Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Parpol Gagal Lahirkan Pemimpin Muda
Oleh : si
Senin | 22-10-2012 | 18:35 WIB
Valina_Singka_Subekti.jpg Honda-Batam

Valina Singka Subekti

JAKARTA, batamtoday - Banyaknya kader partai politik (parpol) yang terjebak pragmatisme kekuasaan sehingga  banyak tersangkut korupsi dari pusat sampai daerah.



Hal itu mempertegas bahwa parpol telah gagal melahirkan pemimpin muda yang nasionalis, ideologis dan berkarakter sebagai negarawan.

Karena itu, mustahil pada Pilpres 2014 mendatang parpol mampu menampilkan pemimpin muda sebagai capres maupun cawapres.

Namun, demikian tidak boleh pesimis dan semua pihak harus bertanggung jawab untuk membenahi jati diri parpol sebagai pilar demokrasi yang diharapkan mampu menata dan melahirkan pemimpin masa depan.

“Pemimpin itu tak hanya presiden dan wapres, melainkan DPR, DPD, DPRD dan semua pejabat daerah adalah pemimpin bangsa, yang setiap tahunnya siap mengelola keuangan negara sebesar Rp 1.500 triliun (APBN), untuk merealisasikan tujuan dan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia yang antara lain untuk mewujudkan kesejahteraan sosial ,” tandas pengamat politik UI Valina Singka Subekti dalam diskusi ‘Peluang Pemimpin Muda dalam Pilpres 2014’ bersama Wakil Ketua MPR RI M. Lukman Hakim Saifuddin dan  Anggota FPDIP DPR Boediman Soedjatmiko di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Senin (22/10/2012).

Valina mengatakan, pemimpin itu tak hanya bergantung pada umur, tapi harus berkarakter, visioner, berani, kreatif, ideologis dan memahami serta melaksanakan nilai-nilai konstitusi seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.  Lalu,  dimanakah sumber pembentukan pemimpin itu?

“Ya, di parpol. Karena semua  jabatan publik berasal dari parpol.  Jadi, parpol berkewajiban melahirkan pemimpin idealis tersebut dan itu tidak instan. Tapi, nyatanya parpol terjerat kepemimpinan oligarkis, pragmatis, dan dinatis. Sehingga rekruitmen kepemimpinan tidak terbuka,” katanya.

Sistem pemilu dan pilpres, kata Valina, justru memberi peluang pada mereka yang memiliki modal besar, yang menjadikan parpol lebih pragmatis dan ini sekaligus menutup peluang bagi pemimpin muda terbaik, berkualitas dan berkarakter tersebut. Oleh sebab, tidak ada pilihan, selain membenahi parpol dalam sistem pengkaderan dan menegemen partai.

“Jadi, tak ada pilihan lain untuk melahirkan pemimpin muda terbaik itu, melalui pembenahan parpol,” ujar mantan Anggota KPU ini.

Hal senada disampaikan Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saefuddin dan Boediman Sujatmiko. Namun, mereka menilai   tidak boleh pesimis karena Indoensia merupakan negara besar yang membutuhkan figur pemimpin yang besar pula. Baik secara kualitas, wawasan kebangsaan yang memadai, memiliki semanngat pembaharuan, gesit, progresif, dan inovatif, yang tidak lagi membutuhkan pencitraan dirinya sendiri.

Selain itu, kata Lukman, integritas, kesalehan sosial, anti korupsi, amanah, memahami nilai-nilai keagamaan, kredibel, kapabel, dan tak mempunyai beban masa lalu.

”Karena beban masa lalu itu bisa menyandera dirinya ketika memimpin,” tutur Wakil Ketua Umum DPP PPP ini.

Menurut Lukman, seorang pemimpin harus memiliki solusi dalam mengatasi berbagai persoalan bangsa yang sangat majemuk ini. Terlebih, Indoensia sudah dilihat oleh dunia untuk terlibat aktif dalam kemajuan dan ketertiban dunia internasional. Untuk itu, pintu masuknya seorang capres tak ada lain adalah parpol dan UU Pilpres.

“Saya mendukung PT pilpres 20 persen itu dihapus saja dan kembali ke UUD 1945 bahwa capres dan cawapres itu diusung oleh parpo,atau gabungan parpol, dan agar capres alternatif bisa muncul. Untuk itu, tak bisa seorang capres hanya berdasarkan elektabilitas atau popularitas survei saja. Apalagi lembaga survei ada yang dipesan,” kata Lukman.

Boediman menyatakan sepakat jika pemimpin itu harus mempunyai integritas, dan kapabilitas agar mampu merangkul komponen bangsa yang majemuk. Disamping itu, juga harus memiliki track record, jejak rekam atau riwayat hidupnya yang baik, tidak suka membohongi rakyat, dan  terlibat aktif dalam menciptakan ketertiban dunia. 

“Bukan terjebak pada konspirasi untuk eksploitasi kekayaan negara ini.  Tak boleh mementingkan kelompoknya, dan tak boleh kalah dengan kepentingaan bisnisnya ketika membuat kebijakan,” terang mantan Ketua PRD ini.

Politisi PDIP ini mengusulkan agarpileg dan pilpres secara serentak, agar terhindar dari transaksi politik uang seperti sekarang ini. Selain itu pemilu serentak akan jauh lebih efektif dan efisien, karena biayanya lebih murah, lebih rasional, dan kalau soal tua-muda itu rakyat yang akan menentukan.

“Pemilu serentak itu jelas lebih murah dan efektif, dan terpenting lagi terhindar dari transaksi politik uang seperti sekarang ini. Misalnya, setelah mempunyai kursi di DPR, maka kursinya itulah yang ‘ditransaksi’ dalam koalisi untuk mengusung capres-cawapres, dan selanjutnya bagi-bagi kekuasaan. hasilnya? Ya, rakyat sudah tahu dan merasakan sekarang,” ungkapnya kecewa.