Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menebak Wajah Baru Mesir
Oleh : Andri Arianto
Rabu | 09-03-2011 | 07:38 WIB
revolusi-mesir3.jpg Honda-Batam

Suasana euforia rakyat Mesir sesaat setelah Hosni Mubarak menyatakan menyerah dan mundur. Revolusi dan penggulingan kekuasaan Diktator bukan lagi menjadi tugas sebuah bangsa tetapi sudah menjadi kerja universal, dan tampak Merah Putih berkibar pada kemenangan Revolusi Mesir pada 11 Februari 2011 yang lalu.

Apapun yang akan terjadi, Mesir nanti sudah pasti berbeda dengan Mesir kini. Sudah pasti, perubahan adalah hal yang dikehendaki di Mesir pada saat ini. Seperti apa kira-kira perubahan yang akan terjadi di Mesir?

Dari berbagai fenomena, saya melihat adanya kesamaan antara gerakan sosial di Mesir saat ini dengan gerakan reformasi di Indonesia pada tahun 1998. Kedua gerakan tersebut memiliki sebab-sebab yang hampir serupa, yakni masalah krisis ekonomi, korupsi, kekerasan politik, dan rendahnya kualitas demokrasi di dalam negeri. Elemen yang mempelopori gerakan di Mesir saat ini sama dengan unsur yang mempelopori kebangkitan gerakan reformasi 1998, yakni para pemuda dan mahasiswa yang bekerjasama dengan unsur lain, khususnya gerakan kaum pekerja.

Tidak hanya itu, Hosni Mobarak yang sudah berkuasa selama kurang lebih 30 tahun sejak 1981, sepintas memiliki garis politik yang sama dengan Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Keduanya sama-sama pro-barat, dalam terbuka pada kepentingan AS, mengedepankan stabilitas politik dan ekonomi di dalam negeri, menguasai militer dan aparat kekerasan negara lainnya.

Untuk melaksanakan politik tersebut, baik Hosni Mobarak maupun Soeharto menerapkan prinsip negara dalam keadaan darurat yang cukup panjang. Jika di Mesir dilakukan secara eksplisit melalui UU Negara Dalam Keadaan Darurat yang efektif diterapkan sejak 1967 sementara di Indonesia, rejim Orde Baru tidak secara eksplisit memberlakukan hal yang sama melalui adanya badan ekstrajudisial, yakni Kopkamtib, yang memiliki keleluasaan politik untuk mengambil tindakan guna mengamankan kekuasaan.

Di Indonesia pada 1998 dan di Mesir 2011 sama-sama tidak ada kekuatan oposisi yang kuat dan efektif. Oposisi di Mesir maupun Indonesia saat itu relatif kecil dan terfragmentasi. Golongan Karya pimpinan Ketua Dewan Pembina, Jenderal Soeharto memainkan peranan mirip Partai Nasional Demokrat yang dipimpin oleh Hosni Mobarak. Hosni Mobarak maupun Soeharto sepertinya kurang percaya pada orang lain meski sekutu dekatnya, mereka berupaya mewariskan kekuasaan pada anak-anaknya. Hosni pada Gamal Mobarak, sementara Soeharto pelan-pelan mempromosikan Tutut untuk mengambil-alih kepemimpinannya.

Baik Soeharto maupun Hosni Mobarak sebenarnya sama-sama tidak memiliki kesulitan untuk menjalin komunikasi politik dengan oposisi. Akan tetapi, pembicaraan politik dengan oposisi belum tentu berdampak efektif terhadap gejolak gerakan massa di jalanan yang dihuni oleh pemuda-pemuda dan mahasiswa-mahasiswa yang marah. Secara riil, baik pemerintah yang berkuasa maupun oposisi sebenarnya menghadapi banyak hambatan untuk berkomunikasi dengan rakyat yang tumpah ruah di jalanan.

Peralihan kekuasaan politik dari Mobarak ke pemerintahan transisi, saya duga, akan mengikuti proses seperti yang terjadi di Indonesia tahun 1998. Estafet kekuasaan akan terjadi secara evolutif dari penguasa sentral ke orang nomor dua yang masih berada di lingkaran penguasa sebelumnya. Dalam arti, kekuasaan akan beralih dari Mobarak ke Omar Suleiman yang saat ini menjabar wakil presiden seperti halnya peralihan dari Soeharto ke BJ. Habibie. Peralihan ini menjadi syarat terjadinya dialog politik sekaligus guna meredam gejolak massa di jalanan sembari mempersiapkan pelaksanaan pemilihan umum.

Militer Mesir diperkirakan akan mengikuti pola yang ditempuh Panglima ABRI saat itu, Jenderal Wiranto yang bersikap netral dan mendukung proses transisi yang damai dengan tetap memberikan penghormatan kepada Hosni Mobarak sebagaimana penghormatan dan perlindungan militer RI terhadap Soeharto.

Dengan tidak adanya kekuatan oposisi yang besar, pemilu yang akan digelar di Mesir, sepertinya akan melahirkan komposisi parlemen dan kabinet yang kurang lebih sama dengan yang terjadi di Indonesia. Tidak ada kekuatan yang bisa menjadi pemenang mutlak dalam pemilu sehingga harus dibentuk kabinet koalisi yang terdiri dari berbagai partai politik. Di dalam negeri, Mesir sudah pasti harus menggelar pemilihan umum untuk menentukan formasi pemerintahan yang baru, baik di parlemen maupun eksekutif. Hosni Mobarak sudah pasti harus turun dan kecil peluang baginya untuk mewariskan kekuasaan kepada anaknya, Gamal Mobarak.

Dalam struktur kekuasaan yang kemungkinan kelak akan terbentuk, kekuatan oposisi yang moderat, khususnya kelompok Mohamed ElBaradei atau Amr Moussa akan tampil mengambil-alih tampuk kekuasaan politik Mesir. Seperti dinyatakan di atas, komposisi kekuatan politik yang baru, besar kemungkinan akan juga mengakomodir kehadiran unsur-unsur Ikhwanul Muslimin dalam parlemen atau eksekutif.

Kehadiran Ikhwanul Muslimin dalam pemerintahan Mesir yang akan datang diperkirakan akan mempengaruhi posisi politik Mesir di regional Timur Tengah dan Afrika Utara. Apakah Mesir akan bertahan pada posisi saat ini atau bergeser mendekati poros Iran yang didukung Hamas dan Hezbollah? Masih belum bisa dilihat pada saat ini. Kemungkinan terjadinya pergeseran politik ke kubu Iran memang kecil, terlebih Ikhwanul Muslimin sendiri telah (sementara ini) menolak ajakan Iran untuk menjadikan Mesir seperti Iran pada tahun 1979.

Secara ideologi memang agak sulit, mengingat Iran menganut ajaran Syiah sementara Ikhwanul Muslimin meskipun menyatakan diri bukan penganut ajaran Suni, juga bukan pengikut ajaran Syiah. Kesamaan pandangan antara Ikhwanul Muslimin dengan Iran terletak pada sikap politik keduanya terhadap hubungan dengan Israel dan Amerika Serikat.

Meski mungkin tidak akan memberikan pengaruh dalam waktu dekat, namun kehadiran Ikhwanul Muslimin dalam struktur pemerintahan Mesir di masa yang akan datang akan memberikan ruang bagi bangkitnya gerakan dakwah dan politik garis keras di Mesir. Pada saat yang sama, tidak ada jaminan eksistensi dan dominasi ajaran Islam moderat dari Universitas Al Azhar bisa bertahan dan dominan menghadapi gempuran dakwah dari ulama-ulama Ikhwanul Muslimin seperti halnya pada masa pemerintahan Mobarak.

Hal yang tidak boleh luput dari perhatian adalah Mesir selama ini menjadi salah-satu rujukan pendidikan Islam yang terkemuka di dunia. Dengan topangan subsidi yang besar dari pemerintahan Mobarak, jutaan pelajar Islam belajar di Mesir dan Universitas Al Azhar memegang peranan dominan dalam menyelenggarakan pendidikan Islam yang modern, toleran terhadap perbedaan, dan moderat terhadap perkembangan. Al Azhar menjadi benteng yang selama ini mencegah berkembangnya paham fundamentalisme di kalangan pelajar Islam.

Dari kampus inilah lahir pemikir-pemikir Islam terkemuka yang memiliki sikap yang lebih terbuka dan sebagian menjadi garda depan menghadapi arus fundamentalisme yang berkembang di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Kini posisi Al Azhar terjepit di tengah gelombang gerakan massa anti-Mobarak yang meluas di berbagai penjuru Mesir. Dan, saya kira disinilah perubahan politik di Mesir akan membawa pengaruh yang tidak kecil terhadap dunia.

Kesimpulan Sementara

Perubahan politik di Mesir adalah sesuatu yang tidak bisa dicegah. Setiap orang, bahkan mungkin Hosni Mobarak, sudah menyadari bahwa era kekuasaannya sudah mendekati ajal. Dialog politik yang terjadi saat ini bukan lagi ditujukan untuk mempertahankan kedudukan Hosni Mobarak dalam pemerintahan melainkan pada upaya untuk mendorong proses transisi politik yang bisa mengakomodasi seluruh kepentingan yang ada di Mesir saat ini.

Sejauh ini, pada aspek politik, hampir semua elemen sepertinya telah mencapai kesepakatan-kesepakatan dasar perihal rencana transisi yang akan ditempuh. Akan tetapi, dari pengamatan pemberitaan di media massa, belum ada suatu resolusi yang pasti untuk menjawab tuntutan-tuntutan ekonomi, seperti program yang disepakati untuk mengendalikan inflasi harga pangan, penciptaan lapangan kerja, dan lain-lain yang sebenarnya menjadi faktor utama keresahan massa di Mesir pada saat ini. Artinya, konsensus politik antara pemerintah dengan oposisi tidak serta-merta menjawab keresahan publik yang paling utama.

Di tengah situasi seperti ini, siapa pun sosok yang akan memerintah di Mesir pasca Mobarak akan dihadapkan pada keharusan untuk juga menjawab keresahan publik pada masalah-masalah mendasar di bidang ekonomi. Pada saat yang sama, sosok tersebut pun dipaksa untuk menjaga stabilitas politik dalam negeri dengan mengelola komunikasi politik dengan beragam kepentingan yang ada di Mesir. Dengan sumberdaya alam yang relatif terbatas dan ketergantungan atas bantuan luar negeri yang nilainya semakin menurun, bukan tidak mungkin gejolak protes di kalangan massa akan terus berlanjut dan menyebabkan tingginya kerentanan politik di negara tersebut.

Belajar dari kasus perubahan politik di berbagai negara, termasuk di Indonesia pasca 1998, dan dengan secara khusus memperhatikan aspek geopolitik Mesir yang berada di lingkaran panas konflik Arab Israel, situasi politik dan ekonomi dalam negeri yang tidak stabil akan memberikan ruang bagi tumbuhnya benih-benih instabilitas politik. Besar kemungkinan, gerakan dakwah dari kaum fundamentalisme Islam akan semakin terbuka sementara benteng dakwah Islam yang moderat, salah-satunya melalui Universitas Al Azhar, akan semakin menyempit.

Zainal Abidin
Koordinator Kompartemen Riset dan Komunikasi
PWI Reformasi Korcab Batam