Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pusat Data
Oleh : Opini
Selasa | 02-07-2024 | 08:36 WIB
AR-BTD-5224-Dahlan-Iskan.jpg Honda-Batam
Ilustrasi hacker bocah. (Foto: Gusti-Harian Disway)

Oleh Dahlan Iskan

SUATU saat saya bertemu anak muda. Asalnya kota kecil. Nilai di sekolahnya biasa-biasa saja. Ia pun hanya tamat SMA. Tidak kuliah. Tapi ia punya kemampuan --yang bagi orang lama seperti saya-- menakjubkan.

Tentu ia punya nomor telepon banyak orang, termasuk nomor HP yang saya pegang. Saya pun ingin mengujinya.

"Silakan Anda bajak nomor saya ini," kata saya.

Anak muda itu pun main-main sebentar dengan HP miliknya. Lalu teman di sebelah saya menerima WA. Dari saya. Dari nomor saya. Dengan foto wajah saya di nomor itu.

Padahal saya lagi ngobrol asyik dengan beberapa teman di situ. Saya memang pegang HP, tapi tidak melakukan apa pun. Tiba-tiba ada yang menerima WA dari nomor saya.

Anak itu bisa 'mencuri' password saya. Tentu ia hanya sekali itu saja melakukannya. Ia berjanji tidak akan melakukan lagi kirim WA sebagai saya.

Katanya: tadi itu hanya untuk membuktikan bahwa ia punya kemampuan seperti itu.

Itu setahun lalu. Bulan itu saya masih bertemu lagi beberapa kali dengannya lalu tidak bertemu lagi. Saya pun lupa kalau pernah punya teman semuda dan sehebat itu.

Saya baru ingat ia lagi minggu lalu. Yakni ketika media menghebohkan terjadinya pembobolan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) milik Indonesia di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Saya pun mencari anak muda itu. Saya merasa sulit menulis soal pembobolan itu kalau belum bertemu dengannya. Saya ingin tahu kira-kira seperti apa kejadiannya.

Saya ingat namanya, tapi tidak ingat nomor teleponnya. Saya cari di HP saya. Tidak ketemu. Saya ingat: ini HP baru, yang harganya hanya seperempat HP lama.

Mungkin nomor kontaknya tidak ter-copy ke HP baru.

Dari temannya teman saya nomor anak muda itu bisa saya dapat. Saya hubungi. Tidak berhasil. Saya telpon tidak ada nada sambung. Saya WA: hanya centang satu. Tiap hari saya coba hubungi. Gagal.

Temannya juga sulit menghubunginya. Mereka juga sudah tiga bulan tidak bertemu. Saya pun malu: tidak bisa segera menulis tentang pembobolan PDNS itu. Padahal medsos begitu riuh. Sampai ada yang marah-marah mengapa presiden tidak mengangkat anak muda sebagai Menkominfo. Yakni anak muda yang paham teknologi informasi.

Saya sendiri, secara pribadi, tidak merasakan dampak apa pun dari pembobolan itu. Tak ada sedikit pun kesulitan. Hidup saya berjalan normal.

Para perusuh Disway juga tidak ada yang bercerita tentang kesulitan hidup mereka akibat pembobolan itu.

Rupanya si pembobol bisa masuk ke situs PDNS. Lalu mengganti password-nya dengan password lain.

Kementerian pun tidak bisa lagi mengaksesnya. Password yang ada sudah tidak bisa difungsikan.

Anda sudah tahu lebih dulu: Si pembobol bersedia memberikan password baru asal pemerintah membayarnya sebesar USD 8 juta. Anda juga sudah tahu: pemerintah tidak melayani permintaan itu. Toh akan sia-sia. Kalau password baru didapat bisa saja keesokan harinya giliran temannya yang membobol. Tidak akan ada habisnya.

Menurut anak muda tadi, begitu banyak anak seumurannya yang punya kemampuan seperti ia. Situs-situs pemerintah adalah situs yang paling mudah dibobol. Biasanya justru untuk latihan awal.

Apakah setelah permintaannya ditolak si pembobol lantas marah; lalu mengambil semua data itu untuk dijual ke pihak lain seharga USD 8 juta?

Kalau yang dicuri itu dompet, mungkin dompetnya akan dibuang di pinggir jalan setelah uangnya diambil. Tapi yang diambil ini password. Datanya bisa jadi diambil. Bisa jadi tidak.

Apalagi kalau si pembobol adalah anak muda dari dalam negeri. Jangan-jangan awalnya ini hanya ajang latihan bagi mereka. Ternyata ada yang berhasil. Mereka tidak menyangka kalau seheboh ini. Hebohnya di luar perkiraan, lalu takut sendiri.

Maka langkah yang terbaik adalah segera cari anak muda yang bisa membobol si pembobol. Lalu bisa menghancurkan data itu.

Toh data-data lama masih ada di instansi masing-masing. Bisa dikompilasi lagi dengan cepat. Lalu dibuatkan backup. "Kalau perlu sampai rangkap empat," seperti yang kemarin dikatakan menko Polhukam. Atau, katanya, dibuatkan kasta-kasta data. Mana yang paling rahasia sampai yang agak rahasia.

Penyimpanannya pun tidak akan lagi hanya di Surabaya dan Tangerang. Mungkin yang Surabaya dipindah; karena ternyata yang dibobol itu yang di Surabaya. Jangan-jangan harus ada yang di Pulau Rote.

Saya agak mengkhawatirkan anak muda yang pernah bertemu saya itu. Saya tahu ia pembaca Disway. Halllooooo... Anak muda! Di mana Anda.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia