Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Indonesia Alami Ketergantungan yang Tinggi terhadap Barang Impor dari China
Oleh : Redaksi
Selasa | 24-12-2024 | 19:44 WIB
Ariyo_DP__Irhamna.jpg Honda-Batam
Oleh Dr. Ariyo DP Irhamna. (Istimewa)

Oleh Dr. Ariyo DP Irhamna

DARI CATATAN  sejak 2004, China menjadi eksportir terbesar ke Indonesia dengan peningkatan signifikan dalam 20 tahun terakhir dengan 9% namun di 2023 menjadi 28%. Itu menunjukkan adanya ketergantungan yang tinggi terhadap barang impor dari China.

Dari destinasi ekspor Indonesia 2004-2023, Jepang menjadi faktor utama tujuan ekspor Indonesia dengan pangsa pasar meningkat dari 40% di 2004 menjadi 45% di 2023.

Vietnam menjadi negara tujuan ekspor Indonesia dari peringkat 10 (3%) di 2004 menjadi peringkat 2 (17%) di 2023. Jadi tidak ada perubahan struktural dari sumber ekspor dan sumber impor Indonesia selama hampir 20 tahun.

Peningkatan Ketergantungan terhadap China betul-betul nyata dari data-data yang ada. itu mencerminkan risiko ekonomi yang lebih besar jika terjadi distruksi perdagangan bilateral kedua negara, terutama aspek geopolitik dengan terpilihnya Trump di AS (trade war lanjutan)

Ketergantungan yang tinggi juga dapat membuat Indonesia rentan terhadap perubahan harga dan pembelian barang dari China. Ekonomi kita menjadi banyak di drive oleh ekonomi China karena ekspornya 28% ke Indonesia.

Strategi mengatasinya, dibutuhkan diversivikasi sumber impor selain dari China yang mendorong substitusi impor dengan produk lokal serta penguatan daya saing produk Indonesia di pasar internasional.

Dari sisi ekspor juga perlu langkah-langkah diversivikasi negara tujuan ekspor agar tidak tergantung pada segelintir negara tujuan ekspor.

Dari sisi value added trade, Indonesia 3 hal: pertama, Backward global value change (peringkat 25 dunia), di mana nilai tambah dari asing lebih besar dibanding domestik. sisi sebaliknya di Forward global value change (peringkat 23 dunia).

Tapi dari penggabungan backward dan forward, Indonesia justru jauh ada di peringkat 40.

Pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 8% di era Presiden Prabowo Subianto menjadi imajinatif setelah kabinet yang dibentuk menjadi lebih dari 100 personil.

Faktor efisiensi dan efektivitas menjadi penghambat dengan banyak hal terutama penyesuaian-penyesuaian di masing-masing kementerian.

Di RPJPN telah diamanatkan untuk jadi negara maju, maka peranan pertumbuhan industri 2025-2029 mencapai 30% pertumbuhan industri manufaktur thd pertumbuhan ekonomi. melalui strategi integrasi investasi domestik dan global.

Tapi strategi penguatan domestic value change perlu harmonisasi kebijakan sektoral indutri hulu dan hilir harus saling mendukung, dan tidak parsial.

Telah ada beberapa sektor yang berani melakukan tranformasi, di antaranya Pendidikan. Telah ada di RPJPN akan ada restrukturisasi kewenangan antara pusat dan daerah.

Penulis adalah Ekonom INDEF-Institute For Development of Economics and Finance, serta Dosen Universitas Paramadina

Sumber: Diskusi Online Universitas Paramadina dan INDEF dengan tema 'Catatan Akkhir Tahun: Investasi dan Industri Sebagai Faktor Kritis Dalam Mewujudkan Pertumbuhan Ekonomi 8%'.