Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Organisasi Kriminal Otak Deforestasi
Oleh : dd/hc
Senin | 01-10-2012 | 09:41 WIB

BATAM, batamtoday - Organisasi kriminal berada di balik praktik penggundulan hutan-hutan tropis, termasuk di Indonesia.


Hal ini terungkap dari laporan Program Lingkungan PBB (UNEP) dan Interpol yang dirilis pekan lalu.

Menurut kedua lembaga tersebut, sebanyak 50-90% praktik penebangan hutan di lembah sungai Amazon, Afrika Tengah dan Asia Tenggara dilakukan oleh organisasi kriminal.

Hal ini akan mengancam keberhasilan program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, pencegahan deforestasi, pelestarian alam liar dan penanggulangan kemiskinan. Kayu dari praktik penebangan hutan ilegal saat ini menyumbang antara 15-30% perdagangan kayu dunia.

Hutan mengikat dan menyimpan CO2 – yang dikenal dengan karbon hijau atau green carbon – dan membantu mitigasi dampak perubahan iklim. Namun praktik penggundulan hutan, terutama di hutan-hutan tropis, merusak fungsi ini dan bertanggung jawab atas 17% produksi emisi manusia atau 50% lebih tinggi dari emisi di sektor transportasi – gabungan dari angkutan laut, penerbangan dan transportasi darat.

Laporan berjudul “Green Carbon: Black Trade” ini menyatakan, perdagangan kayu ilegal yang saat ini bernilai antara US$30-100 miliar per tahun – merusak inisiatif Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation (REDD) – salah satu alat utama menciptakan perubahan lingkungan yang positif menuju pengurangan emisi, penciptaan lapangan kerja, dan pembangunan berkelanjutan.

Meningkatnya praktik penebangan kayu ilegal ini menurut Interpol juga memicu peningkatan kriminalitas lain seperti pembunuhan, kekerasan dan penderitaan bagi masyarakat adat yang turut mengelola hutan.

Laporan ini menyimpulkan, tanpa adanya kerjasama dan penegakan hukum antar bangsa, para cukong dan pencuri kayu ini akan terus meraja lela, beralih dari satu hutan ke hutan yang lain, merusak lingkungan, ekonomi lokal dan kehidupan para penduduk asli.

Di negara bagian Para, Brasil, aktivitas penebangan hutan ilegal merugikan negara hingga 1,7 juta meter kubik (m3) kayu pada 2008. Pemerintah federal Brasil membawa 107 perusahaan, 30 cukong dan 200 orang yang terlibat dalam aktivitas ilegal ini ke pengadilan dan menuntut perusahaan-perusahaan ini senilai US$1,1 miliar.

Pada 2009, penuntut federal Brasil menyelidiki kasus penipuan sertifikasi kayu ramah lingkungan atau “eco certified” yang melibatkan 3.000 perusahaan kayu, yang telah mengekspor produknya ke Amerika Serikat, Uni Eropa dan Asia.

Di Indonesia, jumlah kayu yang diklaim dihasilkan oleh hutan produksi, naik drastis dari 3,7 juta m3 pada 2000 menjadi lebih dari 22 juta m3 pada 2008. UN Office on Drugs and Crime (UNODC) memerkirakan, hanya separuh dari kayu hasil hutan tersebut yang benar-benar ada, menunjukkan upaya “pencucian kayu” (laundering) dalam skala besar.

Di Kalimantan, nilai suap untuk memeroleh ijin penebangan hutan seluas 20 km2 mencapai US$25-30.000. Data impor dan ekspor antara Kalimantan dan Malaysia menunjukkan perbedaan hingga 3 kali lipat jumlah kayu yang diekspor oleh Kalimantan dan diimpor oleh Malaysia. Hal ini menurut UNEP dan Interpol menunjukkan tanda-tanda pengemplangan pajak dalam jumlah besar.

Data Greenpeace Indonesia, Walhi dan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) menunjukkan, perusakan hutan di Kalimantan terus terjadi. Pada tahun 1985, luas kawasan hutan Kalimantan mencapai 39,9 juta hektar. Pada 2010, luas wilayah hutan menyusut menjadi 25,5 juta hektar. Dalam jangka waktu 15 tahun. 14,4 juta hektar kawasan hutan Kalimantan telah mengalami perusakan.

Sama dengan kesimpulan UNEP dan Interpol, menurut Greenpeace Indonesia, Walhi dan AMAN, kerusakan hutan Kalimantan paralel dengan meningkatnya konflik sumber daya alam. Perusakan hutan tidak hanya menghancurkan ekosistem, namun juga menghilangkan budaya dan sistem kearifan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan. Mari bersama awasi dan selamatkan hutan.