Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kembalikan Pajak Ekspor CPO pada Petani
Oleh : sp/dd
Selasa | 06-11-2012 | 08:42 WIB
demo-kembalikan-pajak-1.jpg Honda-Batam
Aksi damai SPKS di Kementerian Keuangan

JAKARTA, batamtoday - Petani kelapa yang bernaung di bawah Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mendesak pemerintah, dalam ini Kementerian Keuangan, agar mengembalikan pajak ekspor CPO (Crude Palm Oil) kepada petani.


Desakan itu disampaikan melalui aksi damai sekitar 20-an petani kelapa sawait dari Riau, Kalimantan Barat, Jambi, dan Sumatera Utara di Kementerian Keuangan sekitar pukul 13.00 WIB, Senin (5/11/2012) siang.

Selama ini pemerintah menarik pajak ekspor CPO setiap bulannya tanpa ada transparansi, sehingga SPKS mendesak mengembalikannya kepada petani yang saat ini dalam kondisi terpuruk. Dan jika tidak, SPKS meminta pemerintah menghapuskan pajak ekspor CPO.

SPKS juga mendesak mendesak pemerintah untuk segera menetapkan standar harga CPO, karena selama ini standar pembelian kelapa sawit milik petani berdasarkan harga CPO di Rotterdam dan Singapura.

"Indonesia harus memiliki posisi tawar karena Indonesia adalah penghasil kelapa sawit terbesar di dunia," sebut Mansuetus Darto, Koordinator SPKS, dalam siaran persnya.

Ia juga memaparkan, perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu komoditi primadona di Indonesia yang merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar nomor satu di dunia saat ini. Seluas 11, 2 juta ha perkebunan kelapa sawit Indonesia dengan menghasilkan CPO (Crude Palm Oil) sebesar 24 juta ton.

"Sekitar 70 % dari produksi CPO tersebut adalah untuk diekspor dan 42 % diantaranya dihasilkan petani kelapa sawit. Pemerintah mendapatkan keuntungan dari bisnis kelapa sawit ini dengan mengutip pajak ekspor CPO," terangnya.

Petani kelapa sawit memiliki produktifitas yang sangat rendah dengan 14 ton/ha/tahun. Hal itu disebabkan infrastruktur pengangkutan dan juga kapasitas pengelolaan kebun yang kurang mendukung meningkatkan produktifitas.

Saat ini juga petani sedang menghadapi peremajaan tanaman dan kesulitan mendapatkan pupuk. Belum lagi petani mandiri yang selalu menjual ke tengkulak dengan harga sawit di bawah ketentuan tim penentuan harga sawit di tingkat provinsi.

SPKS menilai, jika petani kelapa sawit didukung sistem pendanaan dari pemerintah yang lebih baik maka produktifitas bisa mencapai 36 ton/ha/tahun.
 
"Kondisi petani kelapa sawit saat ini justru tidak dihiraukan pemerintah, terutama Kementrian Keuangan. Pengelolaan pajak yang selama ini diketahui publik lebih banyak digelapkan atau dikorupsi membuat petani tidak percaya kepada Kementrian Keuangan untuk mengelola pajak," ungkap Darto. 

Sejak tahun 1980-an di mana petani memulai mengelola kelapa sawit tidak pernah mendapatkan hasil pajak ekspor tersebut atau sekitar 384 bulan Kementrian Keuangan mengutip pajak ekspor CPO tidak memberikan hasil apapun bagi peningkatan kualitas dan tatakelola perkebunan sawit di Indonesia yang lebih baik.  
 
"Pengalaman kita pada saat krisis tahun 2008, dimana harga kelapa sawit anjlok dengan menembus harga Rp80, pemerintah tidak pernah mensubsidi petani kelapa sawit. Dan justru yang dilakukan mensubsidi perkebunan besar. Saat ini pun, harga kelapa sawit sedang mengalami penurunan namun Kementrian Keuangan masih saja menarik pajak," tutur Koordinator SPKS ini.