya karena ada perdamaian," ujar seorang praktisi hukum pidana yang enggan disebut namanya saat ditemui di Pengadilan Negeri Batam.

Ia menambahkan, penerbitan SP3 sah secara hukum, namun harus diawasi secara ketat agar tidak menjadi celah bagi pelaku kekerasan untuk lolos dari jerat hukum. "SP3 tak boleh jadi alat kompromi bagi pelaku yang punya koneksi atau kekuatan finansial," katanya.

Hingga kini, pihak kepolisian belum memberikan pernyataan resmi terkait terbitnya SP3 dalam kasus ini. Sementara itu, publik mulai mempertanyakan transparansi dan integritas proses penegakan hukum.

Pasalnya, selain terdapat visum dan saksi yang menguatkan dugaan penganiayaan, korban mengalami luka pada wajah, leher, dan tangan. Pelaku pun tertangkap dalam kondisi hendak kabur. Namun, perkara justru dihentikan secara diam-diam.

Kasus ini tidak hanya menyoal nasib DJ Stevanie, tetapi juga menyentil kredibilitas institusi hukum. Di tengah lampu remang tempat hiburan malam, kepercayaan masyarakat terhadap keadilan hukum tampak semakin suram.

Editor: Gokli