Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ketika Anak Sekolah Jadi Korban Keracunan MBG, Apakah Kompensasi Adalah Jawaban?
Oleh : Redaksi
Kamis | 15-05-2025 | 20:44 WIB

Oleh Achmad Nur Hidayat

APAKAH pantas negara meminta maaf dengan uang ketika anak-anak sekolah keracunan massal akibat program makan bergizi gratis (MBG)? Pertanyaan ini mengusik nurani siapa pun yang percaya bahwa negara seharusnya melindungi, bukan justru membahayakan, rakyatnya terlebih anak-anak.

Pemerintah, melalui Badan Gizi Nasional, merespons kasus keracunan massal ini dengan rencana kompensasi.

Sementara itu, puluhan anak masih terbaring di rumah sakit dan ratusan lainnya mengalami gejala keracunan.

Di balik narasi kompensasi ini, tersembunyi masalah yang jauh lebih dalam: mengapa program sebaik MBG bisa menjadi bumerang yang mencelakakan mereka yang seharusnya dilindungi?

Analoginya sederhana: bayangkan Anda membangun rumah untuk keluarga Anda-dengan niat baik agar mereka hidup nyaman.

Tapi karena terburu-buru dan tak menggunakan bahan bangunan yang aman, atap rumah ambruk menimpa anak-anak Anda.

Apakah cukup meminta maaf dan membayar biaya rumah sakit? Atau justru Anda harus bertanggung jawab penuh, mengevaluasi arsitek, tukang, dan semua proses pembangunan dari awal?

Inilah yang terjadi pada MBG. Sebuah rumah kebijakan yang dibangun dengan niat baik, namun dilaksanakan tanpa pondasi kuat.

Kegagalan ini bukan insiden acak, tetapi konsekuensi dari perencanaan yang buruk, pengawasan yang lemah, dan tata kelola yang tidak berpihak pada rakyat.

Program MBG sendiri adalah cita-cita besar: memberi makan bergizi pada anak-anak sekolah, memperbaiki gizi nasional, dan menjembatani ketimpangan sosial.

Namun, seperti banyak program publik lainnya, ide besar ini kandas di eksekusi.

Keracunan massal yang terjadi di Bogor dan Cianjur membuktikan bahwa negara belum belajar mengelola niat baik menjadi tindakan yang aman dan bertanggung jawab.

Ketika pemerintah hanya menawarkan kompensasi, itu seperti menambal ban bocor dengan plester.

Kompensasi tidak menyelesaikan sumber kebocoran. Ia tidak mengembalikan kepercayaan publik, tidak memperbaiki sistem distribusi makanan, dan tidak memastikan bahwa kejadian serupa tak akan terulang.

Dalam logika kebijakan publik, kompensasi adalah langkah darurat, bukan solusi jangka panjang.

Yang lebih ironis, pengakuan bahwa bantuan juga diberikan secara pribadi oleh pejabat negara, alih-alih melalui mekanisme kelembagaan, justru memperlihatkan kerapuhan sistem negara dalam merespons krisis.

Negara menjadi seperti sopir taksi yang hanya bisa mengandalkan dompet pribadinya saat mobil sewaannya mogok, padahal yang dia angkut adalah masa depan bangsa.

Sebagai ekonom dan pemerhati kebijakan publik, saya melihat ini sebagai gejala dari krisis tata kelola.

Kita terlalu sering terjebak pada obsesi 'program cepat' tanpa membangun ekosistem pendukungnya.

Dalam kasus MBG, pengadaan makanan, distribusi, kontrol kualitas, hingga pengawasan semua harus diikat dalam sistem yang transparan, profesional, dan akuntabel.

Visi kebijakan publik seharusnya selalu memihak pada keselamatan warga, terutama kelompok paling rentan: anak-anak, warga miskin, dan kelompok marginal lainnya.

MBG tidak boleh menjadi arena baru bagi praktik pengadaan yang tidak transparan, apalagi sarat kepentingan politik lokal.

Makanan anak-anak bukan proyek politik. Ia adalah hak dasar warga negara yang harus dijamin mutunya.

Jika pemerintah sungguh ingin memperbaiki keadaan, maka langkah pertama bukan menyusun skema kompensasi, melainkan membangun ulang kepercayaan.

Mulailah dengan membuka data: siapa penyedia makanan?

Bagaimana proses lelangnya? Apakah ada sertifikasi keamanan pangan?

Libatkan masyarakat, guru, dan orang tua dalam pengawasan program ini.

Dalam semangat keadilan sosial dan kemanusiaan, negara tidak boleh bermain-main dengan keselamatan anak-anak.

MBG adalah program penting, tapi ia hanya akan berarti jika dijalankan dengan hati-hati, dengan keberpihakan pada rakyat, bukan pada vendor atau elite lokal.

Negara tak bisa terus-menerus menyelesaikan kegagalannya dengan uang.

Keamanan anak-anak tak bisa dikompensasi. Ia hanya bisa dijamin-melalui sistem yang berpihak, transparan, dan bertanggung jawab.

Jadi, apakah kompensasi adalah jawaban? Tentu tidak. Jawaban sejatinya ada pada reformasi menyeluruh atas cara kita menyusun dan melaksanakan kebijakan publik.

Mari kita bangun rumah kebijakan kita kembali, kali ini dengan pondasi yang benar: keberpihakan, integritas, dan keadilan untuk semua.

Penulis adalah Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta