Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menagih Janji Kepala Daerah
Oleh : opn/dd
Sabtu | 03-11-2012 | 17:14 WIB

Oleh: Aripianto

UNTUK DAPAT mewujudkan masyarakat Riau yang mempunyai kemampuan ekonomi yang tinggi baik secara lokal, nasional dan regional serta dilandasi dengan nilai-nilai hakiki kebudayaan Melayu yang beradab, bermoral dan tangguh menghadapi era globalisasi dan modernisasi yang pada akhirnya menjadikan masyarakat Riau maju dan mandiri, sejahtera lahir dan bathin dan beradat istiadat Melayu yang agamis.

Dalam filosofi pembangunan daerah Provinsi Riau mengacu pada nilai-nilai luhur kebudayaan Melayu sebagai kawasan lintas budaya yang telah menjadi jati diri masyarakatnya, sebagaimana terungkap dari ucapan Laksamana Hang Tuah, "Tuah Sakti Hamba Negeri, Esa Hilang Dua Terbilang, Patah Tumbuh Hilang Berganti, Takkan Melayu Hilang di Bumi".

Posisi strategis Provinsi Riau ditinjau secara geografis, geoekonomi dan geopolitik menjadikan kawasan Riau sebagai kawasan yang dapat berperan penting dimasa yang akan datang, terutama terletak di jalur perdagangan dan ekonomi internasional.

Anggaran APBD Riau ke mana?

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau tahun 2010 senilai 4,1 triliun rupiah akhirnya disetujui oleh DPRD Riau. Persetujuan tersebut dikeluarkan melalui rapat paripurna DPRD Provinsi Riau, Senin (14/12/09) lalu, sedangkan pada tahun 2011 DPRD Riau secara mufakat dalam menyetujui pengesahan APBD Riau 2011 sebesar Rp 4.499 triliun. Dan pada tahun ini, DPRD Riau mengesahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2012 sebesar Rp6,367 triliun.

Naman, dengan APBD yang besar itu belum mampu dimanfaatkan oleh pemerintah untuk kemakmuran masyarakat Riau, apalagi mensejahterahkan. Ini terlihat masih banyak di daerah-daerah di Riau yang saat ini kurang diperhatikan.

Kegagalan kepala daerah

Janji kampanye disampaikan dalam penyampaian visi-misi di paripurna DPRD kemudian dijadikan Rancangan Kerja Jangka Menengah (RPJM) bagi pemenang Pemilukada. RPJM Riau 2009-2013 merupakan cetak biru pembangunan Riau selama kurun 5 tahun ke depan, yang diambil dari janji kampanyenya Gubernur Rusli Zainal bersama Wagubri Raja Mambang Mit.

Hanya saja, RPJM Riau 2009-2013 sudah tidak murni lagi karena pada 2011 lalu sudah diajukan revisi yang disetujui DPRD Riau. Saat ini Pemprov Riau juga kembali mengajukan revisi RPJM dan masih dalam proses di dewan. Ada garis merah yang menunjukkan kegagalan Gubri M Rusli Zainal merealisasikan janji kampanye, untuk target pengurangan angka kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan pengurangan angka pengangguran terbuka.

Berdasarkan RPJM asli, untuk target pertumbuhan ekonomi Riau tanpa Migas yang ditargetkan Gubri adalah 7,95 persen (2009), 8,25 persen (2010), 8,55 persen (2011, 8,90 persen (2012) dan 9,26 persen (2013). Kemudian pada RPJM revisi indikator pertumbuhannya diturunkan menajdi hanya 6,52 persen (2009), 6,71 persen (2010), 6,84 persen (2011), 6,96 persen (2012) dan 7,01 persen (2013).

Meskipun sudah direvisi, namun dalam realisasinya ternyata Gubri tetap saja gagal mencapai target yang sudah diturunkan. Berdasarkan Laporan Pertanggung-jawaban (LKPj) kepala daerah tahunan, terbukti kegagalan tersebut, karena pada 2009 lalu di LKPj Gubri hanya mampu mencapai pertumbuhan ekonomi 6,44 persen, kemudian pada 2010 berhasil melewati target, yakni pertumbuhan ekonomi Riau tanpa Migas 7,16 persen. Pada 2011 kembali berhasil dengan 7,63 persen.

Kegagalan paling lengkap terjadi pada target penurunan angka kemiskinan. Pada RPJM sebelum revisi, dipatok target 9,68 persen (2009), 9,19 persen (2010), 8,58 persen (2011), 8,02 persen (2012) dan 7,49 persen (2013). Indikator tersebut lantas direvisi menjadi 9,50 persen (2009), 8,50 persen (2010), 8,00 persen (2011), 7,50 persen (2012) dan 7,00 persen (2013). Meskipun sudah direvisi, terbukti Gubri gagal mencapai target teresebut.

Berdasarkan LPPj 2009, hanya terjadi penurunan angka kemiskinan 9,48 persen. Sedangkan untuk 2010 dan 2011 target yang sudah direvisi berhasil dicapai. Demikian juga denga janji pengurangan angka pengangguran terbuka, Gubri terpaksa menurunkan indikatornya dengan cara merevisi RPJM. Pada 2009 dipatok 8,69 persen direvisi menjadi 8,18 persen. Pada 2010, dari 7,70 persen dinaikan menjadi 8,16 persen dan pada 2011 dari 7,03 persen dinaikan menjadi 8,14 persen. Namun berdasarkan LPPj hanya mampu menekan angka pengangguran 5,32 persen.

Otonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat

Otonomi daerah yang merupakan  hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari pengertian tersebut di atas maka akan tampak bahwa daerah diberi hak otonom oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan mengurus kepentingan sendiri.

Implementasi otonomi daerah telah memasuki era baru setelah pemerintah dan DPR sepakat untuk mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua UU otonomi daerah ini merupakan revisi terhadap UU Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun 1999 sehingga kedua UU tersebut kini tidak berlaku lagi.

Sejak diberlakukannya otonomi daerah, sebagian pemerintah daerah bisa melaksanakan amanat konstitusi meningkatkan taraf hidup rakyat, menyejahterakan rakyat, dan mencerdaskan rakyat. Berdasarkan data yang ada 20 % pemerintah daerah mampu menyelenggarakan otonomi daerah dan berbuah kesejahteraan rakyat di daerah. Namun masih 80 % pemerintah daerah dinilai belum berhasil menjalankan visi, misi dan program desentralisasi.

Penyelenggaraan otonomi daerah yang sehat dapat di wujudkan pertama-tama dan terutama di tentukan oleh kapasitas yang di miliki manusia sebagai pelaksananya. Penyeenggaraan otonomi daerah hanya dapat berjalan dengan sebaik-baiknya apabil manusia pelaksananya, baik dalam arti mentalitas maupun kapasitasnya. Pentingnya posisi manusia pelakana ini karena manusia merupakan unsur dinamis dalam organisasi yang bertindak/berfungsi sebagai subjek penggerak roda organisasi pemerintahan.

Oleh sebap itu kualitas mentalitas dan kapasitas manusia yang kurang memadai dengan sendirinya melahirkan impikasi yang kurang menguntungkan bagi penyelenggaraan otonomi daerah. Untuk menafsirkan konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang bersumber dari UUD 1945 secara tepat, sangat penting bila kita memahami berbagai pemikiran para pendiri bangsa yang merumuskan konsep tersebut.

Menurut Mohammad Hatta, "Adalah hak rakyat untuk menentukan nasibnya, yang tidak hanya ada pada pucuk pimpinan negeri, melainkan juga pada setiap tempat di kota, di desa, dan di daerah." (Kompilasi UU Otonomi Daerah, 2004). Artinya, otonomi daerah sangat penting dalam menentukan kemajuan rakyat, bukan semata dari petinggi pemerintah pusat.

Demikian pula pemikiran Soepomo dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945: "Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan". Ini artinya, kehadiran DPRD dalam sistem pemerintahan daerah kita merupakan wujud dari politik desentralisasi, bukan hanya semata-mata administratif desentralisasi yang lebih menekankan pada pendelegasian kewenangan.

Penulis adalah Wakabid Litbang dan Infokom DPC GMNI Pekanbaru dan Mahasiswa PKn FKIP Universitas Riau.