Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

AS Protes RI Larang Ekspor Bijih Nikel, Bauksit, Tembaga, dan Timah
Oleh : Redaksi
Minggu | 20-04-2025 | 10:32 WIB
pertambangan_nikel.jpg Honda-Batam
Ilustrasi (Foto: Istimewa)

BATAMTODAY.COM, Jakarta-Dalam Laporan Perkiraan Perdagangan Nasional 2025 tentang Hambatan Perdagangan Luar Negeri Amerika Serikat (AS), salah satu masalah yang disoroti adalah pembatasan ekspor yang diterapkan pemerintah Republik Indonesia (RI).

Sebagai bagian dari penerapan Undang-Undang (UU) Pertambangan 2009 sebagaimana diubah oleh UU Pertambangan 2020, Indonesia melarang ekspor bijih tertentu, termasuk nikel, bauksit, tembaga, dan timah.

"Amerika Serikat prihatin dengan dampak tindakan ini terhadap baja, aluminium, dan sektor lain serta kontribusinya terhadap kelebihan kapasitas global," begitu isi dokumen tersebut, dikutip Minggu (20/4/2025).

Pada 11 Desember 2019, AS meminta untuk bergabung dalam konsultasi yang diprakarsai oleh Uni Eropa mengenai konsistensi larangan ekspor dengan kewajiban Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Indonesia dan berpartisipasi dalam proses panel berikutnya sebagai pihak ketiga. Laporan panel dalam sengketa ini diedarkan pada 30 November 2022.

Dalam sidang, panel menemukan larangan ekspor bijih nikel Indonesia tidak konsisten dengan kewajiban WTO-nya. "Indonesia mengajukan pemberitahuan banding pada tanggal 12 Desember 2022," demikian isi dokumen itu.

Di sektor minyak dan gas, beberapa kontrak bagi hasil dan kontrak bagi hasil kotor di Indonesia memuat klausul yang menetapkan bahwa 25 persen dari seluruh produksi harus dijual ke kilang domestik untuk konsumsi domestik.

"Kebijakan tersebut, yang dikenal sebagai Kewajiban Pasar Domestik, juga mengharuskan perusahaan untuk menjual minyak mentah ke kilang domestik dengan harga yang sangat didiskon," kata dokumen tersebut.

Sementara itu, di sektor minyak dan gas, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010, sebagaimana diubah dengan PP Nomor 27 Tahun 2017 dan PP Nomor 93 Tahun 2021, memberikan kewenangan yang signifikan kepada pemerintah RI untuk mengubah ketentuan kontrak bagi hasil. Aspek kontrak yang dapat direvisi pemerintah mencakup kriteria untuk pemulihan biaya dan ketentuan pajak.

"Kemampuan pemerintah untuk mengubah ketentuan tersebut menimbulkan kompleksitas operasional, ketidakpastian, risiko, dan biaya tambahan bagi proyek minyak dan gas. Selain itu, pemerintah juga dapat mengenakan biaya maksimum kepada perusahaan minyak dan gas, seperti gaji dan barang dan jasa, sehingga membatasi fleksibilitas perusahaan dalam perekrutan dan pengadaan," ujar dokumen di halaman 224 tersebut.

Dokumen itu dijadikan pemerintah AS sebagai dasar pengenaan tarif resiprokal oleh Presiden Donald John Trump kepada Indonesia. AS pun menjadikan dokumen itu sebagai bahan negoisasi dengan delegasi Indonesia yang dipimpin Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.

Editor: Surya