Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Akhlak Pemuda Harapan Bangsa
Oleh : si
Selasa | 30-10-2012 | 19:40 WIB

 
Oleh: Aida Zulaika Nasution Ismeth

DI DALAM SEJARAH bangsa Indonesia, kita pernah punya dua sumpah, yakni Sumpah Palapa yang diikrarkan oleh Patih Gajah Mada, dan Sumpah Pemuda sebagai ikrar berbangsa, berbahasa, dan bertanah air satu Indonesia, pada 28 Oktober 1928.
 


Berarti, sampai 28 Oktober 2012 kita telah bersumpah sebanyak 84 kali. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia, sumpah adalah “pernyataan yang diucapkan dengan resmi dan dengan bersaksi kepada Tuhan atau sesuatu yang diangggap suci, bahwa apa yang dikatakan atau dijanjikan itu benar”. (Kubi,1976:975).

Apakah sumpah yang sebanyak itu, ada pengaruhnya terhadap jiwa pemuda bangsa kita? Pemuda yang kemudian menjadi orang tua, guru, tokoh masyarakat, pejabat, dan pemimpin Negara. Sumpah yang pernah diikrarkan pertama kali itu sudah terwujud sampai saat ini dalam bentuk NKRI.

Tetapi pertanyaannya, apakah kita sudah berbangsa dengan baik dan benar? Apakah kita sebagai warga Negara dalam kehidupan sosial budaya sudah mencerminkan sumpah kita?

Begitu pula dengan bahasa Indonesia yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari secara nasional. Apakah bahasa Indonesia yang kita tuturkan itu sudah mencerminkan ahklak kita sebagai bangsa yang luhur, bangsa yang memiliki budi pekerti yang tinggi? Bukankah bahasa adalah cerminan jiwa dan ahklak.

Begitu juga bertanah air. Apakah tanah dan air sudah dikelola dengan baik oleh Negara sehingga bisa memberi  kemakmuran dan kesejahteraan untuk rakyat kita yang sebagiannya masih hidup di bawah garis kemiskinan ?

Pertanyaan-pertanyaan filosofis yang terkait dengan makna sumpah pemuda, perlu dihadirkan agar mengingatkan kita pada jasa-jasa pahlawan yang telah memerdekakan negeri ini dengan darah dan air mata. Sekaligus memberi kesadaran tentang makna sumpah itu sendiri yang kita ucapkan di hadapan manusia dan Tuhan.  Tuhan yang  Maha Mendengar dan Maha Melihat sumpah kita itu.

Apakah kita tidak merasa malu dengan sumpah pemuda, sumpah jabatan dan sumpah-sumpah yang lain, yang kemudian dengan mudah kita melupakan begitu saja atau kita ingkari?

Sumpah Pemuda yang Berakhlak dan Berkarakter
Para pemuda yang bersumpah pada 1928, bukanlah sembarangan pemuda. Mereka adalah pemuda sejati, berakhalak mulia, pejuang tangguh, dan bertanggung jawab atas nasib bangsa ini. Mereka dari berbagai pelosok tanah air yang berada di Jakarta pada waktu itu berikrar ; berbangsa satu bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia, dan bertanah air satu tanah air Indonesia.

Puncak kesadaran nasonal para pemuda saat itu, telah sampai pada satu tekad yang bulat, yang tak bisa ditawar lagi alias harga mati. Yang kemudian berujung pada revolusi kemerdekaan dengan semboyan, “merdeka atau mati”. Inilah akhir dari taruhan para pemuda berkarakter sehingga melahirkan kemerdekaan yang kita nikmati sampai saat ini.

O … pemuda harapan bangsa! kami merindukan pemuda masa kini yang memiliki kualitas kepemudaan seperti mereka yang dulu. Masih adakah pemuda seperti itu di zaman sekarang? Mudah-mudahan masih ada, walaupun zamannya sudah berubah. Jika dahulu mereka menentang penjajah dengan ideologi dan senjata. Sekarang pemuda menentang ketidak adilan, korupsi, dan kerusakan akhlak, dengan pengetahuan dan ilmu yang baik dan benar.

Tawuran antarpelajar alias baku hantam sampai ada yang terluka dan tewas belum lama ini telah mencoreng nama pemuda. Mereka yang kita harapkan kelak untuk mewarisi bangsa ini telah berbuat aib di tengah masyarakat. Mereka saling mengejek, memaki, memukul dan melukai, bahkan membunuh. Mereka ini adalah anak-anak sekolah setingkat SMP dan SMA yang setiap hari dididik dan diajar di sekolah supaya menjadi manusia yang baik dan benar.

Bukankah pendidikan itu untuk memanusiakan manusia. Lantas kenapa mereka berbuat yang tidak manusiawi? Jangan-jangan ada yang salah dengan pendidikan kita. Pendidikan dan pembelajaran sudah tidak berbanding lurus dalam pembentukan akhlak dan karakter anak didik kita.

Apakah ada yang salah diantara kita? Sebagai orang tua, guru, tokoh masyarakat, alim ulama, pejabat pemerintah, polisi dan tentara, yang tidak sempat mendidik, membimbing, mengarahkan, dan menasehati. Ataukah kesalahan itu ada pada siswa itu sendiri ? Barang kali kurikulum pendidikan dan pembelajaran itu perlu ditinjau ulang untuk direvisi.

Pendidikan dan pembelajaran telah  kehilangan muatan spiritualnya, sehingga tak punya akses pada akhlak atau karakter anak didik. Kurikulum pendidikan dan pembelajaran yang sarat dengan muatan kognitif, dan sedikit muatan afektif dan psikomotorik. Apakah ini akibat dari muatan ujian nasional yang 100 persen kognitif?

Kalau  seperti ini modelnya, maka tipis harapan untuk mendapatkan pemuda harapan bangsa yang berkarakter. Dalam hal ini, lingkungan orang tua, guru, dan masyarakat, yang paling bertanggung jawab atas akhlak dan karakter pemuda. Di tangan mereka inilah perilaku pemuda dipertaruhkan.

Di dalam teori perkembangan pribadi anak, tiga lingkungan ini dianggap bertanggung jawab dalam pembentukan karakter dan akhlak. Dan satu lingkungan pendidikan lagi yang kurang mendapat perhatian dari  pemerintah dan masyarakat adalah lingkungan “maya”, yang informasinya bisa menerebos sampai ke kamar tidur dan kamar mandi. Para pemuda kita mengakses informasi tanpa batas. Dimana saja dan kapan saja. Lingkungan maya inilah yang paling dikhawatirkan.

Kreativitas Pemuda
Orang tua, guru, masyarakat dan pemerintah perlu menyediakan waktu dan ruang kreatif untuk  para pemuda, bila ingin betul-betul mendidik pemuda yang berakhlak atau berkarakter. Waktu dan ruang yang tidak tersedia secara memadai akan mengalihkan pemuda pada dunia maya lewat televisi yang banyak menayangkan acara-acara yang tidak begitu banyak manfaatnya untuk di tonton.

Orang tua harus sering memberi tugas dan tanggung jawab kepada anak, terutama terkait dengan dirinya dan keluarganya, sehingga waktunya bisa diisi dengan yang bermanfaat. Begitu juga masyarakat, harus menyediakan tempat-tempat yang lapang dan ruang bermain yang cukup untuk menyalurkan kreativitasnya.

Sama halnya dengan sekolah, mesti menyediakan waktu dan tempat untuk mengembangkan bakat dan minat peserta didik agar punya obsesi dan cita-cita. Sebab selama ini, organisasi sekolah dan guru teralalu dominan dalam penggunaan waktu pembelajaran.

Seakan akan sekolah dan guru sajalah yang punya otoritas waktu terhadap anak didik. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untuk anak didik merenungkan dan mengolah potensi dirinya dan cita-citanya.  Mereka banyak diberi beban pelajaran yang sarat dengan teori-teori yang bersifat deduktif-verbalistik, tidak jelas targetnya.

Bila tamat SD, SMP, dan SMA, lantas apa yang bisa dirasakan oleh orang tua, keluarga dan masyarakat. Dan apakah peserta didik hanya bisa dipuaskan dengan selembar ijazah dari kertas.

Barangkali kita sebagai penyelenggara pendidikan perlu berpikir ulang tentang target pendidikan dan pembelajaran yang ingin kita capai. Terutama pendidikan akhlak atau karakter.

Selama ini yang terukur dalam pembelajaran  dan ujian hanyalah kecerdasan kognitif, sedangkan kecerdasan afektif dan psikomotorik tidak terukur atau tidak mau diukur. Padahal kecerdasan seperti ini juga bisa diukur atau dinilai dengan simulasi dan pengamalan sehari-hari di sekolah oleh wali kelasnya atau guru bimbingan psikologi.

Harapan kita, siswa perlu banyak  mendapat sentuhan-sentuhan spiritual dalam konteks pengamalan ajaran agama yang dicontohkan oleh orang tua siswa dan guru di sekolah. Bila perlu ajaran agama itu 75 persen praktek dan 25 persen teori.

Karena ajaran agama itu untuk diamalkan bukan sekedar diteorikan. Tuhan menilai amal hambanya bukan dari teori pelajarannya melainkan dari amalnya. Dengan demikian pembentukan karakter atau akhlak pemuda bisa terwujud.

Penulis adalah Wakil Ketua Badan Kehormatan DPD-RI dan Ketua Umum Gerakan Masyarakat Peduli  Ahlak Mulia Provinsi Kepri.