Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Keturunan Seks
Oleh : Opini
Sabtu | 22-06-2024 | 08:36 WIB
AR-BTD-5206-Dahlan-Iskan.jpg Honda-Batam
Ilustrasi Neanderthals. (Foto: Disway.id)

Oleh Dahlan Iskan

SEMUA manusia punya unsur darah Neanderthals. Biar pun sedikit. Saya, misalnya. Di dalam darah saya ada darah Neanderthals. Sebanyak 2,5 persen.

John Mohn, orang Amerika kulit putih di Lawrence itu, juga punya darah Neanderthals 2,5 persen. Jadi, saya dan John Mohn itu masih ada unsur bersaudara: sama-sama keturunan Neanderthals.

Saat di Amerika dua pekan lalu saya baru tahu: Neanderthals pernah berhubungan seks dengan manusia.

Saya baca publikasi baru dari seorang ilmuwan di sana: hubungan seks itu terjadi 47.000 tahun lalu.

Yang mengatakannya: John Hawks, seorang ilmuwan antropologi dari University of Wisconsin di Madison.

"Pergaulan" seks antara dua makhluk itu terus berlangsung selama 7.000 tahun. Setelah itu, Anda sudah tahu, Neanderthals punah. Tengkoraknya saja yang masih ditemukan di goa-goa purba: mirip sekali dengan manusia.

Pergaulan seks antar makhluk selama 7.000 tahun itu, katanya, tergolong kurun yang singkat. Terutama bila dilihat dari kacamata proses evolusinya Darwin.

Penelitian DNA manusia terus dikembangkan. Salah satu tujuannya adalah: mencari tahu dari mana datangnya penyakit seperti diabetis dan sakit pencernaan. Apakah itu terkait dengan struktur DNA salah satu nenek moyang kita itu.

Menurut peneliti itu sekitar 75.000 tahun lalu Neanderthals hidup di Asia dan Eropa. Saat itulah manusia yang asal-usulnya dari Afrika mulai menyebar ke Asia dan Eropa.

Setelah itulah lahir anak manusia hasil hubungan seks antara Neanderthals dan manusia Afrika. Sekian ribu tahun kemudian lahirlah kita-kita.

Saya juga mendengar bahwa perkembangan pemeriksaan DNA sudah sangat maju. Terutama bila dibandingkan saat saya memeriksakan DNA hampir 20 tahun lalu.

Maka, mumpung di Amerika saya memeriksakan kembali DNA saya. Waktu itu perjalanan saya sudah sampai di Los Angeles. Tapi masih akan tiga hari di San Fransisco. Masih sempat untuk memeriksakan DNA.

Caranya: saya buka Apps milik perusahaan pemeriksa DNA. Lalu mendaftar. Bayar 100 dolar. Tarifnya ternyata masih sama dengan 20 tahun lalu. Berarti tidak pernah ada kenaikan tarif: 20 tahun lalu pun 100 dolar.

Setelah bayar 100 dolar itu muncul penjelasan: saya bisa mengambil tabung yang dikirim perusahaan itu di salah satu agennya di San Fransisco. Itulah tabung untuk menampung air ludah saya.

Hari pertama di San Fransisco saya ke alamat yang dimaksud. Ternyata itu sebuah minimarket. Di salah satu dinding minimarket itu terpajang banyak kotak terkunci.

Begitu kami tiba di depan kotak itu kami klik di HP. Salah satu kotak itu membuka. Ada barang di dalamnya; tabung dalam amplop.

Amplop itu saya bawa ke tempat saya menginap. Saya pun meludah ke dalam tabung. Ukuran tabungnya sebesar tabung alat suntik.

Ada penanda warna merah di tabung itu. Kalau air ludah masih belum mencapai garis merah itu harus terus meludah.

Syarat untuk meludah: satu jam sebelumnya tidak boleh makan apa pun. Agar ludah tidak tercampur sisa makanan.

Setelah jumlah ludah mencukupi, saya harus menutup tabung itu. Harus rapat. Sampai terdengar bunyi klik.

Bersamaan dengan bunyi klik itu penutup tabung berlubang: satu jenis cairan mengucur dari penutup tabung tersebut. Mengucur ke atas air ludah.

Setelah penutupan tabung dirasa aman, tabung dimasukkan amplop. Kirim ke kantor pos tersedekat. Kantor pos-lah yang akan mengirimnya ke laboratorium test DNA.

Ketika mendarat di Tokyo saya terima email: ludah Anda sudah sampai di lab kami. Tunggu hasilnya. Akan dikirim lewat email: perlu waktu dua sampai tiga minggu.

Kini saya menunggu hasil test DNA itu. Mungkin minggu depan sudah tiba di email saya.

Saya berjanji: hasilnya akan langsung saya tulis untuk Anda. Tidak perlu dua bulan kemudian seperti air Zam Zam yang terlalu lama itu.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia