Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Dua Dekade Tsunami Aceh, Kisah Martunis, Bocah yang Bertahan Hidup di Tengah Lautan
Oleh : Redaksi
Senin | 16-12-2024 | 15:24 WIB
Martunis.jpg Honda-Batam
Martunis, anak yang bertahan hidup di tengah lautan, saat Tsunami Aceh pada 26 Desember 2004. (Ist)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Dua puluh tahun telah berlalu sejak bencana Tsunami Aceh yang mengguncang dunia pada 26 Desember 2004. Gempa berkekuatan 9,3 skala Richter memicu gelombang tsunami dahsyat yang merenggut sekitar 230.000 nyawa di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di tengah tragedi itu, kisah Martunis, bocah tujuh tahun yang bertahan hidup selama 21 hari di laut, menjadi simbol ketahanan dan harapan.

Kini, pada usia 27 tahun, Martunis mengenang peristiwa yang mengubah hidupnya. "Saat itu, saya sedang bermain sepak bola dengan teman-teman ketika gempa terjadi. Saya langsung berlari pulang dan berkumpul dengan ibu, kakak, dan adik saya. Kami saling berpelukan. Namun, tak lama, air datang begitu cepat dan menyapu kami semua," kenangnya dengan suara bergetar, demikian dikutip siaran pers Save the Children Indonesia, Senin (16/12/2024).

Martunis terombang-ambing di laut, bergantung pada benda-benda yang mengapung seperti kasur dan bangku sekolah, hingga akhirnya ia menemukan kelapa yang membantunya tetap bertahan.

Setelah tiga minggu terdampar di rawa dekat pantai, Martunis ditemukan oleh kru televisi Inggris yang bekerja sama dengan nelayan lokal. Dalam kondisi dehidrasi, kelaparan, dan penuh luka, ia bertahan dengan meminum air genangan dan makan mi instan yang ditemukannya. Martunis kemudian diserahkan kepada Save the Children, yang membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Pada hari yang sama, organisasi ini berhasil mempertemukan Martunis dengan ayah dan neneknya.

"Rasanya luar biasa bisa bertemu kembali dengan ayah saya. Namun, kebahagiaan itu bercampur duka ketika saya mengetahui ibu, kakak, dan adik saya telah tiada," ujar Martunis, mengenang momen haru tersebut.

Kisah Martunis menjadi salah satu keberhasilan program Family Tracing and Reunification (FTR) yang dijalankan Save the Children pasca-tsunami. Program ini dirancang untuk menyatukan kembali anak-anak yang terpisah dengan keluarga mereka. Dengan sistem pencatatan yang terorganisir, organisasi ini membantu ribuan keluarga menemukan anggota yang hilang atau memberikan tempat perlindungan bagi anak-anak yang kehilangan kerabat terdekat.

"Kami bekerja sama dengan komunitas lokal untuk mengidentifikasi dan menyatukan kembali anak-anak dengan keluarga mereka," ungkap Al Fadhil, mantan staf Save the Children yang kini memimpin Yayasan Guetanyoe, mitra lokal organisasi tersebut di Indonesia.

"Bagi anak-anak yang tidak memiliki keluarga terdekat, kami mencarikan tempat tinggal sementara yang aman, seperti pesantren atau rumah penampungan."

Pada 2015, kisah Martunis kembali mencuri perhatian dunia ketika ia diterima di akademi sepak bola Sporting Lisbon di Portugal, mengenakan jersey tim nasional Portugal yang ia pakai saat ditemukan. Namun, Martunis akhirnya memilih kembali ke Indonesia dan menjalani kehidupan baru. Kini, ia telah menikah dan menjadi ayah dari seorang putri kecil.

"Saya percaya rencana Tuhan selalu indah. Ke depan, saya berharap bisa menjadi pribadi yang sukses dan bermanfaat dalam bidang apa pun yang saya jalani," tuturnya penuh optimisme.

Tsunami Aceh meninggalkan luka mendalam, namun juga menunjukkan solidaritas global dalam membantu pemulihan. Save the Children menjangkau lebih dari 140.000 orang, termasuk 70.000 anak, melalui distribusi kebutuhan dasar, pembangunan tempat tinggal sementara, dan dukungan psikososial. Organisasi ini juga mendirikan 50 ruang ramah anak untuk membantu mereka pulih dari trauma.

Dua dekade kemudian, bencana ini terus menjadi pengingat akan pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana alam. Kisah Martunis, dari seorang anak korban tsunami hingga menjadi simbol harapan, menunjukkan bahwa dari kehancuran sekalipun, kehidupan baru dapat tumbuh dan membawa inspirasi bagi banyak orang.

Editor: Gokli