Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Tegak Lurus
Oleh : Redaksi
Jum\'at | 25-10-2024 | 08:44 WIB
2510_JALAN-TERUS-DISWAY_0349438348.jpg Honda-Batam
Para menteri ketika menuju Magelang dengan menumpang pesawat Hercules. Foto lain Menteri Bahlil dengan uniform militer. (Foto: Instagram Sri Mulyani)

Oleh Dahlan Iskan

TIGA hari ke depan opini publik masih akan di seputar lembah Tidar, Magelang.

Saya perhatikan daya tarik acara pembekalan menteri baru tersebut cukup tinggi. Bisa mengalihkan isu negatif tentang latar belakang para menteri itu sendiri.

Setidaknya untuk sementara.

Daya tarik itu mulai dari seragam mereka. Ada baju doreng ala militer. Ada baju putih lengan panjang. Topi model prajurit -hanya saja warnanya polos: biru tua. Tempat yang mestinya ditempelkan identitas di bagian depan topi itu dibiarkan kosong.

Saya tidak tahu apakah masih akan ada anggota kabinet yang berani pakai sepatu kets.

Mereka berangkat dari Jakarta bersamaan: pakai pesawat militer Hercules.

Bagi sipil yang belum pernah naik Hercules itu anggap saja pengalaman baru. Bagi yang sudah biasa naik pesawat di kelas bisnis akan terasa tidak nyamannya: duduk berjejer berhadap-hadapan, memanjang dari depan sampai belakang.

Ini seperti seruan: mulailah terbiasa hidup tidak nyaman. Toh hanya 1,5 jam. Dari Bandara TNI-AU Halim Perdanakusuma ke Bandara TNI-AU Adi Sucipto.

Dari Adi Sucipto ke Magelang mereka juga harus naik bus. Itu lambang untuk hidup biasa-biasa saja.

Sampai di Magelang mereka tidak tinggal di hotel, tapi di barak tentara berbentuk tenda. Mudah-mudahan ber-AC.

Jangan-jangan mulai ada yang menyesal: jadi menteri ternyata tidak boleh enak. Apalagi bagi menteri baru yang sudah terbiasa hidup dari lobi hotel ke salon.

Tapi ini kan hanya tiga hari. Toh masih di masa bulan madu. Kebanggaan diangkat sebagai menteri masih bisa mengalahkan sulitnya cara hidup baru itu.

Latar belakang Presiden Prabowo yang militer tentu mewarnai kabinetnya. Seorang jenderal pasti punya keyakinan: bahwa 'manajemen ala militer' adalah unggul. Keyakinan itu lantas menjadi kebanggaan.

Banyak jenderal yang kemudian punya pendapat: kalau saja manajemen ala militer diterapkan di luar militer akan membawa kesuksesan.

Keunggulan manajemen ala militer lahir sebagai konsekuensi atas risiko yang tinggi: menembak atau ditembak.

Kalah perang berarti kematian.

Risiko tertinggi dalam kehidupan adalah 'mati'. Maka segala upaya harus dilakukan agar jangan sampai mati.

Termasuk harus menemukan sistem manajemen yang unggul.

Di perusahaan, risiko tertinggi adalah bangkrut. Yang mati hanya perusahaannya. Bukan orangnya.

Maka di militer mulai proses manajemen perencanaannya sangat detail.

Di militer, perencanaan tidak sekadar didasarkan pada asumsi. Harus berdasar data di lapangan. Data lapangan diperoleh dari kerja intelijen.

Perencanaan SDM-nya dirinci sampai detail dari batalyon, kompi, regu, sampai grup.

Pun logistiknya. Sampai ke penerjunan pasukan pendahulu. Pengerahan pasukan Zeni. Pun analisis risiko dan escape-nya.

Salah satu keunggulan manajemen ala militer adalah ketaatan pada komandan: ketaatan tegak lurus.

Ketika militer diterjunkan ke medan-laga pikirannya hanya satu: memenangkan perang.

Di medan perang tidak ada kemewahan. Tidur seadanya. Makan apa yang ada. Bisa-bisa tidak tidur dan tidak makan.

Selama tiga hari ke depan para menteri digodok di kompleks Akademi Militer dengan gaya militer.

Sepulang ke Jakarta mereka tentu akan terobsesi untuk bisa menerapkan manajemen gaya militer yang mereka dapat.

Minggu pertama mungkin mereka berkeinginan menurunkan ilmu Magelang ke anak buah di Jakarta. Ke eselon satu. Mungkin eselon satu akan setuju dan siap mengikuti ajaran itu.

Persoalan muncul ketika ajaran itu sampai ke eselon dua. Apalagi tiga.

Di birokrasi yang benar-benar berkuasa adalah eselon tiga. Mantan Wapres Jusuf Kalla pernah membuka itu blak-blakan. Yang sebenar-benar menjalankan roda pemerintahan adalah eselon tiga.

Di militer ketaatan tegak lurus bisa jalan. Di birokrasi, eselon tiga lebih taat pada peraturan. Yakni 'peraturan yang tertulis'. Komandan mereka adalah peraturan.

Bahkan seandainya pun SDM birokrasi kita dari manusia cerdas kelas satu, tetap saja akan menjadi bodoh di depan peraturan.

Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan oleh manusia tercerdas di kabinet ini setelah jadi wakil menteri nanti: Stella Christie, profesor dari Tsinghua University itu.

Saya mengikuti ceramahnya tentang artificial intelligent di YouTube. Sepanjang video itu pula saya terbayang apa yang bisa dia lakukan di kementeriannyi.

Bagi saya, sukses 100 hari pertama Kabinet Merah Putih adalah berubahnya segala macam aturan yang menghambat pembangunan.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia