Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Banyak Media Dimonopoli

DPR Didesak Tuntaskan Revisi RUU Penyiaran
Oleh : si
Rabu | 24-10-2012 | 19:24 WIB

JAKARTA, batamtoday - Pengamat politik penyiaran dari Universitas Esa Unggul Jamaluddin Ritonga  mendesak agar DPR segera menuntaskan revisi RUU (Rancangan Undang-Undang) Penyiaran Nomor 32 tahun 2002, karena sangat berpotensi terjadinya monopoli penyiaran televisi, radio, media cetak dan lainnya yang belum diatur secara tegas dalam RUU penyiaran tersebut. 


Namun, sebelumnya DPR sudah menyetujui rencana revisi RUU tersebut sebagai inisiatif dari Komisi I DPR.

“UU itu masih sangat berpotensi terjadinya monopoli media, sistem jaringan, kepemilikan silang, media lokal dan nasional. Juga tentang media lokal diwajibkan hanya 10 persen siaran muatan lokal, berarti mempunyai jariangan di luar sebanyak 90 persen, dan masih banyak lagi,” tandas Jamaluddin dalam diskusi soal RUU Penyiaran bersama Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Ezki Tri Rezeki Widianti, dan Indrayana dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers di Gedung DPR RI Jakarta, Rabu (24/10).

Selain terkait monopoli media lanjut Jamaluddin, RUU Penyiaran nantinya juga harus mengatur tuntas tentang kesejahteraan dan kriminalisasi wartawan seperti kekerasan yang terjadi selama ini. “Kekerasan terhadap wartawan tidak bisa diselesaikan di pengadilan, melainkan sebagai hal yang lex specialist-penanganan hukum secara khusus karena wartawan sedang menjalankan tugasnya di lapangan,” ujarnya.

Wakil Ketua KPI Ezki Tri Rezeki Widianti mengakui jika UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 itu harus direvisi, karena masih sangat berpotensi terjadinya monopoli media. Hanya saja harus diatur secara detil tentang penyiaran yang berkembang. Seperti media digital, streaming, kepemilikan silang, radio dan sebagainya, yang belum diatur oleh UU Penyiaran tersebut. “Apalagi, yang media sekarang ini hanya dimiliki beberapa orang dan mereka ini sebagian besar adalah elit politik, yang tentu saja akan berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan politik pada 2014,” terang Ezki.

Sebelumnya Wakil Ketua Komisi I DPR Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan, jika UU Penyiaran saat ini secara substansi dan teknisnya sudah tidak sesuai dan harmonis dengan ketentuan perundangan yang berlaku serta tidak dapat mengantisipasi perkembangan kemajuan teknologi penyiaran. Penyusunan draf revisi UU Penyiaran ini telah melalui berbagai tahap seperti sudah diserahkan ke Badan Legislasi untuk diharmonisasi.

"Selain itu prinsip demokratisasi, otonomi daerah, integrasi, dan identitas nasional, serta kemajemukan masyarakat menjadi panduan uatama dalam penataan sistem penyiaran nasional," katanya. Draf RUU Penyiaran ini terdiri dari 14 Bab dan 99 Pasal. Berikut poin-poin penting draf RUU Penyiaran yang akan dibahas oleh DPR.

1. Sistem penyiaran nasional dan jasa penyiaran berupa jasa penyiaran radio, jasa penyiaran televisi dan jasa penyiaran multipleksing. Selanjutnya penyiaran ini diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Komersial, Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaaga Penyiaran Berbayar.

2. Penyebarluasan program dan isi siran disesuaikan dengan perkembangan teknologi penyiaran dengan menggunakan teknologi digital serta pelaksanaan penyiaran dengan teknologi digital.

3. Larangan mendirikan Lembaga Penyiaran Asing di Indonesia dan larangan bagi Lembaga Penyiaran untuk menyiarkan sisi siaran yang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan, dan atau bohong yang menimbilkan kekacauan atau korban luka atau meninggal dunia.

Dan, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan UU No. 32/ 2002 tentang penyiaran tidak bersifat multitafsir, Koalisi Independen Untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) pun akan menempuh jalur hukum dengan menggugat pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan Bapepam LK, secara pidana maupun perdata.

KIDP menilai, implikasi perintah putusan MK adalah pemerintah harus mengembalikan frekwensi sebagai domain publik kepada negara dari praktek monopoli yang dilakukan segelinntir pemilik media bermodal besar. Selain menggugat, KIDP pun akan mengawal proses revisi UU Penyiaran di DPR agar lebih sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial.

"Dua langkah ini yang akan kami tempuh, terutama menggugat pemerintah secara pidana dan perdata, baik Kemenkominfo, KPI maupun Bapepam Lk, dimana gugatan untuk ketiga lembaga itu akan dilakukan secara terpisah," kata Koordinator KIDP, Eko Maryadi, dalam keterangan tertulisnya pada Senin, ( 15/10) lalu.

Perintah MK dalam putusan uji materi UU Penyiaran menjadi dasar KIDP menggugat pemerintah, karena MK memerintahkan pemerintah untuk menjalankan UU Penyiaran secara konsisten, terutama menertibkan berbagai pelanggaran berupa praktik-praktik monopoli dan pemindahtanganan frekwensi Lembaga Penyiaran Swasta (LPS). Putusan MK walau menolak gugatan KIDP, namun justru mendukung substasi gugatan bahwa tidak ada multitafsir atas UU No 32/2002 tentang Penyiaran.

"Jadi, pemerintah harus tegas melarang segala praktek monopoli kepemilikan lembaga penyiaran swasta, melarang memindahtangankan izin penyiaran dan mendukung diversity of content dan diversity of ownership MK sekaligus menggugurkan klaim pemerintah dan pengusaha bahwa UU Penyiaran bersifat multitafsir sebagai pembenaran atas praktek monopoli dan pemindatanganan frekwensi," tegasnya

Selain itu, lanjut Eko, MK juga memerintahkan pemerintah untuk segera menelusuri besaran kepemilikan saham lembaga penyiaran swasta. Menurut MK, pelanggaran-pelanggaran seperti ini terjadi karena pemerintah membiarkan UU Penyiaran dilanggar para pengusaha media. Jika terjadi penyimpangan dalam tataran praktik, maka itu bukan masalah konstitusional, melainkan norma hukumnya dilanggar.

"Karena itu, pemerintah harus menegakkan UU Penyiaran dan aturan pelaksanaannya secara konsisten. Pemerintah juga harus menelusuri kepemilikan saham yang melanggar UU dan aturan pelakasanaanya," demikian putusan MK.

Seperti diketahui, sebelumnya KIDP melakukan uji materi UU Penyiaran ke MK atas sikap pembiaran pemertintah terhadap praktek monopoli frekwensi yang dilakukan sejumlah pengusaha media, seperti kasus terkahir akuisisi PT EMTK atas Indosiar, padahal hal tersebut melanggar hukum karena sebelumnya EMTK telah memiliki SCTV dan O Channel di satu propinsi DKI Jakarta. KIDP juga menggugat pemusatan yang terjadi sebelumnya seperti Transcorp yang memiliki Transtv dan Trans7, Vivanews yang memiliki ANTV dan TVONE, serta MNC grup yang memiliki RCTI, MNCTV dan Global TV.