Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

UU Koalisi Gagasan Sesat
Oleh : Bambang Soesatyo
Sabtu | 05-03-2011 | 10:25 WIB

MANUVER Ketua DPR Marzuki Alie menggagas Undang-undang (UU) tentang koalisi mencerminkan kepanikan seorang komandan Partai Demokrat (PD) di DPR. Ketidaknyamanan Dewan Pembina PD atas kelemahan para kadernya di DPR mendorong Marzuki menawarkan gagasan sesat itu.

Wacana UU Koalisi yang coba dikembangkan Marzuki dilatarbelakangi dua pengalaman buruk PD. Seperti diketahui, baru sekitar 13 bulan menyandang kekuatan terbesar di DPR, PD sudah merasakan dua mimpi buruk. Pertama, kekalahan PD dalam proses politik skandal Bank Century. Kedua, kemenangan tipis PD saat berhasil menggugurkan usul Hak Angket Mafia Pajak dalam sidang paripurna DPR, baru-baru ini. PD menang tipis karena faktor keberuntungan saja.

Dua pengalaman buruk ini membuat Dewan Pembina PD gerah dan tidak nyaman. Wajar, mengingat Ketua Dewan Pembina PD adalah Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), presiden RI periode 2009-2014. Dua tahun berturut-turut pemerintahan SBY diguncang oleh usul penggunaan Hak Angket DPR. Bisa dibayangkan bagaimana geramnya Dewan Pembina PD, karena guncangan itu melibatkan peran dan manuver anggota Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi partai pendukung pemerintahan SBY-Wapres Boediono.

Sebagai faktor kekuatan yang paling diandalkan pemerintahannya, SBY tentu berharap Marzuki (dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPR dari unsur PD), serta semua anggota Fraksi Partai Demokrat (FPD), mestinya mampu meredam wacana penggunaan Hak Angket DPR. Kenyataan bahwa dua usul penggunaan Hak Angket DPR bisa sampai ke tahap sidang Paripurna DPR pasti tidak menyenangkan Dewan Pembina PD. Bagaimana pun, kegaduhan politik akibat usul Hak Angket itu sudah menurunkan citra pemerintah. Karena itu, bagi Dewan Pembina PD, Marzuki dan semua anggota PD mestinya bisa melobi dan merangkul fraksi lain untuk tidak ‘mengganggu ‘ pemerintahan SBY dengan usul penggunaan Hak Angket DPR.

Dalam kasus Century, PD kalah telak. Sebaliknya, kendati berhasil menggugurkan Hak Angket Mafia Pajak, Dewan Pembina PD tetap tidak senang dengan kinerja Marzuki dan anggota FPD di DPR karena usul itu bisa berproses hingga ke tahap sidang paripurna DPR dan menjadi tontonan rakyat. Dalam situasi seperti itu, Dewan Pembina PD sudah barang tentu menyorot dan menilai kapabilitas Marzuki sebagai Ketua DPR maupun semua anggota FPD sebagai kekuatan terbesar di DPR. Dewan Pembina tentu mempertanyakan apa saja yang dikerjakan Marzuki dan anggota FPD? Dua tahun kinerja Marzuki dan FPD sangat mengecewakan Dewan Pembina PD.

Berupaya untuk menyenangkan big boss-nya, Marzuki pun bermanuver dengan gagasan tentang UU yang mengatur koalisi itu. Marzuki benar-benar merasa terganggu atas kebebasan mengemukakan pendapat yang diaktualisasikan Partai golkar dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai anggota koalisi. Apa yang ada di benak Marzuki Alie saat ini adalah terus meramu berbagai strategi dan pendekatan untuk bisa menutup kran kebebasan berpendapat dalam Setgab koalisi saat ini.

Selain tampak kekanak-kanakan, manuver itu lebih memperlihatkan itikad buruk. Gagasan itu menyesatkan, karena bertujuan sempit dan sesaat. Juga menakutkan karena ada niatan menutup-nutupi kebohongan dan kebobrokan pemerintahan saat ini. Gagasan itu juga mengada-ada, karena sebagai Ketua DPR, Marzuki harusnya tahu apa yang layak diprioritaskan. Kalau gagasannya tentang UU yang mewajibkan pemerintah mengendalikan harga pangan misalnya, Marzuki pasti mendapatkan dukungan 200 juta rakyat Indonesia.

Tentang efektivitas koalisi, paling penting adalah kepemimpinan yang tegas, lugas, jujur, dan tanpa kebohongan. Kalau semua unsur koalisi jujur bekerjasama untuk kepentingan bangsa, negara dan pro rakyat, UU tentang koalisi sama sekali tak ada relevansinya. Akan tetapi, kalau ada anggota koalisi yang memaksakan kehendak pada anggota koalisi lainnya untuk mengkhianati rakyat, pasti akan dilawan dengan kekuatan penuh.

Partai Golkar dan PKS sudah memberi bukti dan memperlihatkan perlawanan itu ketika anggota koalisi dipaksa untuk menutup mata dan diajak untuk menolak usul hak angket Bank Century dan mafia pajak.

Partai Golkar tak akan pernah mau diajak bersekutu untuk menutup-nutupi skandal perampokan uang rakyat di Bank Century melalui modus bailout yang merugikan negara Rp 6,7 triliun. Golkar juga menolak ajakan menggugurkan usul hak angket mafia pajak. Mafia pajak harus diberantas karena mereka menghisap darah rakyat.

Bad Governance

Marzuki dan FPD boleh saja merasa menang karena berhasil menggugurkan usul Hak Angket pajak di DPR. Tetapi kemenangan itu adalah harga sangat mahal yang dibayar pemerintahan SBY. Bagi rakyat, pemerintah sudah gagal mewujudkan good governance karena memberi ruang bagi mafia pajak. Bahkan, sejarah akan mencatat dan memberi status pemerintahan SBY sebagai bad governance.

Kalau konsisten dengan ambisi mewujudkan good governance, SBY mestinya mendorong terlaksananya penggunaan Hak angket Pajak oleh DPR. FPD sendiri sudah dinilai berperilaku aneh. Menjadi pertanyaan yang sangat mengusik banyak orang, sebab FPD yang semula ngotot menjadi inisiator, tiba-tiba takut dan gigih menggugurkan usul Hak Angket itu. Citra pemerintahan SBY tak hanya semakin rusak, tetapi keberpihakan presiden pun mulai dipertanyakan. Soalnya, gugurnya usul hak angket pajak itu sudah dimaknai sebagai kemenangan mafia pajak yang sudah menyusup hingga ke ruang fraksi-fraksi di DPR melalui parpol tertentu.

Pertanyaannya adalah bagaimana SBY mendeskripsikan dan memosisikan mafia pajak dalam pemerintahannya sehingga dia begitu berani memberi angin kepada pendukungnya di parlemen untuk menggugurkan usul angket mafia pajak itu? Pertanyaan berikutnya; apakah SBY sekadar menyederhanakan persoalan sehingga enggan menggunakan Hak angket DPR untuk memerangi mafia pajak? Atau, karena ada ketakutan untuk alasan-alasan tertentu?

Dalam debat terbuka, FPD mengatakan kasus-kasus perpajakan cukup ditangani dan diselesaikan oleh insitusi-institusi penegak hukum. FPD menunjuk contoh pada kasus Gayus Tambunan yang saat ini ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Teoritis, pendirian FPD ini tidak salah, namun juga tidak masuk akal.

Mengapa? Sebab, mafia pajak adalah sebuah kekuatan besar dalam birokrasi negara dengan kekuatan finansial yang tak terbatas. Mereka bisa ikut merancang penyidikan dan penyelidikan yang sesat serta menciptakan pengadilan yang sesat pula. Lihatlah bagaimana seorang Gayus bisa melakukan tawar-menawar pasal-pasal dakwaan, termasuk mentransaksikan Rencana Tuntutan (Rentut).

Pencurian pajak di negara ini adalah kejahatan terorganisasi. Modus korupsi berskala paling masif. Sudah sulit bagi siapa pun untuk menghitung berapa banyak kerugian negara akibat pencurian kekayaan negara oleh mafia pajak selama ini. Dalam kesempatan terdahulu, saya pernah mengemukakan bahwa pajak negara yang digelapkan oleh mafia pajak dan jaringannya mencapai ratusan triliun per tahunnya. Sebuah perkiraan kasar menyodorkan jumlah lebih dari Rp 300 trilyun pajak negara yang dicuri setiap tahunnya.

Bambang Soesatyo
Anggota DPR RI