Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

108 Arwah Korban G30S Disucikan di Bali
Oleh : dd/tc
Senin | 01-10-2012 | 10:10 WIB
pelanggaran_ham.jpg Honda-Batam
Ilustrasi.

DENPASAR, batamtoday -108 jenasah korban Gerakan 30 September 1965 mendapat upacara penyucian di Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Renon, Denpasar, Minggu, (30/9/2012). Jumlah ini diyakinkan bisa mewakili seluruh korban revolusi tahun itu, di Bali dan luar Bali.


Hadir dalam acara ini, putri Proklamator RI, Sukmawati Soekarno Putri beserta Amelia Yani, putri Pahlawan Revolusi Letjen Ahmad Yani. Keduanya merasa terharu dan bangga dengan upacara ini. "Saya berharap agar arwah nenek moyang dan pahlawan bisa diterima di sisi-Nya," ujar Amelia yang mengenakan atasan putih ini. 

Dengan penyucian ini, lengkap sudah runtutan upacara secara Hindu bagi korban. Untuk itu, diharapkan arwah nenek moyang tenang dan mendapat tempat yang layak di alam baka.

"Banyak yang tidak berani mengadakan upacara, karena takut dianggap PKI dan takut dimusuhi. Upacara ini diadakan untuk para leluhur yang menjadi korban, yang tidak sempat diupacarai. Benar atau salah perbuatan mereka adalah urusan Tuhan, bukan kita," ujar Presiden Yayasan Sukarno Center, Arya Wedakarna selaku penyelenggara acara.

Dalam pidatonya, Arya menyebutkan bahwa ada ratusan ribu nyawa orang Bali dibunuh pada 1965-1966, karena dianggap sebagai komunis dan tidak bertuhan. Padahal, komunis itu hanyalah sebuah sistem politik. 

Jumlah 108 nama yang ikut dalam upacara ini hanya sedikit dari sekian banyak korban. Pun, jumlah ini bisa mewakili arwah-arwah korban lainnya.

"Dalang dari gerakan pada 30 September 1965 itu adalah koalisi antara militer, pengusaha dan ulama," ujar pria yang juga mengklaim dirinya sebagai Raja Majapahit Bali.

Sejumlah keluarga yang menjadi korban tahun 1965 juga hadir. Salah satunya adalah keluarga dari Gede Tegeg, asal Kubu Tambahan, Singaraja. Gede Rohita, anak korban, merasa bangga dengan terselenggaranya acara ini.

Dia merasa, ada yang salah dengan sejarah. Dan ini saatnya untuk memperbaiki.

"Bapak saya bukan komunis, dulu dibunuh karena ada sentimen pribadi masalah kepemilikan tanah. Itu dijadikan kesempatan," terang Rohita. Dengan peristiwa menyedihkan itu, keluarganya sempat mendapat intimidasi dari banyak pihak.

Tentang pemulihan nama baik, tentu saja pihak keluarga sangat berharap. "Harusnya itu (pemulihan nama baik-red) menjadi tanggung jawab pemerintah," ucapnya.