Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

5 Sinyal Peringatan Ekonomi Indonesia di Akhir 2024
Oleh : Redaksi
Minggu | 06-10-2024 | 14:04 WIB

Oleh Achmad Nur Hidayat

MENGHADAPI akhir tahun 2024, ekonomi Indonesia menunjukkan berbagai sinyal peringatan yang tidak dapat diabaikan. Fenomena ini memerlukan perhatian khusus dari pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat luas.

pertumbuhan ekonomi, tingkat PHK, dan deflasi dapat membantu kita memahami tantangan yang ada serta merumuskan strategi mitigasi yang efektif.

Artikel ini merinci lima sinyal peringatan utama perekonomian Indonesia dan langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengatasinya.

1. Lonjakan PHK: Ancaman Deindustrialisasi

Lonjakan PHK menjadi sorotan utama di tengah melemahnya sektor manufaktur Indonesia. Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sebanyak 52.933 pekerja terkena PHK hingga akhir September 2024, dengan provinsi Jawa Tengah mencatat jumlah tertinggi. Sektor manufaktur, yang pernah menjadi tulang punggung perekonomian, kini berada di bawah tekanan besar akibat tingginya harga barang impor yang lebih kompetitif dan menurunnya permintaan domestik.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, seperti diulas Kontan mengungkapkan bahwa fenomena ini mengindikasikan deindustrialisasi, di mana peran industri dalam perekonomian menurun drastis. Ini adalah sebuah lampu kuning bagi pemerintah untuk segera bertindak dengan memperbaiki iklim usaha yang sudah lama diabaikan, misalnya dengan memperbaiki regulasi perpajakan, logistik, dan menurunkan suku bunga kredit.

Langkah yang bisa diambil termasuk dialog terbuka antara pemerintah dengan pelaku industri, membandingkan kebijakan industri dengan negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia, dan merombak kebijakan yang saat ini menghambat pertumbuhan industri lokal. Pentingnya inovasi dan diversifikasi produk juga tidak bisa diabaikan untuk meningkatkan daya saing dan menurunkan ketergantungan pada produk impor.

2. Deflasi Beruntun: Hantaman di Sektor Riil

Deflasi selama lima bulan berturut-turut menjadi ancaman nyata bagi sektor riil. Pakar ekonomi dari Universitas Pembangunan Negeri Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengungkapkan pada Bloomberg Technoz bahwa deflasi ini terkait erat dengan melemahnya daya beli masyarakat dan penurunan permintaan barang dan jasa. Akibatnya, PHK menjadi langkah efisiensi yang diambil banyak perusahaan untuk menyesuaikan diri dengan penurunan omzet.

Situasi ini menciptakan lingkaran setan di mana konsumsi yang semakin lemah menambah tekanan pada sektor usaha kecil dan menengah. Dengan menurunnya margin keuntungan pada bisnis skala kecil dan menengah, dunia usaha berisiko untuk gulung tikar jika tidak mendapatkan bantuan. Untuk meredam efek ini, pemerintah diharapkan memperluas program Bantuan Langsung Tunai serta padat karya guna meningkatkan daya beli masyarakat miskin dan rentan.

Di sisi kebijakan, penurunan suku bunga dan dorongan investasi di sektor strategis seperti infrastruktur dan energi terbarukan dapat memicu pertumbuhan. Pemerintah juga dapat mengeluarkan insentif pajak bagi industri UKM dan manufaktur untuk menjaga yang paling terdampak agar tetap operasional dan bisa meningkatkan produksi di tengah permintaan yang melemah.

3. Kelesuan Ekonomi dan Turunnya Kelas Menengah

Sepanjang masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya mencapai 4,23%, yang diiringi dengan inflasi rendah pada sekitar 3,50%. Sementara inflasi rendah memang dapat menjaga daya beli masyarakat, hal itu juga mengindikasikan tingkat pengangguran yang tinggi dan produktivitas ekonomi yang lemah. Rendahnya penyerapan tenaga kerja menjadi tantangan bagi kualitas pertumbuhan ekonomi yang diharapkan lebih banyak menciptakan lapangan pekerjaan.

Rendahnya inflasi sering dianggap sebagai tanda positif, tetapi tanpa adanya peningkatan produktivitas dan penciptaan lapangan kerja yang signifikan, ini justru bisa menandakan kelesuan ekonomi jangka panjang. Perekonomian memerlukan strategi menyeluruh yang tidak hanya mempertahankan harga yang stabil, tetapi juga memperkuat fondasi produktivitas dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi inovasi dan investasi.

Selain itu, dalam lima tahun terakhir, perubahan struktur ekonomi di Indonesia menunjukkan fenomena yang memprihatinkan: sebanyak 22,2 juta penduduk mengalami penurunan kelas ekonomi. Dari jumlah tersebut, 9,48 juta orang yang sebelumnya tergolong kelas menengah harus turun menjadi kelompok calon kelas menengah, sementara 12,72 juta lainnya yang sebelumnya dikategorikan calon kelas menengah kini jatuh ke dalam kelompok rentan miskin.

4. Manufaktur dalam Kontraksi: Pemulihan yang Terus Tertunda

Purchasing Managers' Index (PMI) untuk manufaktur Indonesia tetap berada di bawah ambang batas 50 sepanjang tiga bulan terakhir, yang menandakan sektor ini masih dalam kontraksi. Sektor manufaktur yang lemah tidak hanya menandakan penurunan domestik tetapi juga mencerminkan lesunya permintaan ekspor. Penurunan produksi, lemahnya permintaan dan pesanan baru, menandakan masalah mendalam yang perlu diatasi.

5. Konsumsi Masyarakat yang Defensif: Daya Beli Tertekan

Konsumsi masih menjadi komponen utama dari ekonomi Indonesia, namun data terbaru menunjukkan konsumsi masyarakat semakin defensif. Sektor ritel menunjukkan pertumbuhan yang lambat, dan beberapa kategori produk mengalami penurunan. Masyarakat cenderung lebih berhati-hati dalam pengeluaran, terutama untuk produk yang bersifat non-esensial. Penjualan barang tahan lama menurun, sementara banyak kelompok pendapatan mulai 'makan tabungan' untuk bertahan dalam situasi ekonomi yang sulit.

Penjualan otomotif sebagai indikator daya beli mencerminkan penurunan serupa. Lembaga Penjamin Simpanan juga melaporkan pertumbuhan tabungan yang melambat, menandakan masyarakat semakin terdesak. Menurunnya pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) di bank menambah kekhawatiran.

Penulis adalah ekonom UPN Veteran Jakarta dan Narasi Institute