Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Karena Pancasila
Oleh : Opini
Sabtu | 16-03-2024 | 08:20 WIB
DAHLAN-DISWAY-151.jpg Honda-Batam
Wartawan senior Indonesia Dahlan Iskan. (Foto: Net)

Oleh Dahlan Iskan

TIDAK semua caleg harus melakukan serangan fajar. Contohnya banyak. Salah satunya orang Lumajang yang Anda sudah tahu itu: Anang Akhmad Syaifuddin.

Anang terkenal karena pilih mundur sebagai ketua dan anggota DPRD Lumajang. Penyebabnya: tidak hafal Pancasila.

Banyak pihak minta agar Anang jangan mundur. Tapi ia teguh: tetap mundur. Memalukan, katanya. "Ketua DPRD kok tidak hafal Pancasila," kata Anang waktu itu.

Di Pemilu barusan ternyata Anang maju lagi sebagai caleg. Dari PKB lagi. Kali ini untuk DPRD Provinsi. Dapil Lumajang-Jember.

"Saya ditugaskan, harus maju," katanya, kemarin sore.

Siapa yang menugaskan?

"Syuriah partai," jawabnya.

Di NU dan PKB kepengurusan terdiri dari dua badan: syuriah dan tanfidiyah. Syuriah adalah dewan ulama. Tanfidiyah adalah pelaksana program. Tanfidiyah harus tunduk pada kemauan syuriah.

Anang sendiri masih menjabat ketua tanfidiyah PKB Lumajang.

Dalam daftar calon kemarin Anang menempati nomor satu. Di dapil itu Anang mendapat suara terbanyak kedua. Yang pertama adalah Kiai Fawaid, calon dari Gerindra. Ia sudah tiga kali ini terpilih.

Waktu kampanye, Anang tidak sulit memperkenalkan diri: "Saya adalah ketua DPRD yang mengundurkan diri karena tidak hafal Pancasila itu".

Orang pun simpati pada Anang. Ia sudah membuktikan diri bukan tipe orang yang gila jabatan. Apalagi sampai harus membeli suara. Ternyata banyak juga rakyat yang tidak tergiur serangan fajar.

"Saya kan tidak mungkin melakukan serangan fajar dan sebangsanya. Uang dari mana?" katanya.

Kemarin petang Anang berkumpul dengan tim pemenangannya: buka puasa bersama. Bukan di restoran, tapi di poskonya. Masakannya pun disiapkan oleh keluarga tim pemenangannya.

Ketika saya telepon Anang, suara riuh terdengar dari posko itu. "Mereka minta agar bisa ikut mendengar suara Pak Dahlan. Karena itu speaker-nya saya besarkan," ujar Anang.

Ketika datang ke acara buka puasa ini Anang naik sepeda motor. Mobil Ertiga-nya sudah dijual. Ia sudah membeli mobil baru: Wuling. "Karena murah," katanya. Mobil itu dipakai istrinya.

Apakah sekarang sudah hafal Pancasila?

Anang tidak menjawab dengan 'sudah' atau 'belum'. Ia langsung mengucapkan sila keempat Pancasila. Lengkap satu kalimat utuh. Lantang. Lancar.

Sebetulnya dulu pun ia hafal Pancasila. Hanya ketika pendemo menggertaknya agar mengucapkan semua sila dalam Pancasila Anang tersendat di sila keempat.

Ketika Anang akan mengulangnya pendemo sudah memaki-makinya: pejabat yang tidak hafal Pancasila.

Anang pilih mundur, pun ketika bupatinya menolak.

Anang dikenal lugu apa adanya. Waktu ia jadi ketua DPRD, semua jenis pendemo ia temui. Ia justru minta pendemo masuk ke ruang pleno DPRD. Pimpinan demonya ia minta duduk di deretan pimpinan DPRD.

Hari itu Presiden Jokowi menaikkan harga BBM. DPRD Lumajang ikut panen demo. Pagi menerima demo dari organisasi mahasiswa NU, PMII. Siangnya demo dari HMI.

Sambil menunggu kedatangan demo HMI itu, Anang tertidur di kursi. Bangun-bangun ditanya soal Pancasila.

Itulah kenangan Anang yang pernah jadi aktivis Famred menjelang reformasi tahun 1998. Lalu ia jadi tukang cukur. Buruh bangunan. Akhirnya Anang harus pulang ke Lumajang menunggui ibunya yang sudah tua.

Saat berumur 34 tahun, Anang minta ke sang ibu: agar dicarikan istri. Siapa pun asal pilihan sang ibu. Sang ibu masih bisa melihat anaknya terpilih kembali.

Di Pemilu ini suara PKB naik di Lumajang. Bupatinya juga PKB. Suara PDI-Perjuangan tetap. Demokrat kehilangan satu-satunya kursi dari dapil tersebut.

"Di dapil Anda ini, siapa capres yang menang?"

"Hehehe....Prabowo," jawabnya. "Banyak yang kasihan karena sudah tiga kali kalah," tambahnya.

"Amin! Amin!" terdengar suara bersahutan dari arena buka puasa. "Kalau di antara yang hadir ini sih semua pilih Amin," ujar Anang.

Pancasila membuat Anang terjatuh dari jabatan.

Pancasila membuat Anang dapat jabatan yang lebih tinggi.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia