Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kasus Korupsi PT Masaro dan SKRT Dephut

7 Tahun Untuk Suap dan Mark Up
Oleh : Surya/Tunggul Naibaho
Rabu | 09-03-2011 | 07:25 WIB
putranefo.jpeg Honda-Batam

Direktur Utama PT Masaro Radiokom, Putranefo Alexander Prayugo.

Jakarta, Batamtoday - Direktur PT Masaro Radiokom, Putranefo Alexander Prayugo, dituntut 7 tahun penjara atas tindakanya melakukan suap dan mark up dalam proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan tahun 2006-2007 lalu.

Selain itu, Trio Jaksa yang terdiri dari Mochammad Rum, Riyono dan Siswanto selaku penuntut umum juga menjatuhkan denda Rp250 juta subsider kurungan 3 bulan penjara serta dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp89,32 miliar yang dikompensasikan dengan uang yang disita KPK dari Wandojo sebesar Rp20 juta dan Boen Purnama AS$20 ribu. Jika uang pengganti tidak dibayarkan dalam waktu satu bulan setelah berkekuatan hukum tetap, seluruh harta disita oleh negara.

"Jika harta terdakwa tak mencukupi diganti dengan pidana penjara selama tiga tahun. Karena terbukti melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor," tegas Jaksa Rum, pada persidangan di pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa 8 Maret 2011.


Dalam uraian requisitornya, Jaksa Rum mengatakan,pPada tahun 2006, terdakwa beberapa kali menemui Aryono (Kabag Perlengkapan pada Biro Umum Dephut selaku ketua panitia pengadaan barang/jasa pemerintah pekerjaan perluasan jaringan SKRT lingkup taman nasional dan lingkup Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Dephut tahun 2007) dan Wandojo Siswanto (Kabiro Perencanaan dan Keuangan Dephut) untuk meminta agar program perluasan jaringan SKRT dan revitalisasi jaringan SKRT di Dephut dijadikan prioritas dalam penyusunan revisi III DIPA 69 tahun 2006. Pertemuan tersebut bertujuan agar PT Masaro Radiokom ditunjuk sebagai penyedia barang/jasa.

Kemudian pada tanggal 26 November 2006, Wandojo menerbitkan revisi III DIPA 69 yang di dalamnya mencantumkan program revitalisasi dan perluasan jaringan SKRT. Atas hal ini Wandojo diberi uang Rp20 juta oleh terdakwa sebagai tanda terima kasih. "Bahwa benar terdakwa menemui Aryono dan Wandojo terkait pengadaan agar perusahaannya dimenangkan," katanya.

Tak lama berselang, Dephut mengeluarkan dua Surat Perjanjian Kerja (SPK) dalam hal pekerjaan revitalisasi jaringan SKRT Dephut tahun 2006. Surat pertama bernomor 258/DIPA 69-KPA/XII/06 dengan nilai kontrak sebesar Rp18,84 miliar. Untuk SPK kedua bernomor 259/DIPA 69-KPA/XII/06 dengan nilai kontrak sebesar Rp47,7 miliar. Dalam pengadaan ini, PT Masaro memberikan harga barang sendiri dan disetujui pihak Dephut.

"Terdakwa dalam menyediakan barang-barang pelaksanaan pekerjaan revitalisasi jaringan SKRT dan perluasan jaringan SKRT dengan cara menyediakan barang yang sebenarnya produk lama dan harga yang dicantumkan dalam kontrak merupakan harga yang telah ditinggikan nilainya sehingga dari dua kontrak tersebut negara dirugikan sebesar Rp30 miliar," tutur Rum.

Terkait pengadaan tahun 2007, kata Jaksa Penuntut Riyono, terdakwa menemui Aryono, Wandojo dan Boen M Purnama -Sekjen Dephut- untuk menanyakan kemungkinan perencanaan penganggaran proyek revitalisasi dan perluasan jaringan SKRT lingkup BKSDA pada tahun 2007. Namun karena Rencana Anggaran Biaya (RAB) belum masuk ke dalam revisi DIPA 69 tahun 2007, terdakwa meminta RAB dimasukkan ke dalam usulan untuk dibahas di DPR.

"Bahkan terdakwa menjanjikan bahwa PT Masaro Radiokom akan membantu pengurusannya di DPR," katanya.

Agar usulan revisi II DIPA 69 tahun 2007 mendapat pengesahan dari Komisi IV DPR, lanjut Riyono, terdakwa beberapa kali bertemu dengan Yusuf Erwin Faisal selaku ketua komisi. Bukan hanya terdakwa, Anggoro Widjojo juga berperan aktif dalam mepengaruhi anggota Komisi IV DPR agar pagu anggaran dapat disahkan. Setelah dewan menyetujui pagu anggaran tersebut, terdakwa memerintahkan David Angkawidjaya untuk menyerahkan uang Rp105 juta ke Yusuf dan kemudian dibagi-bagikan kepada anggota Komisi IV DPR.

Selanjutnya pada bulan November 2007 pertemuan antara keduanya terjadi lagi dan terdakwa memberikan uang sebesar Rp20 juta dan Sin$220 ribu kepada Yusuf. Sebagian uang tersebut dibagi-bagikan Yusuf kepada anggota komisi IV DPR. Atas keluarnya pagu anggaran ini terdakwa juga memberikan uang ke Wandojo AS$10 ribu dan Boen Purnama AS$20 ribu.

"Penerimaan uang tersebut Wandojo dan Boen statusnya sebagai kuasa pengguna anggaran yang membuat pagu anggaran yang ditandatangani oleh menteri kehutanan," jelas Riyono.

Kemudian pada tanggal 30 Agustus 2007, Dephut mengeluarkan SPK sebanyak tiga kali. SPK pertama bernomor SPK.03/DIPA-69/II/8/2007 dengan nilai kontrak sebesar Rp75,5 miliar dan SPK kedua bernomor SPK.04/DIPA-69/II/8/2007 dengan nilai kontrak sebesar Rp74,5 miliar. Sedangkan yang ketiga bernomor SPK.05/DIPA-69/II/8/2007 dengan nilai kontrak sebesar Rp27,8 miliar.

Pada bagian lain, Jaksa Siswanto menegaskan, sama halnya dengan tahun 2006, pada pengadaan tahun 2007 PT Masaro juga memberikan harga barang sendiri dan disetujui pihak Dephut. Atas perbuatan ini, negara dirugikan sebesar Rp59,3 miliar. Dari rangkaian perbuatan terdakwa pada tahun 2006 dan tahun 2007 telah memperkaya PT Masaro Radiokom sebesar Rp89,2 miliar miliar.

"Maka itu, unsur memperkaya diri sendiri dan merugikan keuangan negara telah terbukti," katanya.

Penasehat hukum terdakwa, Ficky Fiher Achmad tuntutan jaksa terlalu berat untuk kliennya. Karena terdakwa bukanlah pelaku utama dalam kasus ini.

"Pelaku utama bukan terdakwa, beliau hanya turut serta saja, harusnya ditelusuri sampai akhir," ucap Ficky.

Mengenai materi kasus yang dituduhkan jaksa, ia berjanji akan ungkap semuanya saat pembacaan nota pembelaan (pledoi) minggu depan.