Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Dewan Langitan
Oleh : Redaksi
Senin | 10-02-2025 | 08:24 WIB
10-02_dewan-langitan-disway_0234923823.jpg Honda-Batam
Ilustrasi catatan Dahlan Iskan tentang ketua Dewan Pers. (Foto: Disway.id)

Oleh Dahlan Iskan

SAYA bersyukur atas informasi ini: ada organisasi media yang mencalonkan Prof Dr Komarudin Hidayat untuk menjadi anggota Dewan Pers --yang lantas bisa dipilih sebagai ketuanya.

Saya pun menyesal sempat membuat pernyataan bersedia dicalonkan. Sudah mepet. Batas waktu pencalonan kian dekat: ditutup tanggal 11 Februari hari ini. Belum ada tokoh 'kelas langitan' yang dimajukan. Padahal, selama ini, hanya tokoh 'kelas langitan' yang sebaiknya jadi ketua Dewan Pers.

Di pernyataan kesediaan saya itu saya beri catatan tulisan tangan: 'sepanjang tidak ada calon lain yang lebih baik dari saya'. Ternyata ada --meski baru kabar selentingan. Kita lihat pengumuman panitia seleksi besok: apakah Prof Komarudin benar-benar masuk daftar calon.

Sejak tidak ada kementerian penerangan --sebagai salah satu hasil reformasi 1998-- Dewan Pers-lah yang harus menjaga keberlangsungan hidup pers yang sehat.

Anda sudah tahu: sejak reformasi kebebasan pers terjamin sekali. Bahkan banyak yang menilai terlalu bebas. Pers yang selama 35 tahun dikekang menjadi seperti kuda yang dilepas ke alam bebas. Sudah begitu lama terkekang. Sekali bebas, bebas sekali --untuk meminjam tagline RRI --sekali di udara tetap di udara.

Jaminan kebebasan itu diatur di dalam UU Pers yang dilahirkan di puncak euforia reformasi. Di situlah Dewan Pers diatur. Tapi para penyusun UU Pers rupanya terlalu bersemangat. Sampai lupa memasukkan 'pasal peralihan' yang begitu penting. Yakni pasal yang seharusnya mengatur 'bagaimana cara pembentukan Dewan Pers kali pertama'.

Begitu UU Pers disahkan, Dewan Pers harus dibentuk. Bingung: siapa yang harus membentuk dan bagaimana caranya.

Akhirnya seluruh organisasi pers berkumpul di Bandung. Seingat saya lebih 20 organisasi pers. Ada yang besar, ada yang kecil. Ada yang sudah lama, ada yang baru dibentuk. PWI bukan lagi satu-satunya organisasi wartawan. Sudah ada Aliansi Jurnalis Independen (AJI) --yang punya semangat anti kemapanan. Ada pula PWI-Reformasi --yang ini umurnya tidak panjang. Saking banyaknya saya sudah lupa nama-namanya. Banyak juga yang sekarang sudah meninggal dunia.

Jalannya rapat pun meriah --cenderung kacau. Semua organisasi pers merasa sejajar. PWI tidak diistimewakan lagi. PWI dianggap bagian dari Orde Baru.

Yang lebih sulit lagi saat pemilihan siapa yang akan jadi ketua Dewan Pers. Calonnya terlalu banyak. Masing-masing organisasi mengajukan calon ketuanya sendiri. Semua merasa berhak. Merasa mampu.

Saya tidak mau mencalonkan diri, meski beberapa orang minta saya maju. Saat itulah saya berbicara di forum: mengapa saya tidak mencalonkan diri.

"Calon ketua Dewan Pers haruslah seorang tokoh yang sudah di kelas Langitan," kata saya.

Waktu itu istilah 'Langitan' lagi top berkat Gus Dur: ada istilah baru 'Kiai Langitan'. Itu untuk membedakan kelas-kelas dalam kekiaian.

Ada kiai yang pesantrennya besar, ternama, tapi kualitas kiainya belum Langitan. Ada lagi kiai terkenal tapi tidak langitan karena terlalu berpolitik.

Maka ketua Dewan Pers haruslah seorang intelektual terkemuka. Bukan sekadar bergelar doktor atau master. Sang calon juga punya komitmen terhadap kebebasan pers. Ia/dia harus pendukung demokrasi. Bijak. Independen. Berwibawa di depan masyarakat pers. Juga punya latar belakang sebagai orang pergerakan.

"Saya tidak mencalonkan karena merasa belum di kelas itu," kata saya waktu itu.

Keriuhan ruang rapat pun reda. Tidak ada lagi yang rebutan jabatan itu. Bahkan tidak ada yang mau lagi mencalonkan diri.

Akhirnya rapat memutuskan: memilih Atmakusumah Astraatmadja sebagai ketua Dewan Pers pertama. Ia senior. Mantan pemred Harian Indonesia Raya-nya Mochtar Lubis.

Atmakusumah memenuhi semua syarat di atas. Ia bisa disebut tokoh kelas Langitan.

Di periode setelah Atmakusumah, berturut-turut selalu tokoh Langitan yang terpilih: mantan Ketua Mahkamah Agung yang sangat harum namanya, Prof Dr Bagir Manan. Lalu mantan rektor UGM yang terkenal reputasi baiknya: Prof Dr Ichlasul Amal. Setelah itu Prof Dr Mohamamd Nuh DEA. Terakhir, Prof Dr Azyumardi Azra.

Selain itu saya tidak tahu lagi siapa yang jadi ketua Dewan Pers berikutnya.

Di masa Orde Baru, ketua Dewan Pers selalu menteri penerangan. Ketua terlama adalah Harmoko: 1983 sampai 1997 --hampir 15 tahun.

Prof Dr Komarudin Hidayat bisa jadi Langitan berikutnya. Memang Komarudin, mantan Rektor UIN Jakarta dan kini menjadi rektor UIII, adalah seorang kiai yang gila golf. Tapi tingkat permainan golf-nya pun sudah Langitan.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia