Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Berkah Dermawan
Oleh : Redaksi
Jum\'at | 14-02-2025 | 09:04 WIB
14-02_berkah-dermawan-disway_934878.jpg Honda-Batam
Foto ilustrasi

Oleh Dahlan Iskan

BEGITU banyak anak muda Indonesia yang dibiayai pemerintah Amerika Serikat. Tugasnya ringan: melihat Amerika.

Termasuk saya. Tidak ada perjanjian setelah pulang kami harus bersikap pro-Amerika.

Memang banyak yang akhirnya memuji-muji Amerika. Seperti saya. Tapi ada juga yang begitu pulang tetap saja bersikap anti-Amerika. Terutama kalau sudah menyangkut watak Amerika di konflik Palestina.

Kadang saya kagum: kok ada negara membiayai anak-anak muda negara lain berkunjung ke negaranya. Mereka umumnya aktivis muda atau mahasiswa. Tidak hanya dari Indonesia. Dari seluruh dunia. Betapa besar biayanya.

Rupanya Presiden Donald Trump juga mempertanyakan itu: apa untungnya bagi Amerika. Yang untung adalah anak-anak muda itu. Termasuk saya. Wawasan kami tambah luas.

Akhirnya Trump menghapus program seperti itu. Bahkan lebih luas lagi: USAID dibubarkan. Itulah lembaga yang dibuat Amerika untuk membantu negara-negara miskin di banyak bidang. Mulai dari pendidikan, perbaikan kampung sampai lingkungan. Hampir tak terbatas bidangnya.

Saya sangat merasakan pernah mendapat program seperti itu. Bisa keliling Amerika gratis. Umur saya baru 34 atau 35 tahun. Baru dua tahun memimpin Jawa Pos.

Undangan itu luar biasa. Saya boleh mengajukan kunjungan ke mana saja. Minta bertemu siapa saja. Mereka yang akan atur.

Saya pun agak ngawur ketika membuat daftar itu. Aji mumpung. Baru pertama akan ke Amerika. Semua tempat yang terkenal ingin saya kunjungi. Yang di film-film itu. Mulai pantai timur, pantai barat, pedalaman, Disney World, New York, Washington DC, San Francisco, dan banyak lagi.

Tentu juga minta berkunjung ke kantor-kantor koran terkemuka: New York Times, Washington Post, Los Angeles Time, USA Today, CNN ....

Begitu melihat daftar itu, pejabat konsulat Amerika memberi tahu saya: setuju. Tapi waktunya harus satu bulan. Tidak cukup kalau dua minggu.

Ganti saya yang tidak mau. Di Amerika satu bulan terlalu lama. Ingin tapi tidak mau.

Saya lagi asyik-asyiknya membangun Jawa Pos. Saya tidak berani meninggalkan ''bayi'' saya lama-lama. Akhirnya terjadi kompromi: saya harus mengurangi daftar itu.

Tentu saya tahu Amerika itu negara besar. Saya dengar begitu. Tapi saya kan belum pernah melihat sendiri. Begitu sampai di Amerika saya tertegun: negara ini memang negara besar sekali. Makanya perlu satu bulan untuk menjangkau daftar yang saya inginkan.

Salah satu yang membuat saya heran: kok jarang ada mobil yang pintunya empat. Hampir semua mobil pintunya dua. Pun mobil-mobil sedan yang besar. Dan memang mobil-mobil di jalanan didominasi yang ukurannya besar-besar. Jarang ada mobil kecil. Memang masih sulit melihat mobil buatan Jepang --pelopor mobil kecil. Yang banyak mobil Amerika sendiri. Atau mobil Eropa.

Itulah masa-masa kejayaan Amerika. Rasanya Trump punya kenangan tersendiri atas masa-masa jaya itu. Kulit putih masih dominan di mana-mana. Bisnis minyak adalah sumber terbentuknya orang kaya dalam jumlah besar.

Rasanya Trump memimpikan masa-masa itu bisa kembali. Makanya ia tidak setuju ada mobil listrik. Mobil buatan Amerika harus kembali jadi raja.

Saya masih sulit menebak: keinginan kembali ke era minyak bumi itu apa? Apakah bisa disebut pemikiran futuristik Trump atau hanya romantisme masa lalu Trump?

Padahal zaman sudah berubah. Kini mobil kecil sudah merajai jalan-jalan raya Amerika. Mobil Amerika sendiri sudah banyak yang meniru ukuran mobil Jepang.

Mobil empat pintu kini sudah sangat dominan. Bahkan sulit menemukan mobil dua pintu di jalan-jalan raya.

Saya sendiri pulang dari Amerika membawa begitu banyak ide. Tapi itu untuk kepentingan saya dan Jawa Pos. Bukan kepentingan Amerika.

Berdirinya koran-koran daerah yang begitu banyak di tangan saya adalah ide dari Amerika. Jiplak. Di sana setiap kota punya koran sendiri. Di Indonesia, saat itu, koran pusat yang dominan.

Kini Anda tidak akan bisa lagi mendapat program kedermawanan Amerika seperti itu. Trump sudah mengakhirinya.

Tentu saya tahu: Amerika ingin ekspor sistem demokrasi. Mereka berharap anak-anak muda yang pulang dari Amerika menjadi pejuang demokrasi.

Setidaknya Amerika, lewat program itu, bisa membendung meluasnya komunisme. Trump tidak peduli lagi dengan dua tujuan bantuan tersebut.

Tentu pengaruh Amerika di seluruh dunia akan berkurang. Itu akan mempercepat kian meluasnya peran Tiongkok. Di Afrika itu sudah terjadi. Trump tidak peduli.

Trump hanya peduli pada Amerikanya sendiri. Begitulah seharusnya pemimpin-pemimpin negara. Peduli pada negaranya masing-masing. Secara total. *

Penulis adalah wartawan senior Indonesia