Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Bincang Terorisme-Radikalisme BATAMTODAY.COM dengan Taufik Andrie --Bagian 2

Pembubaran Jamaah Islamiyah Strategi, Kamuflase atau Murni?
Oleh : Saibansah
Kamis | 02-01-2025 | 15:04 WIB
BTD-TAUFIK-ANDRIE.jpg Honda-Batam
Wawancara eksklusif Pemimpin Redaksi BATAMTODAY.COM Saibansah Dardani dengan Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian Jakarta Taufik Andrie di Sarinah Jakarta Pusat. (Foto: J5NEWSROOM.COM)

BADAN Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama Detasemen Khusus 88 Anti Teror (Densus 88 AT) Polri melaksanakan deklarasi pembubaran secara resmi Jamaah Islamiyah (JI) dan ikrar setia para mantan anggota JI kepada NKRI di Convention Hall Terminal Tirtonadi, Solo, Jawa Tengah, Sabtu 21 Desember 2024.

Pada kesempatan itu, Kepala BNPT Komjen Pol Eddy Hartono, S.I.K., M.H. menegaskan pentingnya pendampingan yang berkelanjutan bagi para mantan anggota Jamaah Islamiyah.

"Kami akan memberikan suatu arahan pelatihan, pendampingan terhadap kegiatan seperti wawasan kebangsaan, kemudian kewirausahaan dan hal-hal yang lain. Sehingga teman-teman dari eks Jamaah Islamiyah ini bisa hidup rukun, harmoni di tengah-tengah masyarakat yang majemuk," ungkapnya.

Eddy Hartono menambahkan, momentum ini merupakan tonggak penting menuju Indonesia Emas 2045 sekaligus menjadi akhir dari rangkaian 45 kegiatan serupa yang telah dilaksanakan di berbagai wilayah Indonesia. Ke depan ini menuju Indonesia Emas, Indonesia yang lebih baik. Ini rangkaian sudah 45 kegiatan di seluruh Indonesia dan memang kebetulan ada di Solo. Sehingga ini menjadi momen yang bersejarah buat kita.

Membincangkan pembubaran JI tersebut, Pemimpin Redaksi BATAMTODAY.COM, Saibansah Dardani mewawancarai Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian Jakarta Taufik Andrie di Sarinah Jakarta Pusat, Minggu 15 Desember 2024 lalu.

BATAMTODAY.COM beruntung bisa mewawancari pria berkacamata yang telah menulis beberapa buku panduan penanganan terorisme tersebut. Di antaranya:

1. Pedoman Penanganan Narapidana Teroris Perempuan, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Yayasan Prasasti Perdamaian, 2024.

2. Pedoman Penanganan Narapidana Teroris Anak, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Yayasan Prasasti Perdamaian, 2024.

3. Pedoman Pembimbingan Lanjut untuk Klien Pembimbingan Kasus Terorisme, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Yayasan Prasasti Perdamaian, 2022.

4. Pedoman Pembimbingan Klien Pemasyarakatan Kasus Terorisme (Guidelines on Handling Former Terrorist Inmates) (2015) - Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia - Yayasan Prasasti Perdamaian, Jakarta.

Selain itu, Taufik juga sebagai Prosedur Tetap Narapidana Resiko Tinggi (Standard Operating Procedures for High Risk Prisoners) (2011) -Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia --Search for Common Ground Indonesia (SFCGI).

Berikut ini petikan wawancara Pemimpin Redaksi BATAMTODAY.COM, Saibansah Dardani dengan Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian Jakarta Taufik Andrie tersebut:

Pembubaran diri JI dan pernyataan setia mereka kepada NKRI, apakah itu murni atau strategi?

Harus kita pahami dua-dua nya. Karena sebetulnya, kalau kita membaca dinamika pembubaran organisasi atau potensi perubahan organisasi ke depan, baru bisa dibaca dalam 5 atau 10 tahun ke depan. Kalau membentuknya lama, pasti membubarkannya juga lama. Yang sekarang bubar, bisa kita pahami JI sudah bubar. Kalau pendiri, senior leader, pimpinan wilayah sudah menyatakan bubar, itu valid. Tapi, what next? Ini yang perlu dicermati.

Kalau kita lihat jenis kelamin organisasi seperti JI, itu sayapnya kan banyak. Ada education, dakwah, asykari (sayap militer), economic super system. Nah, yang dibubarin itu sayap asykarinya. Mereka bahkan berharap ada revitalisasi pada sayap lembaga pendidikan dan dakwahnya. Sehingga dapat support dari pemerintah agar lembaga mereka menjadi lebih terbuka.

Apakah pemerintah perlu mensupport sayap dakwah dan pendidikan JI itu?

Ini yang kompleks. Karena pendidikan dan dakwah itu kan in-line dengan ideologi, termasuk dengan asykari. Karena itulah mereka harus terus dipantau. Apalagi, yang terkait dengan asykari, itu perlu program deradikalisasi, tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Apakah sudah dilakukan?

Saya kira sudah on progres. Karena hari-hari ini, sedang banyak program sosialisasi di seluruh Indonesia. Teman-teman Densus 88 banyak mendatangi berbagai wilayah untuk menyampaikan informasi mengenai pembubaran JI. Termasuk membawa tokoh atau anggota JI untuk memberikan testimoninya, bertemu face to face, untuk memberikan clearance. Mungkin setelah sosialisasi, masuk ke program deradikalisasi.

Narapidana teroris yang masih menjalani hukuman di penjara, ketika memutuskan untuk ikut program deradikalisasi dan mau bicara panjang-lebar dengan sipir penjara, itu dianggap sudah kafir, benarkah?

Saya kira benar. Karena memang takfiri (sikap mengkafir-kafirkan orang lain-red) itu alat ukur yang paling cepat untuk mengetahui seseorang itu sudah berubah atau belum. Tapi kalau dia didekati sejak awal di proses penyidikan sampai dengan persidangan, lalu sikapnya begitu terus, tidak berubah, biasanya tidak akan diberikan program deradikalisasi. Karena biasanya sikapnya itu konsisten tidak akan melunak.

Tapi kalau mereka bersedia berbicara dengan sipir penjara, dengan Densus 88, dengan BNPT dan dengan teman-teman NGO, itu potensi dan tanda mereka mulai membuka diri. Kalau sikap takfiri-nya sudah luntur atau menurun, itu kesempatan emas. Itulah barrier yang paling kuat. Karena itu alat ukur yang efektif. Kalau mereka sepanjang waktu bersikap takfiri terus, malah memudahkan untuk memisahkan mereka dengan kelompok lain yang sudah oranye atau hijau. Mekanisme monitoring untuk mereka yang sikap takfirinya masih kuat tentu berbeda.

Pola pendekatan aparat terhadap para istri tahanan teroris saat membesuk mereka dengan pemeriksaan berlebih, itu dijadikan sebagai alasan mereka untuk bersikap siap mati demi membela harga diri istri, apakah cara-cara seperti itu masih terjadi?

BACA JUGA: Pemantauan Napiter Katagori Merah, Oranye dan Hijau di Indonesia

Cara-cara seperti itu dilakukan dulu, terutama saat penanganan teroris jaringan JI. Itu di awal-awal, tentu saja represif, tapi 10 tahun terakhir sudah jarang. Ketika dirasa berhasil dilakukan pada seluruh cluster, termasuk klaster kelompok JAD (Jamaah Ansharut Daulah). Tapi pada praktiknya JAD pun beberapa ketika dilakukan soft approach berhasil. Jadi, intinya, human approach lebih unggul dibanding dengan represif approach. Tapi, sejak kapan mereka menyadari itu, saya tidak mencatat, mungkin 10 tahun terakhir ini.

Dari berbagai kluster kelompok radikal di Indonesia, mana yang sikapnya paling keras?

JAD, sikap mereka keras. Kalau JI mereka cenderung taktis, mereka punya thinker yang bisa mengarahkan pergerakan mereka di lapangan dan sikapnya cenderung kooperatif. Meskipun tidak semua kooperatif dan bersedia untuk bekerjasama dengan pemerintah, tapi mereka tahu cara kerjanya untuk bisa komunikatif dengan petugas. JI sudah terlatih sejak 24 tahun lalu. Jadi, ketika terjadi penangkapan baik itu level pimpinan maupun sampai anggota, mereka itu mengerti bagaimana cara kerjanya. Dan bagaimana cara menjalani masa tahanan di penjara.

Apakah itu ada pelatihannya?

Mungkin ada juga protokolnya juga.

Apakah karena mereka punya protokol, sehingga sikap lunak mereka ke petugas lapas hanya sebagai kamuflase?

Bisa jadi.

Apakah faktor insentif berperan besar dalam mengubah paham ideologi mereka?

Perlu dipahami, itu lebih kepada metode. pendekatan ekonomi itu salah satu alat. Sebenarnya, perubahan ideologi itu lebih disebabkan faktor dialog. Evaluasi atau refleksi diri mereka itulah yang menyelamatkan mereka sendiri. Kemudian mereka mengambil keputusan untuk berubah dan mengikuti program deradikalisasi.

Contohnya ustadz Ali Imron, dia itu tidak perlu dideradikalisasi. Itu murni karena refleksi dirinya sendiri. Dia menemukan langkahnya yang salah dalam berjihad. awal-awal penangkapan. 24 tahun yang lalu ustadz Ali Imron sudah memutuskan untuk hijau. Kalau hijaunya itu genuin, biasanya tidak memerlukan alat bantu seperti insentif keuangan. Perubahan behaviornya lebih positif. Saya kira Indonesia bisa dipuji dalam bidang deradikalisasi ini.

Ada yang meragukan keberhasilan program deradikalisasi, karena mereka kembali lagi melakukan aksi teror. Kelompok radikal ini kan bisa hidup jika ada komunitas pendukung, misalnya komunitas yang kerap mengkafir-kafirkan kelompok lain. Apakah mereka juga ini dipantau Densus 88?

Saya kira yang masih menjadi tantangan pemerintah untuk konteks pengukuran terhadap berhasil tidaknya program deradikalisasi adalah konsistensi perubahan mereka itu sampai sejauh mana. Biasanya diukur dari perubahan behavior dan perilaku, itu bagus. Tidak lagi memaki-maki petugas, tidak mengkafirkan negara, tidak berantem dengan petugas atau narapidana lain, itu banyak. Pelan-pelan sudah meninggalkan cara-cara kekerasan.

Tapi untuk perubahan kognitif, perubahan pemikiran itu yang susah mengukurnya, dan untuk berapa lama. Kalau diukur selama di Lapas saja itu belum menjamin. Kenapa, karena mereka masih harus diukur lagi ketika mereka menjalani kehidupan di tengah masyarakat. Apalagi, kalau ternyata di luar penjara dia ketemu 'air' atau habitatnya lagi.

Jadi, time framenya kurang lama, minimal diukur lima tahun setelah bebas dari penjara. Karena secara legal, proses pembimbingan melalui mekanisme pembebasan bersyarat (PB) itu kan melalui mekanisme dua pertiga dari waktu masa tahanan yang dijalaninya. Seorang divonis lima tahun, setelah menjalani hukuman tiga tahun, napi teroris berhak untuk menjalani sisa masa tahanan di luar penjara.

Nah selama dua tahun di luar penjara itu yang dipantau. Padahal program deradikalisasi itu kan seharusnya dilakukan lebih lama dari sisa masa tahanan itu. Minimal lima tahun setelah bebas murni. Ini yang membuat kadang-kadang secara mengeneralisir, kalau ada kasus tindak terorisme yang dilakukan oleh mantan napi teroris, telunjuk kita langsung mengarah ke pemerintah, deradikalisasi gagal.

Kalau terjadi aksi teror dilakukan mantan teroris maka program deradikalisasi pemerintah dinilai gagal, kalau teror dilakukan oleh teroris baru, program apa yang dinilai gagal?

Kalau teror dilakukan oleh teroris lama, pemerintah dinilai gagal dalam hal program deradikalisasi. Kalau teror dilakukan oleh teroris baru, maka yang dianggap gagal adalah program pencegahannya. Sebenarnya ini juga masuk dalam kategori program deradikalisasi juga. Yaitu, dalam spektrum penyadaran publik. Di sini saya kira sifatnya menjadi tantangan jangka panjang.

Ini bukan hanya tugas pemerintah saja, tapi juga masyarakat. Tantangan berikutnya, kalau ada orang-orang di tengah kita masih memiliki potensi teror, ini beragam spektrum, bukan hanya terorisme saja. Makanya masyarakat harus terlibat untuk menjadi habitat yang lebih baik. Dalam teori habitat selalu ada potensi untuk menjadikan kembali mereka ke radikal. Kami biasanya menyebutnya dengan dua kelompok. Pertama, enabling society untuk radikalisme. Kedua, disabling society untuk radikalisme.

Maksudnya?

Kalau teman-teman di Poso, mereka dengan mudah disebut enabling society. Karena kehidupan mereka keras, terhadap pemerintah juga keras. Masjidnya juga anti pemerintah, anak-anak mereka tidak sekolah di sekolah umum. Tapi disekolahkan ke pesantren atau lembaga pendidikan yang masih terintegrasi dengan kelompok radikal mereka. Di Solo Raya juga ada.

Jadi, kalau masyarakatnya belum moderat, maka kita kerja dua kali. Yaitu, mengelola orangnya, dan mengelola societynya. Jadi, dengan teori gitu, kita secara by design untuk kehidupan reintegrasi sosial. Maka kita harus menyiapkan dua hal tadi. Yaitu, menyiapkan mantan narapidana terorisme dan menyiapkan masyarakatnya. Karena kita harus membuat semua tempat itu menjadi disabling society. Jadi tidak ada habitat lagi buat mereka untuk hidup dan berkembang. Jadi, radikalisme tidak berkembang.

Mengenai kasus mantan napiter Poso Sulton Qolbi yang kembali ditangkap Densus 88 November 2024 lalu itu, bagaimana?

Meskipun lingkungan dan masyarakat di sekitar rumah ustadz Sulton itu disabling, tapi kalau orangnya tidak mau bergaul dengan masyarakat. Justru dia punya komunitas bubbling-bubbling sendiri, punya gelembung komunitas sendiri, maka dia akan kembali lagi ke sikap radikalnya. Ini memang kompleks, jadi tidak bisa menunjuk pada satu variabel pada kegagalan deradikalisasi.*

Bersambung